SURABAYA, FaktualNews.co-Upaya jaksa penuntut umum (JPU) memaksakan perkara penggelapan bahan bakar minyak (BBM) yang melibatkan 17 oknum karyawan PT Meratus Line dan Bahana Line menjadi perkara tindak pidana pencucian uang (TPPU) dianggap tidak tepat. Sebab, untuk menjadikan sebuah perkara pidana biasa menjadi TPPU harus memenuhi tiga unsur tahapan dalam proses perbuatannya.
Hal ini lah yang diterangkan oleh Ahli hukum pidana dari Universitas Bhayangkara (Ubhara) M Sholehuddin saat menjadi ahli di Pengadilan Negeri Surabaya. Ia menerangkan, sebuah tindak pidana TPPU dapat dikatakan selesai apabila telah memenuhi 3 tahapan proses perbuatannya. Ketiga tahapan yang dimaksud antara lain, placement atau penempatan, layering atau transfer, dan terakhir adalah tahapan integration atau penggunaan harta kekayaan.
“Dikatakan sebagai tahapan karena ketiga tahap perbuatan itu harus dilalui semua agar dapat disebut sebagai telah terjadi tindak pidana pencucian uang atau delik selesai,” ujarnya.
Ia lantas menerangkan, jika pencucian uang adalah proses menyamarkan kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana kriminal dalam rangka menyembunyikan asal yang ilegal dari kekayaan tersebut. Namun, agar tindak pidana itu dapat dikatakan sempurna harus melalui tiga tahapan yang telah dijelaskannya.
“Tindak pidana pencucian uang yang disandingkan dengan tindak pidana penggelapan atau tindak pidana penipuan artinya kejahatan asal yang dimaksud yaitu tindak pidana penggelapan atau tindak pidana penipuan kemudian terjadi kejahatan lanjutan yaitu berupa menyamarkan kekayaan hasil dari tindak pidana penggelapan atau tindak pidana penipuan dengan cara memenuhi 3 tahapan tersebut,” pungkasnya.
Dijelaskan Sholeh, TPPU tergolong baru dan banyak yang belum paham serta tidak bisa membedakannya. Sehingga, hasil kejahatan penggelapan yang digunakan atau dibelikan sesuatu bukan langsung masuk TPPU tetapi harus ada penyamaran dengan tiga syarat yang sifatnya komulatif dan double criminality sebagaimana proses tahapan yang dijelaskannya.
Sebelum menerangkan soal TPPU, Sholehuddin sebelumnya diminta Syaiful Ma’arif, pengacara terdakwa Doddy Teguh Perkasa, dkk, untuk menerangkan tentang tindak pidana penadahan.
Sholeh lantas menerangkan jika penadahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 480 KUHP adalah mengatur dua perbuatan yang dilarang.
“Pertama, kriminalisasi terhadap perbuatan seseorang yang melakukan pembelian atau penyewaan atau penukaran barang (uang) atau menerima gadai ataupun menerima hadiah secara bersekongkol, yang diketahuinya atau patut diduganya bahwa barang tersebut diperoleh dari kejahatan,” terangnya.
Kedua, lanjutnya, kriminalisasi terhadap perbuatan seseorang yang menjual atau menukarkan atau menggadaikan atau membawa atau menyimpan atau menyembunyikan barang atau uang dengan tujuan mendapatkan keuntungan yang diketahuinya atau patut diduganya bahwa barang (uang) tersebut diperoleh dari kejahatan.
Sholeh lalu juga menerangkan soal perbedaan pasal 372 KUHP dengan Pasal 480 dan Pasal 481 serta kaitannya dengan pasal 55 KUHP. Dalam keterangannya, pasal 372 KUHP atau tindak pidana penggelapan, barang yang ada dalam kekuasaannya bukan berasal dari kejahatan. Sedangkan dalam tindak pidana penadahan dan penadahan yang dilakukan sebagai kebiasaan barang yang dimaksud tersebut berasal dari kejahatan.
“Apabila dikaitkan dengan turut serta melakukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) ke-I KUHP maka perbuatan materiil seseorang turut melakukan salah satu dari unsur delik yang ada dalam tindak pidana penggelapan atau tindak pidana penadahan,” ungkapnya.
Ia memisalkan, dalam tindak pidana penggelapan, seseorang yang turut serta melakukan tersebut memenuhi unsur delik memiliki suatu barang yang diperoleh tidak berasal dari kejahatan.
Penggelapan dan Penadahan, kalau dalam satu rangkaian peristiwa masuk. Penggelapan dengan penambahan turut serta atau pembantuan. Penadahan itu perbuatan berdiri sendiri.
Sedangkan turut serta dalam tindak pidana penadahan misalnya seseorang tersebut ikut membeli, menyewa, menerima tukar, membawa, menyimpan atau menyembunyikan dsb barang yang diketahuinya atau yang patut diduga berasal dari kejahatan.
Dijelaskannya, delik yang menyangkut penyertaan pada Pasal 55 KUHP hanya dapat dilakukan dengan adanya kerjasama yang sempurna dan erat antara dua orang atau lebih. Turut serta orang lain adalah mutlak dan perlu untuk terjadinya suatu tindak pidana itu.
“Sebagai konsekuensi yuridisnya, bila mencantumkan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, maka harus dibuktikan secara jelas siapa yang berperan sebagai orang yang melakukan (pleger), sebagai orang yang menyuruh melakukan (Doenpleger) atau sebagai orang yang turut melakukan (medepleger),” tegasnya.
“Dengan kata lain, kapasitas pelaku sebagai apa dan kualitas perbuatannya, bagaimana serta sejauh mana. Hal-hal seperti itu harus terungkap secara jelas dan pasti karena menyangkut soal pertanggungjawaban pidana dan pemidanaannya nanti yang akan dinilai dan diputus oleh hakim,” tambahnya.
Kejelasan inilah yang diakuinya harus terdapat dalam surat dakwaan jaksa. Sebab, bila tidak akan mengandung konsekwensi terdakwa harus dibebaskan jika surat dakwaan dianggap tidak jelas dan tidak cermat.
Gede Pasek Suardika atau akrab disapa GPS, pengacara terdakwa lainnya lantas bertanya pada ahli tentang hasil analisa transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana yang diterbitkan oleh PPATK dapat dijadikan alat atau barang bukti dalam persidangan serta dibuka dalam persidangan tanpa seizin PPATK? Sholeh menegaskan, hasil analisis transaksi keuangan oleh PPATK tidak boleh dibuka dalam persidangan terbuka untuk umum tanpa sepengetahuan dan izin dari PPATK.
“Informasi yang diperoleh PPATK dalam pelaksanaan tugasnya bersifat rahasia dan tidak dapat diumumkan kepada pihak lain tanpa persetujuan tertulis dari PPATK. Konsekuensi yuridisnya yaitu bisa dimintai pertanggungjawaban pidana sebagaimana dimaksud Pasal 11 ayat (2) UU PTPPU,” katanya.
Sebagaimana diketahui, JPU sebelumnya berusaha membacakan hasil analisis PPATK dalam persidangan. Namun, upaya JPU itu digagalkan Gede Pasek lantaran pemaparan hasil PPATK itu bersifat rahasia dan mengandung konsekwensi pidana.
Kedatangan ahli hukum pidana Sholehuddin ini sendiri tak lepas dari perkara penggelapan BBM yang dilakukan oleh 17 oknum karyawan PT Meratus Line dan Bahana Line.
Keterangan Sholeh ini seolah menegaskan tentang kelakuan Direksi PT Meratus Line yang selalu berusaha mengkaitkan ulah oknum karyawan dengan jajaran direksi Bahana Line.
Sementara itu, upaya JPU menghadirkan ahli pidana pada Jumat (24/2) ini gagal dilakukan. Jaksa beralasan, pihaknya sudah memanggil 2 kali namun yang bersangkutan menyatakan belum bisa hadir.
Dalam kesaksian sebelumnya, Direksi Bahana Ratno Tuhuteru mengungkapkan jika awal berbisnis bertemu pemilik Meratus Charles Manaro selalu lancar.
Namun Ia merasa geram ketika ada kasus ini, Dirut Meratus Slamet Raharjo dan Auditor Fenny Karyadi selalu berusaha mengkaitkan direksi Bahana dengan ulah anak buahnya sendiri di Meratus.
Ratno pun sempat mengancam akan nenempuh jalur hukum memperkarakan Slamet dan Feni. Sebab, kesaksian karyawan Meratus, Edi Setyawan, seolah malah membuka fakta jika semua upaya itu terkesan sengaja membidik Direksi Bahana melalui cara pemaksaan dan penyekapan karyawan Meratus sendiri.