FaktualNews.co

Beban Kerja Petugas Pemilu Terlalu Berat, Kematian Hampir 100 Orang

Nasional     Dibaca : 444 kali Penulis:
Beban Kerja Petugas Pemilu Terlalu Berat, Kematian Hampir 100 Orang
FaktualNews.co/Istimewa.
Ilustrasi petugas Pemilu.

JAKARTA, FaktualNews.co – Pakar hukum pemilu Universitas Indonesia, Titi Anggraini, menilai bahwa beban kerja badan ad hoc penyelenggara/petugas pemilu, mulai dari Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), pengawas TPS, PPS di tingkat kelurahan dan PPK di tingkat kecamatan masih terlalu berat.

Situasi ini ditengarai sebagai sebab sedikitnya 84 petugas pemilu tutup usia sejak hari pemungutan suara, berdasarkan data KPU dan Bawaslu hingga 18 Februari 2024.

Berdasarkan pendalaman BBC Indonesia, kematian petugas pemilu bahkan ditaksir sudah tembus 100 orang.

“Masih banyak kendala yang didominasi masalah teknis yang kemudian memicu petugas meninggal atau sakit, selain memang penghitungan secara manual atas lima surat suara sendiri sudah merupakan beban kerja yang berat dan butuh waktu lama untuk diselesaikan,” ungkap Titi Selasa (20/2/2024).

Ia memberi contoh, para petugas KPPS menghadapi problem teknis yang menambah beban kerja mereka dan memicu stres.

Beberapa kejadian seperti surat suara yang datang terlambat, kurang, atau tertukar dengan dapil lain membuat petugas harus menunggu dan menghabiskan waktu lebih lama. Ini menambah tekanan kerja tersendiri untuk mereka.

Padahal, pemungutan suara hanya berlangsung 6 jam, lalu dilanjut dengan penghitungan suara yang harus rampung maksimum dalam 23 jam.

“Selain itu, ada mesin pengganda yang tidak berfungsi membuat para petugas harus menyalin manual salinan (formulir) C. Hasil yang harus diberikan kepada setiap saksi, pengawas TPS, dan PPK melalui PPS yang hadir pada hari yang sama,” ucap Titi.

“Penyalinan itu makan waktu lama bahkan hingga subuh atau pagi hari berikutnya. Selain itu, mesin pengganda mengalami masalah dan kendala dalam pengoperasiannya dan membuat penyalinan menjadi terlambat dan menghambat penyelesaiannya,” lanjut dia.

Beberapa peristiwa juga dianggap menjadi pemicu, seperti tidak sinkronnya data antara angka pengguna hak pilih dengan total suara sah ditambah suara tidak sah.

Belum lagi kejadian-kejadian seperti petugas KPPS mesti menghitung ulang berkali-kali jumlah surat suara secara manual, karena jumlahnya berbeda dengan yang diterima.

Titi menyebut, petugas KPPS masih mengalami kerumitan teknis yang tinggi di lapangan, dalam rentang waktu kerja yang sangat singkat.

Sementara itu, beban kerja tinggi dalam waktu kerja yang padat juga diderita PPS (Panitia Pemungutan Suara) di kelurahan dan PPK (Panitia Pemilihan Kecamatan).

“Mereka kerja nonstop sejak lama, termasuk mengadakan bimbingan teknis (bimtek) terhadap KPPS di kecamatan mereka. Petugas KPPS semua anggotanya dilatih, itu berat,” ujar Titi.

Tak hanya itu, PPK dan PPS juga harus mengawal dan memastikan distribusi logistik pemilu ke TPS berjalan dengan tepat jumlah, tepat waktu, dan tepat sasaran. Mereka pun harus mengikuti ragam pelatihan serta koordinasi jelang hari pemungutan suara.

Banyaknya pekerjaan itu membuat tak sedikit PPK dan PPS begadang guna menyelesaikan tugas.

“Mereka akhirnya kelelahan ditambah budaya makan minum sehat juga kurang menunjang,” ucap Titi.

“Makanya, ada petugas yang langsung kambuh penyakit komorbidnya. Bisa jadi pemeriksaan kesehatan tidak mampu menjangkau keseluruhan kondisi kesehatan petugas sehingga risiko sakit tidak bisa terpantau sepenuhnya,” tambahnya.

Titi menyinggung usul agar desain keserentakan pemilu diubah agar beban kerja petugas pemilu bisa lebih berkurang lagi, yakni dengan membaginya menjadi pemilu serentak nasional dan lokal.

Dengan model itu, pemilu legislatif (pileg) DPRD provinsi dan kabupaten/kota tak perlu berbarengan dengan pilpres, pileg DPR RI dan DPD RI, karena akan dilangsungkan bersamaan dengan jadwal pilkada.

Hal ini membutuhkan revisi terhadap UU Pemilu.

“Secara model, tawaran keserentakan nasional dan daerah tidak bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019. Bahkan pilihan itu masuk model keempat dari 6 model (pemilu serentak) yang ditawarkan MK,” ungkap Titi.

Kematian turun drastis

Jauh-jauh hari, pemerintah telah menempuh beberapa inovasi untuk menyiapkan layanan kesehatan yang lebih menunjang bagi para petugas pemilu, khususnya KPPS. Kepala daerah diminta menyiagakan petugas kesehatan dan layanan Puskesmas pada hari pemungutan suara.

Sementara itu, KPU juga telah menempuh beberapa kebijakan baru untuk mengurangi beban kerja petugas pemilu, wabilkhusus petugas KPPS.

KPU, misalnya, memberi batasan usia petugas KPPS maksimum 55 tahun, berkaca pada Pilkada Serentak 2020.

KPU juga kini membolehkan formulir C. Hasil di TPS tak disalin manual, melainkan difotokopi untuk digandakan bagi saksi dan pengawas TPS.

Setiap KPPS juga diberi bimbingan teknis, tak lagi hanya 2 orang seperti Pemilu 2019 yang mengorbankan 894 petugas pemilu.

Sebelum mendaftar, petugas pemilu juga harus menyertakan surat keterangan sehat.

Namun, pada Pemilu 2024, dari hasil “screening” kesehatan terhadap 6,4 juta petugas pemilu, Kementerian Kesehatan mendapati sekitar 400.000 di antaranya memiliki riwayat penyakit berisiko tinggi.

Sayangnya, hal ini baru diketahui setelah mereka dinyatakan diterima pendaftarannya oleh KPU dan Bawaslu.

Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti, menyampaikan bahwa 34 persen petugas pemilu memiliki riwayat hipertensi, 26 persen jantung koroner, gagal ginjal kronis 8 persen, dan diabetes mellitus 3 persen.

Baca berita menarik lainnya hasil liputan
Editor
Tim Redaksi FN
Sumber
kompas.com