FaktualNews.co

Konflik PKB-PBNU: Pengabaian Politik dan Pengkhianatan Prinsip

Nasional     Dibaca : 764 kali Penulis:
Konflik PKB-PBNU: Pengabaian Politik dan Pengkhianatan Prinsip
FaktualNews.co/istimewa
Ketum PBNU KH Yahya Cholil Staquf.

JAKARTA, FaktualNews.co-Meningkatnya ketegangan antara Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) bukan sekadar pertarungan kekuasaan. Namun, melainkan mencerminkan krisis identitas yang serius serta campur tangan berbahaya dalam ranah masing-masing.

PBNU, sebagai penjaga spiritual komunitas Nahdliyin sekaligus organisasi induk dari PKB, menyimpang dari tujuannya sebagai pembimbing moral dan spiritual dengan terlibat terlalu jauh dalam politik partai.

Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar saat berpidato pada pembukaan Muktamar VI PKB di Bali Nusa Dua Convention Center, Sabtu (24/8/2024). (BPMI – Sekretariat Wakil Presiden RI)

Sementara itu, di bawah kepemimpinan Muhaimin Iskandar (Cak Imin), PKB berubah dari organisasi akar rumput menjadi entitas elitis yang top-down, menjauh dari basis pendukungnya.

Konflik ini memperlihatkan disfungsionalitas yang mewabah dalam politik Indonesia dan menjadi pelanggaran terhadap prinsip-prinsip yang melandasi terbentuknya kedua organisasi tersebut.

Sebagai organisasi keagamaan, PBNU seharusnya mengutamakan arah spiritual dan kepemimpinan moral.

Namun, keterlibatan yang semakin mendalam dalam politik PKB, termasuk upaya menyingkirkan Cak Imin dengan mendukung Muktamar tandingan, sungguh memprihatinkan.

Ini bukan soal mempertahankan keyakinan partai, melainkan soal perebutan kekuasaan.

Intervensi politik semacam ini merongrong otoritas spiritual PBNU dan mengkhianati harapan para pendukungnya yang menginginkan organisasi tersebut tetap nonpartisan.

Di sisi lain, PKB di bawah Cak Imin menjadi hampir tak berbeda dari partai politik lainnya, dengan strategi yang berfokus pada kekuasaan secara top-down.

Pergeseran ini menekan kelompok-kelompok internal yang dipimpin tokoh seperti Lukman Edy, memperlihatkan elitisasi di tubuh partai.

Meski meningkatnya dukungan elektoral PKB tampak seolah membenarkan arah ini, kenyataannya lebih mungkin karena ketiadaan alternatif bagi warga Nahdliyin.

Alih-alih membela basis konstituen akar rumputnya, PKB semakin memprioritaskan konsolidasi kekuasaan di tingkat atas, menyimpang dari tujuan pendiriannya.

Dengan menggunakan Teori Fungsionalis dalam ilmu politik, kita dapat memahami disfungsi dalam hubungan antara PKB dan PBNU.

Teori ini menyatakan bahwa institusi dalam masyarakat seharusnya bekerja untuk memperkuat stabilitas dan kohesi.

Ketika organisasi keagamaan dan politik melampaui tanggung jawabnya, seperti yang dilakukan PBNU dan PKB, terjadilah ketidakseimbangan sistemik yang berujung pada ketidakstabilan dan konflik sosial.

Keterlibatan PBNU dalam politik tidak hanya menimbulkan ketidakpastian di kalangan pendukungnya, tetapi juga mengikis garis batas yang seharusnya ada antara bimbingan keagamaan dan ambisi politik.

PBNU dan PKB tidak cukup menggambarkan perselisihan ini sebagai sekadar dinamika kekuasaan dan dendam sejarah.

PBNU, sebagai penjaga ajaran keagamaan dan etika, seharusnya menghindari terlibat dalam permainan kekuasaan yang biasa dilakukan entitas politik.

Aktivitas terbarunya, seperti memobilisasi sayap pemuda seperti GP Ansor dan Pagar Nusa untuk memengaruhi urusan internal PKB atau mendukung Muktamar tandingan secara terbuka, menunjukkan entitas keagamaan ini telah melampaui batasnya.

Alih-alih fokus pada kepemimpinan spiritual, PBNU malah terjebak dalam konflik partisan yang merongrong otoritas moralnya dan mempertaruhkan posisinya sebagai pemimpin agama yang netral.

Di sisi lain, klaim PKB untuk mewakili kepentingan Nahdliyin tampak semakin palsu. Konsolidasi kekuasaan oleh Cak Imin menciptakan atmosfer partai di mana oposisi ditekan dan demokrasi internal diabaikan: terbentuknya faksi-faksi yang terbelah di dalam partai membuktikan hal ini.

Alih-alih terlibat dalam representasi akar rumput yang sejati, kepemimpinan PKB lebih memilih mempertahankan kendali dengan memanfaatkan kekuatan organisasinya.

Upaya terbaru partai untuk membungkam suara alternatif, seperti oposisi yang dipimpin oleh Lukman Edy, semakin menegaskan kecenderungan aristokratiknya.

Yang paling mengkhawatirkan adalah pertikaian elite ini terjadi dengan mengorbankan Nahdliyin, yang terpecah antara kesetiaan mereka kepada NU dan ikatan politik mereka dengan PKB.

Keterlibatan kelompok paramiliter seperti Garda Bangsa, sayap pemuda PKB, dan Banser, laskar paramiliter PBNU, sangat memperburuk perpecahan ini.

Ancaman Garda Bangsa untuk membubarkan Muktamar tandingan PKB dan kesiapan Banser untuk menghadapi PKB atas perintah PBNU menunjukkan bagaimana pertarungan ini semakin berpotensi menimbulkan kekerasan, menyeret Nahdliyin ke dalam baku hantam.

Hal ini sangat mengkhawatirkan. Alih-alih mencari penyelesaian damai yang mengutamakan keinginan dan tujuan Nahdliyin, kedua belah pihak tampaknya lebih peduli pada peneguhan otoritas daripada menjaga kesatuan dan keharmonisan basis bersama mereka.

Kesediaan kelompok-kelompok seperti Banser dan Garda Bangsa untuk meningkatkan ketegangan berisiko merobek tatanan sosial masyarakat yang sudah tertekan oleh loyalitas yang saling bersaing.

PBNU dan PKB terkunci dalam permainan zero-sum, di mana tidak ada yang mau berkompromi, sehingga menyebabkan polarisasi lebih besar di antara basis bersama mereka. Ini adalah jalur yang berbahaya bagi demokrasi Indonesia.

Pertarungan yang sedang berlangsung ini menyoroti rapuhnya hubungan antara institusi keagamaan dan politik serta masalah yang muncul ketika hubungan ini menjadi terlalu terjalin.

Nahdliyin merasa bingung dan terpecah antara kesetiaan mereka kepada NU dan afiliasi politik mereka dengan PKB, yang mengarah pada kekecewaan semakin besar.

Kerusakan pada demokrasi Indonesia bersifat tiga lapis. Keterlibatan politik yang kuat oleh PBNU melemahkan pemisahan antara otoritas keagamaan dan pemerintahan politik, yang penting bagi masyarakat demokratis yang berfungsi.

Ketika entitas keagamaan terlibat dalam perselisihan politik, hal ini menciptakan lebih banyak perpecahan di masyarakat dan merusak kredibilitasnya sebagai kompas moral.

Kedua, kurangnya demokrasi internal di PKB dan kegagalannya untuk benar-benar mewakili kepentingan Nahdliyin berkontribusi pada hilangnya kepercayaan pada partai politik.

Transformasi partai menjadi organisasi yang haus kekuasaan membuat pendukungnya terasing dan mengurangi efektivitasnya sebagai kekuatan politik yang representatif.

Untuk maju ke depan, PBNU dan PKB harus kembali terhubung dengan tanggung jawab asli mereka. Sebagai organisasi yang melahirkan PKB, PBNU harus mengutamakan kepemimpinan spiritual dan etis sambil membiarkan PKB mengelola politik praktis bagi Nahdliyin.

PBNU sebaiknya menahan diri dari campur tangan politik dan mendorong percakapan yang lebih baik, berwawasan, dan beretika di antara anggotanya.

Sementara itu, PKB harus kembali ke akarnya dengan fokus pada keterlibatan akar rumput dan demokrasi internal, menyelesaikan ketidakpuasan internal, dan memastikan bahwa berbagai perspektif didengar.

Perselisihan ini lebih dari sekadar pertarungan kekuasaan; ini menunjukkan krisis identitas dan tujuan yang lebih luas bagi kedua kelompok.

Untuk melayani konstituen mereka dan memperkuat demokrasi Indonesia, PBNU dan PKB harus berdamai dan menghormati peran masing-masing—PBNU sebagai panduan moral dan PKB sebagai representasi politik Nahdliyin.

Ini memerlukan kerendahan hati, kembali ke prinsip-prinsip dasar, dan dedikasi yang tulus untuk kesejahteraan komunitas mereka. Tanpa penyesuaian ini, keduanya berisiko kehilangan legitimasi dan relevansinya dalam politik dan masyarakat Indonesia.

Baca berita menarik lainnya hasil liputan
Editor
Nurul Yaqin
Sumber
kompas.com