Nasional

Dulu NU Haramkan Kerusakan Lingkungan, Sekarang kok Menghalalkan? Inilah Suara Akar Rumput Nahdiyin

JAKARTA, FaktualNews.co-Keputusan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menerima tawaran pemerintah untuk mengelola tambang batubara menuai kritik dan kontroversi dari kalangan akar rumputnya sendiri.

Keresahan dan kekecewaan atas keputusan itu mengemuka dari Desa Wadas, Jawa Tengah, di mana mayoritas warga yang juga Nahdliyin telah merasakan pahitnya menjadi korban tambang.

Meski bukan korban tambang batubara yang akan terdampak langsung terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024, mereka menyayangkan keputusan PBNU yang kontras dengan komitmen sebelumnya untuk mencegah kerusakan lingkungan.

“Kami kaget dengan pernyataan tokoh-tokoh NU belakangan ini, kok NU malah mau berperan dalam kerusakan lingkungan? Dulu NU mengharamkan kerusakan lingkungan, kok sekarang menghalalkan?” kata Tabudin, salah satu warga NU sekaligus korban tambang di Wadas kepada BBC News Indonesia, Minggu (9/6/2024).

Dia merujuk pada putusan NU yang mengharamkan eksploitasi sumber daya alam di Indonesia pada 2015.

NU, dalam muktamar tahun 2021, juga pernah merekomendasikan agar pemerintah menghentikan pembangunan PLTU batubara dan mengurangi produksi batu bara mulai tahun 2022 untuk mempercepat proses transisi energi.

Namun sikap yang diambil PBNU saat ini disebutnya justru berbanding terbalik dengan rekomendasi itu.

“Kami tidak akan percaya lagi, lembaga sebesar NU kok ngomongnya seperti itu,” ujar Tabudin yang mengaku “lebih dari kecewa” atas keputusan para petinggi NU tersebut.

Dua kader NU lainnya yang berbicara kepada BBC News Indonesia juga mengutarakan kekecewaan atas sikap itu.

Lewat keputusan ini, mereka khawatir NU justru akan menjadi aktor yang turut serta merusak lingkungan pada saat banyak Nahdliyin di Indonesia justru menjadi korban tambang.

“Kalau pada akhirnya PBNU tetap mengelola tambang, maka segenap warga NU harus memastikan bahwa pengelolaannya memberikan wajah baru pengelolaan yang bisa meminimalisir dampak lingkungan, dan hasilnya dikembalilan untuk kemaslahatan umat yang jauh lebih besar dari dampaknya,” kata Wakil Ketua GP Ansor Purworejo, Muhammad Hidayatullah.

“Kalau pengelolaan tambangnya sama buruknya dengan yang terjadi selama ini, NU sebagai organisasi keagamaan akan bunuh diri. Seharusnya NU punya tanggung jawab sebagai penjaga lingkungan, kok malah merusak lingkungan,” sambungnya.

Penolakan senada juga datang dari 68 alumni Universitas Gadjah Mada yang merupakan warga NU.

“Kami meminta pemerintah membatalkan pemberian izin tambang ormas keagamaan,” kata juru bicara warga NU alumni UGM, Slamet Tohari pada Minggu.

Mereka berpendapat izin tambang tersebut berpotensi hanya menguntungkan segelintir elite dan menghilangkan tradisi kritis ormas.

Oleh sebab itu, mereka meminta agar PBNU kembali berkhidmah atau mengabdi kepada masyarakat dengan tidak menerima konsesi tambang.

PBNU menjadi satu-satunya organisasi masyarakat (ormas) keagamaan yang telah mengajukan izin pengelolaan tambang batubara kepada pemerintah sejauh ini.

NU bahkan telah menunjuk bendahara umum mereka, Gudfan Arif sebagai penanggung jawab atas pengelolaan usaha tambang NU.

Menanggapi kontroversi itu, Ketua PBNU Ahmad Suaedy meminta BBC News Indonesia mengutip tulisan opininya di surat kabar Media Indonesia tanggal 7 Juni 2024. Dia kemudian membagikan tautan tulisannya tersebut kepada BBC News Indonesia.

Dalam artikel opini berjudul Demokrasi Post-Secular dan Agenda Kesetaraan (Kasus Tambang untuk Ormas Keagamaan), Suaedy secara garis besar berargumen bahwa umat berhak mengelola tambang, setelah selama ini “disingkirkan oleh sekularisme dan liberalisme”.

“Langkah [pemerintah] seharusnya menantang para akademisi dan intelektual untuk memikirkan suatu model pembangunan asimetris dengan berpihak kepada mereka yang lemah dan tertinggal,” kata Suaedy dalam salah satu paragraf dalam tulisan opininya itu.

Lebih lanjut, dia menilai bahwa “agenda tentang moralitas dan etika publik, kelestarian lingkungan, serta tata kelola pemerintahan yang baik layak menjadi konsentrasi bersama dengan tetap memperhatikan keadilan dan kesetaraan”.

Sebelumnya, pada Jumat (7/6/2024), Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengatakan bahwa izin usaha pertambangan (IUP) untuk PBNU sudah diproses dan akan rampung dalam pekan ini.

Menurut Bahlil, PBNU akan mendapat jatah di lahan bekas tambang batubara PT Kaltim Prima Coal (KCP) di Kalimantan Timur.

“NU sudah jadi sudah diproses, saya akan memakai prinsip karena ini untuk tabungan akhirat, lebih cepat lebih baik. Insya Allah [minggu depan],” kata Bahlil.

Belum ada penjelasan rasional ke akar rumput

Ketika Desa Wadas dikepung aparat yang hendak mengukur tanah milik warga untuk pembebasan lahan demi pertambangan batu andesit, Talabudin mengatakan kelompok-kelompok masyarakat sipil lah yang banyak membantu perjuangan warga.

Selain Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta yang banyak membantu, LBH Ansor sebagai sayap organisasi NU juga turut mendampingi agar hak-hak warga dipenuhi secara baik pemerintah. Apalagi, mayoritas warga Wadas adalah warga NU.

“Kami dulu juga menggaungkan fatwa NU soal putusan muktamar yang mengharamkan eksploitasi dan perusakan alam. Kami sempat sedikit punya harapan lah dengan dukungan lembaga sebesar NU,” kata Tabudin ketika dihubungi.

Namun ketika mendengar keputusan para petinggi NU untuk mengelola tambang batubara, Tabudin mengaku “lebih dari kecewa”.

“Kalau ada bahasa lain yang lebih menggambarkan dari kecewa, itulah yang saya rasakan,” tutur Tabudin yang juga merupakan seorang Nahdliyin.

Meskipun warga Wadas tidak terdampak langsung oleh kebijakan baru yang menyasar area tambang batubara ini, Tabudin mengatakan apa yang terjadi di Wadas telah membuat mereka merasakan pahitnya menjadi korban tambang.

Oleh sebab itu, dia berharap apa yang dialami warga NU di Wadas turut menjadi pertimbangan PBNU untuk tidak berkontribusi pada praktik buruk tambang di tempat lain.

Warga NU lainnya, Muhammad Hidayatullah mengatakan sikap NU tersebut telah menjadi perdebatan yang cukup intens di kalangan akar rumput.

Bagi pihak yang sepakat, narasi yang kerap muncul adalah keputusan ini dinilai lebih baik ketimbang pengelolaan sumber daya alam selalu jatuh ke tangan cukong.

Namun bagi yang tak sepakat seperti Hidayatullah, urgensi NU mengelola tambang batubara masih menjadi pertanyaan besar.

Sejauh ini, dia mengaku belum menerima penjelasan yang rasional perihal alasan NU perlu mengelola tambang, bagaimana skema pengelolaan yang diklaim akan “ramah lingkungan” oleh para petinggi NU itu, serta bagaimana merehabilitasi dampak-dampak kerusakan lingkungannya.

“NU punya beban moral besar ketika masuk ke wilayah yang destruktif ini. Menurut saya, keputusan ini perlu diukur lagi,” kata dia.

“Lalu yang dicari dengan mengelola tambang itu apa? Apakah untuk mencari sumber keuangan NU? Kalau seperti itu, warga NU sudah terbiasa swasembada, urunan. Itu sudah menjadi budaya di arus bawah,” ujarnya.

Hidayatullah juga mengaku tergelitik dengan fakta bahwa yang akan dikelola adalah tambang batubara, yang bertentangan dengan semangat mendorong transformasi energi.

Alih-alih memberi manfaat, Hidayatullah justru menilai keputusan PBNU akan mempersulit posisi para kader yang memperjuangkan hak-hak warga korban tambang seperti di Wadas.

“Ini malah menjadikan posisi kader-kader NU di bawah yang selama ini membersamai masyarakat pada posisi sulit, bimbang,” kata Hidayatullah.

Itu karena napas perjuangan mereka akan selalu dikontraskan dengan kerusakan lingkungan yang dikhawatirkan terjadi di tambang yang dikelola NU.

Hal senada juga diutarakan oleh Nahdliyin korban tambang lainnya dari Desa Wadas, Fuad Rofiq. Alih-alih memandangnya sebagai “hadiah” dari pemerintah, Fuad menilai kebijakan ini sebagai “jebakan” bagi NU.

“Ini terlalu berisiko ketika NU yang fokus perjuangannya untuk umat malah berpindah menjadi seperti korporasi, mengelola tambang. Saya khawatir terjadi seperti yang dijelaskan di hadist nabi, ketika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka yang timbul adalah kehancuran,” tutur Fuad.

“Jangan sampai pemberian seperti itu justru akan menyandera NU. Bukannya untuk kemaslahatan umat, malah ada hal lain yang terganggu, misalnya peran kontrol terhadap [kebijakan] pemerintah,” kata dia.

Fuad berharap keresahan dari arus bawah yang mengemuka ini menjadi pertimbangan bagi PBNU.

Lahan tambang mana yang jadi jatah NU?

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sejauh ini telah menyediakan enam lahan eks tambang yang hak kelolanya akan diberikan kepada ormas keagamaan.

Keenamnya terdiri dari lahan bekas tambang PT Kaltim Prima Coal (KPC), PT Arutmin Indonesia, PT Kendilo Coal Indonesia, PT Adaro Energy Tbk, PT Multi Harapan Utama (MAU), dan PT Kideco Jaya Agung.

Untuk PBNU, pemerintah memberi lahan bekas salah satu anak usaha grup milik pengusaha Aburizal Bakrie, PT Kaltim Prima Coal. Bahlil belum mengungkap berada besar cadangan yang ada di lahan tambang untuk PBNU tersebut.

“Berapa cadangannya nanti begitu kita kasih, tanya mereka,” kata Bahlil.

PT KPC sendiri telah tercatat mengalami penciutan wilayah tambang sekitar 23.000 hektare menurut data Minerba One Data Indonesia (MODI).

Mareta Sari dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kaltim memperkirakan lahan yang dimaksud adalah bekas lahan tambang PT KPC di wilayah Rantau Pulung dan Sangatta, Kutai Timur.

Praktik tambang di wilayah yang dikelola PT KPC ini telah lama menjadi perhatian JATAM.

Menurut Mareta, pernah ada temuan lubang-lubang tambang yang tidak ditutup kembali di area ini. Lubang tambang semacam ini tersebar di seluruh wilayah Kaltim dan telah menyebabkan lebih dari 40 orang meninggal dunia sejak 2011.

Aktivitas tambang di wilayah ini juga pernah mencemari Sungai Bendili karena tanggul penampung limbah jebol. PT KPC membayar denda sebesar Rp11,39 miliar kepada pemerintah akibat itu.

JATAM juga mencatat riwayat kriminalisasi terhadap masyarakat yang mempertahankan lahannya. Masyarakat adat Dayak Basap pun dipindah dari kampung mereka imbas operasional tambang di kawasan ini.

Riwayat yang terjadi di area ini bertentangan dengan syarat-syarat yang diutarakan oleh PBNU.

Dalam konferensi pers pada Kamis (06/06), Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf mengatakan bahwa NU tidak serta merta setuju dengan lokasi konsesus tambang yang diberikan pemerintah.

“Jika NU diberi konsesi di tengah pemukiman tentu saja kami tidak akan mau, atau dikasih konsesi yang di situ ada klaim hak ulayat, tentu tidak bisa, tentu kita tidak mau,” kata Yahya.

NU, sambung Yahya, juga “sangat memperhatikan keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat”.

Akan tetapi dengan riwayat kerusakan lingkungan dan kekerasan terhadap masyarakat yang terjadi, Mareta meragukan pengelolaan tambang oleh ormas akan dapat memperbaiki situasi.

“Yang diurus oleh korporasi dan negara saja tidak bisa dikendalikan dampak lingkungan dan kerusakannya, apalagi oleh ormas,” kata Mareta.

Dia khawatir ormas seperti NU pada akhirnya akan melanggengkan siklus destruktif itu.

Bagaimana sikap ormas keagamaan lainnya?

Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengatakan keputusan perihal ini sepenuhnya berada di tangan Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

“Semuanya akan dikaji dari berbagai aspek dan sudut pandang yang menyeluruh,” kata Mu’ti melalui keterangan tertulis yang diterima BBC News Indonesia.

Namun Kader Hijau Muhammadiyah berharap pimpinan pusat akan menolak tawaran pemerintah tersebut.

“Kami melihat secara realistis, pertambangan selama ini menimbulkan permasalahan fundamental bagi kehidupan sosial ekologis dan makin memiskinkan,” kata Presidium Kader Hijau Muhammadiyah, Fahmi Ahmad Fauzan.

“Muhammadiyah seharusnya menjadi pembimbing dan patron bagi masyarakat untuk kebaikan bersama, tidak makin membuat kerusakan,” sambung Fahmi.

Sementara itu, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) menyatakan “tidak akan mengajukan izin usaha pertambangan batubara”.

Senada, Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) juga mengatakan “tidak akan melibatkan dirinya sebagai gereja untuk bertambang”.

Ormas Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) menyebut keputusan pemerintah sebagai bentuk pelibatan masyarakat dalam mengelola kekayaan alam negeri.

Menurut Ketua Umum PGI Gomar Gultom, pemberian izin tambang untuk ormas itu “tidak mudah untuk diimplementasikan”.

Alasannya, ormas keagamaan memiliki keterbatasan, sementara dunia tambang disebutnya sangat kompleks.

“Namun, mengingat setiap ormas keagamaan juga memiliki mekanisme internal yang bisa mengkapitalisasi sumber daya manusia yang dimilikinya, tentu ormas keagamaan, bila dipercaya, akan dapat mengelolanya dengan optimal dan profesional,” kata Gomar.

Apabila nanti izin penambangan itu dilaksanakan, Gomar mengingatkan agar ormas keagamaan tidak mengesampingkan tugas dan fungsi utamanya dalam membina umat, serta tidak terkooptasi oleh mekanisme pasar.

“Dan yang paling perlu, jangan sampai ormas keagamaan itu tersandera oleh rupa-rupa sebab sampai kehilangan daya kritis dan suara profetiknya,” tegasnya.