Halaqah Nasional PBNU di Lamongan, Ulama Harus Rekontekstualisasi Kitab Kuning Pesantren
LAMONGAN, FaktualNews.co-Di Indonesia peran partisipatif para ulama sangat besar dalam bernegara dan telah mengalami peningkatan moralitas yang signifikan.
Didepan 500 kyai dan pengasuh pesantren peserta Halaqah Ulama Nasional Rabithah Ma’ahid al-Islamiyah PBNU dari berbagai daerah di Indonesia. Menkopolhukam Mahfud MD mengatakan, dalam menghadapi perubahan zaman era digitalisasi saat ini sangat mempengaruhi peradaban masyarakat yang berimbas disrupsi dalam segala bidang.
“Kesadaran beragama di mana budaya Islam terus tumbuh bersama tradisi, untuk disegala zaman. ” kata Prof Mahfud MD saat pembukaan Halaqah RMI PBNU di Pesantren Sunan Drajat, Lamongan, Jawa Timur, Rabu (12/7/2023).
Para ulama dan pesantren diharapkan me-kontekstualisasi pemahaman kitab kuning sebagai literasi klasik segala zaman, hingga yang tidak dapat lagi dipahami sempit tetapi harus pada manhaj nya yang prinsipil.
“Jangan hal itu dipahami sebagai radikalisme, konfrontatif pada negara, dan menganggap negara ini bukan Islam,” tutur Mahfud MD.
Maka, lanjut Mahfud, dari pesantren harus mengembangkan cara pandang baru dalam berpegang pada literasi (kitab kuning) yang digunakan. Karena dalam bernegara harus relevan dengan pemahaman keislaman secara
substantif. Indonesia ini negara Islam yang menjunjung tinggi agama makin substantif.
“Misalnya cara berpakaian anak sekolah, sekarang ini jauh lebih sopan daripada zaman dahulu. Bahkan ada seragam polisi dan tentara versi muslimah, “terang Mahfud dihadapan ratusan ulama Nahdliyyin.
Hal senada juga disampaikan tokoh NU, KH. Ulil Abshar Abdalla yang mengatakan, halaqah ulama menjadi agenda penting untuk menentukan peta jalan menyambut peradaban baru yang adil, harmonis dan penghargaan atas kesetaraan dan martabat manusia berdasarkan khazanah pondok pesantren.
“Peta jalan zaman baru ini haruslah tetap bertumpu pada tradisi masyarakat Indonesia yang khas,” kata Ulill Abshar Ketua Ketua Lakpesdam PBNU.
Menurutnya, bila tidak segala problematika zaman kiwari tidak akan dapat dipecahkan oleh umat Islam. “Kita memerlukan re-kontekstualisasi kitab kuning sehingga dengan referensi yang sama dapat memecahkan persoalan zaman ini,” ujar Ulil.
Ulil menjelaskan, umat Islam di Indonesia, khususnya warga NU, yang bermazhab kepada Imam Syafi’i dan mengakui tiga imam lainnya, tetapi masih sangat tekstual memahami literatur. PBNU dalam Munas 1992 telah mencetuskan rumusan baru dalam metode istimbath hukum, yaitu istimbath manhaji (metodis) bukan qauli atau letterlijk.
“Pemahaman terhadap literasi klasik harus mengadopsi prinsip, cara pandang, dan membuka mata lebar-lebar terhadap kenyataan sosial serta perkembangan zaman saat ini. Hal ini mendesak dilakukan karena selama ini bahtsul masa’il ulama NU sering mengambil kesimpulan “mauquf” atau tanpa keputusan. Padahal umat membutuhkan keputusan yang tegas dan operasional,” terangnya.
Lebih lanjut Ulill Abshar menjelaskan, kitab kuning, yang kebanyakan ditulis pada abad pertengahan atau abad ke 5-15 Masehi harus dilakukan rekontekstualisasi atau revitalisasi yang berpijak pada prinsip mengambil hal baru yang lebih baik. Jadi tantangannya bagaimana ulama membaca kitab tradisional dalam konteks peradaban baru.
“Pada Muktamar NU ke-27 di Situbondo tahun 1984, banyak hal yang diputuskan PBNU, semisal menerima NKRI dan ideologi Pancasila sebagai bentuk final negara ini. Salah satu isi keputusannya yakni para Kyai menyatakan bahwa bentuk negara khilafah tidak sesuai dengan keadaan sekarang.” Pungkasnya
Sementara itu Ketua RMI PBNU, KH Hodri Arif menyampaikan, pertemuan ulama ini adalah ikhtiar ulama untuk berpartisipasi aktif dalam mewujudkan dunia yang semakin baik dan mendorong kemaslahatan bagi umat manusia. “Banyak permasalahan kemanusiaan terjadi, kita ingin menjadi solusi praktis,” tuturnya.