MEDAN, faktualNews.co—Dewan Pers akan menginisiasi pembuatan pedoman pemberitaan kekerasan seksual bagi jurnalis. Gagasan Dewan Pers itu merupakan salah satu upaya untuk menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.
“Dewan Pers akan memfasilitasi pembentukan pedoman pemberitaan kekerasan seksual sebagai acuan bagi setiap jurnalis dalam menuliskan berita terkait peristiwa kekerasan seksual. Gagasan ini bermula dari keprihatinan atas temuan analisis konten yang dilakukan Dewan Pers dalam tahapan pendataan pers dan telah ditindaklanjuti melalui riset pemberitaan kekerasan seksual, khususnya di media siber,” tutur Ketua Dewan Pers, Dr Ninik Rahayu SH MS, ketika menjadi pembicara kunci pada Sarasehan Forum Jurnalis Perempuan Indonesia di Medan, Selasa (7/2), dalam rangkaian acara peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2023.
Dewan Pers, kata dia, juga berkomitmen untuk menghadirkan regulasi internal pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Ini merupakan bagian dari upaya konkret mendukung negara agar efektivitas UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dapat segera terwujud.
Ninik minta dukungan dari segenap organisasi pers agar dua pedoman itu dapat direalisasikan, sehingga bersama-sama dapat menghapuskan kekerasan berbasis gender terhadap perempuan. Apabila pers nasional turut berkontribusi dalam penghapusan kekerasan berbasis gender, niscaya media massa akan mampu hadir memajukan peradaban bangsa yang berkeadilan.
Ia menguraikan, perempuan jurnalis mengalami kerentanan berlapis atas terjadinya kekerasan seksual. Bulan Januari 2023, ujar Ninik, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Pemantau Regulasi dan Regulator (PR2) Media menyampaikan data kepada Dewan Pers, bahwa 82,6 persen perempuan jurnalis pernah mengalami pelecehan seksual. Pelakunya pun beragam, bisa rekan kerja, atasan di tempat kerja atau ruang redaksi, narasumber, atau pihak lain.
Berbagai situasi kerentanan tersebut, paparnya, tentu membutuhkan respons serius dari perusahaan pers, organisasi wartawan, dan organisasi perusahaan pers. Untuk itu perlu membangun kolaborasi dengan institusi negara, baik penegak hukum, Komnas HAM, Komnas Perempuan, maupun Lembaga Perlindungan Saksi Korban (LPSK), dan institusi lainnya. Ini dimaksudkan agar terbangun mekanisme rujukan untuk perlindungan dan pemulihan bagi perempuan jurnalis yang mengalami kekerasan seksual.
Menurut dia, peringatan HPN 2023 ini sangat baik sebagai momentum bagi segenap insan pers untuk mengukuhkan komitmen, bahwa pers nasional hadir dalam upaya menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Kepemimpinan perempuan di lini redaksi pers nasional secara umum masih terbilang jari.
Dewan Pers akan Fasilitasi Pembentukan Pedoman Pemberitaan Kekerasan Seksual “Jumlah perempuan jurnalis juga dapat disebut minoritas dibandingkan laki-laki. Tak heran apabila dikatakan, bahwa wajah pers nasional masih sangat maskulin,” ungkapnya.
Ia berpendapat, ruang untuk perempuan berkarya dan berkontribusi perlu dibuka. Ruhana Kudus (perempuan jurnalis dari Padang) dan Koran Perempuan Bergerak pada masanya telah membuktikan kontribusi perempuan di dunia pers. Ninik yakin perempuan jurnalis saat ini adalah para srikandi yang memilih jalan untuk melanjutkan estafet perjuangan para perempuan pelopor pers di negeri ini. Ia menegaskan tidak bakal ada kemajuan peradaban ketika perempuan ditinggalkan.
Akan tetapi, seringkali ruang bagi perempuan untuk berkontribusi dalam peradaban tidak tersedia atau tidak disediakan. “Semangat juang para perempuan pelopor pers yang lahir dari rahim bumi Sumatra menunjukkan, bahwa perempuanlah yang harus membuka, mengisi, dan menggerakkan ruang membangun peradaban bangsa,” urainya.