Teknologi AI Memudahkan Membuat Website
BANDUNG, FaktualNews.co – Kemajuan Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan yang begitu cepat mendorong pemanfaatan teknologi ini secara masif di berbagai bidang. Salah satunya adalah kemudahan membuat website, tidak hanya untuk media.
Menurut CEO KG Media Andy Budiman, teknologi AI memudahkan orang untuk membuat website. “Dengan AI generatif, bisa diprediksi akan ada ratusan ribu web yang dibuat dengan AI. Namun hoax juga bisa lebih merajalela karena siapa pun bisa bikin web,” terangnya dalam panel yang membahas tentang Masa Depan AI di Sektor Industri Media & Komunikasi, pada Indonesia Digital Conference (IDC) 2023 yang digelar Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) di Hotel El Royale, Bandung, Jawa Barat pada Rabu (23/8/2023).
Keberadaan teknologi AI, lanjut Andy, membuat semua yang dulunya begitu kompleks sekarang menjadi lebih sederhana. Misalnya, dalam mencari foto. “Dulu kita harus mencari ke arsip, namun sekarang bisa hanya melihat ke telfon pintar kita sendiri.”
Awal dari sistem AI adalah data yang akan menghasilkan prediktif atau generatif outcome. Contohnya, gambar apel. Data gambar apel yang dikumpulkan dari seluruh jagat raya dan mesin mempelajari bahwa ‘ini gambar apel’. Lalu mesin merekomendasikan mengenali apel dan AI mampu menebak 99% itu adalah apel.
Ia melanjutkan, kemampuan AI untuk memprediksi objek apel sudah baik. Begitu juga dengan kemampuan AI mengenali kata-kata secara verbal lebih pintar dari manusia. “Namun dengan AI generatif, gambar apel bisa dibuat,” katanya.
Personalisasi Berita
Dengan predictive AI, media bisa melakukan personalisasi berita untuk pembacanya, mulai dari topik yang disukai pembaca sampai merekomendasikan pilihan berita. “Kini konten sudah dipersonalisasikan sesuai apa yang sudah dikonsumsi atau dibaca sebelumnya,” jelas Andy.
Dengan AI, rekomendasi berita bisa dari teks ke teks, teks ke video, atau video ke video. Misalnya saat kita membaca artikel soal bencana, maka AI bisa langsung menemukan konten video dengan konten yang relevan.
Pemanfaatan AI di media akan membantu audiens menemukan konten yang relevan dan sesuai kebutuhan. Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu mengatakan, masyarakat akan selalu butuh konten, termasuk berita yang relevan. “Platform, sarana, dan format berita selalu berubah-ubah dan kita harus siap dengan segala perubahan,” tegasnya.
Ia menilai, keberadaan teknologi AI sebetulnya hanya melengkapi tugas pers dalam memverifikasi kebenaran. Sementara jurnalis tetap menjadi pemegang konten sehingga harus ada kolaborasi dan kerjasama yang baik. “Teknologi AI bisa membantu memajukan pemberitaan kita untuk mewujudkan Indonesia bermartabat,” ujarnya.
Publisher Right
Perkembangan teknologi AI yang begitu pesat menuntut dikeluarkannya regulasi yang mengatur tentang publisher right. Sejak 2021, pemerintah, dewan pers dan konstituen menyiapkan peraturan publisher right. Dalam peringati HPN (Hari Pers Nasional) 2023, Presiden Jokowi meminta Perpres publisher rights ini selesai dalam waktu satu bulan. AMSI pun dalam audiensi ke Dewan Pers mendesak Perpres ini segera dikeluarkan.
Ninik mengungkapkan draft Peraturan Presiden (Perpres) sudah diserahkan oleh Kemenkominfo ke Kemensesneg. “Kita sedang menunggu meskipun saya mendengar draft Perpres ini masih akan dibahas kembali,” kata Ninik.
Ia menyayangkan munculnya dugaan bahwa pengaturan publisher right akan mengekang kemerdekaan pers dan akan mematikan berbagai aktivitas digital di luar pers. “Justru pengaturan publisher right untuk mendukung jurnalistik berkualitas,” tegasnya.
Secara garis besar, materi yang akan diatur dalam Perpres yaitu memberikan keadilan bagi media dalam pendapatan iklan yang tidak hanya melalui pemberitaan tetapi juga melalui platfrom atau algoritma. “Pendapatan diatur agar ada keadilan bagi media yang sudah mengolah dan mendistribusikan beritanya,” jelasnya.
Selain itu, materi yang akan diatur terkait implikasi hoax mengingat pemberitaan dan arus digital ini tidak terbendung salurannya. “Youtuber dan konten kreator tidak usah khawatir karena tidak ada hubungan dengan Dewan Pers kecuali alat digital ini dimanfaatkan untuk distribusi berita,” jelas Ninik.
Ia menyatakan, Perpres ini dibuat agar semua media, besar maupun kecil, bisa bernegosiasi. Perpres menjaga lanskap digital untuk mencegah hoax dan menjaga kepentingan publik. “Perpres menjadi perangkat regulasi yang mendukung ekosistem pers,” ucapnya.
Andy menambahkan, perlu regulasi untuk memproteksi data dan hak cipta secara kolektif bukan hanya di Indonesia. “Perlu ada kesepakatan global terkait publisher right ini,” sarannya.
Berkaca dari pengalaman Australia, Nelson Yap, Public Interest Publisher Alliance Australia menyampaikan lembaganya merupakan aliansi baru yang dibentuk tahun lalu untuk membantu negosiasi media kecil dalam platform teknologi. “Saat itu kesempatan bernegosiasi hanya bisa dilakukan media besar sehingga kami mencoba menyampaikan aspirasi media lokal, kecil, dan independen ke komisi persaingan usaha,” jelasnya.
Di Australia ada sekitar 100 publisher dan 161 media. Dan organisasi ini beranggotakan 24 media yang spesifik seperti media berbahasa lokal, berbahasa Italia, Perancis, dan Spanyol serta komunitas khusus dan independen. “Dengan organisasi ini memungkinkan terjadinya negosiasi. Media lokal dan kecil sebagai minoritas bisa terwakili suaranya ke publik melalui organisasi ini,” ujar Nelson.
Ia berharap, semua pihak bisa bersedia bernegosiasi dengan fair. Harapannya, platform dan fubliser bisa mengusahakan untuk bisa maju bersama-sama.
Sedangkan Irene Jay Liu, Direktur Asia Pasifik, International Fund for Public Interest Media (IFPIM) berpendapat, akan terjadi disrupsi besar dalam nilai kreasi oleh open AI dan generative AI. Maka tidak bijak jika menunda pembahasan regulasi ke masa depan. “Pembahasan regulasi tentang AI harus dilakukan sekarang. Memang sekarang AI belum ada uangnya, namun teknologi AI berkembang pesat. Ketika semua berubah dengan cepat, pembahasan regulasi menjadi tertinggal sehingga harus diantisipasi dari sekarang,” sarannya.
Ia melanjutkan, regulasi tentang AI di Amerika Serikat dan Eropa tidak semua bisa diterapkan di Indonesia sehingga regulasi harus didiskusikan dengan konteks lokal terkait hubungan antara AI, platform, dan media. “Kita harus memastikan publiser tidak kehilangan uang dengan publisher right. Namun jangan panik dan penting memulai diskusi secara kolektif dari sekarang supaya tidak terlambat,” sarannya.