Event

Event Tahunan Yak Yuk Lamongan, Diduga Ada Jual Beli Juara dan Kurang Bermanfaat

LAMONGAN, FaktualNews.co-Diduga ada jual beli juara di ajang Pemilihan Duta Wisata Yak Yuk Lamongan, Grand Final tingkat SMA- Universitas, yang digelar Kamis (5/10/2023) malam di gedung Sport Center Lamongan.

Dugaan jual beli juara di event tahunan tersebut dituturkan Wati orang tua salah satu kandidat juara. Dikatakan, peserta harus merogoh kocek hingga jutaan rupiah.

“Tahun 2021 anak saya ikut lomba Yak – Yuk sebagai anggota delegasi salah satu sekolah di Lamongan dan waktu itu anak saya mendapatkan juara Harapan III tingkat MTs/SMP/sederajat, “ kata Wati, Kamis (05/10/2023).

Lebih jauh Wati merincikan, untuk pendaftaran saja sekitar Rp100 ribu, tiket juara sekitar Rp 3,5 juta, yang dibayarkan ke dewan juri lewat guru pendamping Yak Yuk yang ditunjuk sekolahan. Sewa kostum, dll dengan total semua habis sekitar Rp 6 juta.

“Untuk latihan semua peserta tim Yak Yuk delegasi sekolah selama persiapan sebelum kompetisi dimulai, semua dibiayai pihak sekolah habis sekitar Rp 2,5 juta hingga Rp3 juta,”ujar Wati.

Ada juga yang menyabet dua juara langsung, infonya untuk tiket juara tersebut membayar sekitar Rp14 juta. “Jadi dalam kesimpulannya juara Yak Yuk diperjual belikan, makanya tahun berikutnya tidak kita ikutkan lomba lagi,” ungkap Wati.

Terkait dugaan itu, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Lamongan Siti Rubikah membantah. “Maaf pak, yang Yak Yuk cilik (SD – SMP) tidak dibawah naungan Dinas Pariwisata, itu dulu yang perlu dipahami,” kata Siti Rubikah.

Menurutnya, pihak Dinas Pariwisata tidak menjual belikan Pemilihan Yak Yuk Lamongan. “Semua itu piyur murni hasil kompetensi yang bersangkutan (finalis) dan kami Dinas Pariwisata hanya menyelenggarakan pemilihan Duta Wisata Yak Yuk Lamongan dengan batas usia 17-23 (ini artinya tingkat SMA/sederajat – Kuliah),”jelasnya.

“Sekali lagi Disparbud tidak menarik biaya apapun kecuali untuk pakaian pakem, nantinya juga akan di miliki para finalis,” kata Rubikah lagi.

Namun saat ditanya berapa besar anggaran daerah yang digunakan untuk event Yak Yuk Lamongan, Siti Rubikah enggan menjawab.

Menyikapi hal tersebut, Adi Farid mantan Dewan pendidikan Kabupaten Lamongan berpendapat Pemilihan Yak Yuk Lamongan yang hanya ajang popularitas semata. Pasalnya hanya dinilai dari pengetahuan dan kematangan individu, bukan dari sudut pandang sosial.

“Seharusnya pemenang Duta Pariwisata Ramah dan Terintegrasi (Ramasinta) adalah orang yang telah berbuat banyak untuk kemajuan daerahnya alias hanya teori saja,” kata Adi Farid.

Ketika sang pemenang yang hanya dinilai dengan kriteria tersebut, lanjut Adi Farid, output pemilihan duta wisata tidak akan tercapai.

“Terbukti, selama ini kita tidak bisa melihat pembuktian dari para duta wisata. Pada akhirnya kita hanya melihat sebuah kegiatan rutinitas tanpa hasil yang jelas,” tuturnya.

Persoalan ini jelas tidak akan membawa banyak perubahan, karena persoalannya terletak pada kriterianya. “Pastikan pemenangnya adalah orang yang mempunyai knowledge, skill, dan attitude yang baik yang diaplikasi ke dalam kehidupan sehari-hari,” jelas Adi yang mengajar di sebuah SMA di Lamongan itu.

Lebih jauh, Adi mengatakan, sesungguhnya, tujuan pemilihan Yak Yuk Lamongan sendiri sudah menyimpang dari tujuan awalnya, yang memilih duta untuk mewakili kebudayaan daerahnya sendiri. Apalagi kebanyakan peserta menjadikan ajang ini sebagai pencarian popularitas dan tampil belaka.

“Beberapa pengetahuan yang mereka miliki tentang kebudayaan daerah hanyalah informasi seadanya dari bacaan-bacaan yang mereka hafalkan selama proses pemilihan,” jelasnya.

Walaupun tidak sedikit yang mengakui potensi individual dan karakteristik dari pemenang Yak Yuk Lamongan tersebut. Lanjut Adi, peranan dan kontribusi mereka sebagai duta yang notabene ikon daerah setempat masih jarang terdengar.

“Terlebih pada kenyataannya pemenangnya belum mampu membuktikan kalau mereka bisa mempertanggungjawabkan apa yang telah mereka dapatkan. Sebagai tambahan, fakta bahwa duta wisata mayoritas berstatus pelajar dan mahasiswa, juga menyulitkan perkembangan ide dan kontribusi mereka karena kesibukan pribadi,”bebernya.

Menurutnya, lain halnya apabila mereka dipekerjakan untuk Dinas Pariwisata sebagai staf pengembangan dan promosi pariwisata.

“Setelah event duta wisata mereka tidak diberdayakan dengan maksimal untuk keperluan Dinas Pariwisata. Sehingga pada akhirnya hanya muncul pada saat acara-acara seremonial semata,” pungkas Adi Farid.