JAKARTA, FaktualNews.co-Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI periode 2024-2029 tidak akan lagi mendapatkan fasilitas Rumah Jabatan Anggota (RJA). Sebagai gantinya para anggota dewan akan menerima uang tunjangan perumahan setiap bulan.
Sekretaris Jenderal DPR RI, Indra Iskandar menjelaskan, keputusan ini diambil karena RJA sudah tidak ekonomis untuk dipertahankan sebagai tempat tinggal mengingat kondisi bangunan yang sudah tua sehingga perlu biaya pemeliharan yang besar.
“DPR ingin lebih ekonomis dalam pengelolaan keuangan. Sebagian rumah sudah tua dan membutuhkan biaya besar untuk perbaikan,” ujar Indra, Jumat (4/10/2024).
Indra menyebutkan, rapat konsultasi antara pimpinan DPR dan fraksi-fraksi sudah sepakat untuk mengembalikan kompleks RJA di Kalibata dan Ulujami ke negara melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Kementerian Sekretariat Negara.
Setelah dikembalikan, Kemenkeu.akan mengecek seluruh aset yang ada di rumah tersebut sebelum memutuskan langkah selanjutnya.
Sementara itu, Sekretariat Jenderal (Setjen) DPR RI sedang melakukan kajian untuk menentukan besaran tunjangan perumahan yang ideal.
Kajian ini dilakukan dengan mempertimbangkan harga sewa rumah di wilayah Jakarta dan sekitarnya, seperti di kawasan Senayan, Semanggi, hingga Kebayoran Baru.
“Tim dari Biro Perencanaan sedang melakukan survei harga sewa rumah. Kami ingin nilai yang realistis, tidak terlalu mahal atau terlalu murah,” kata Indra.
Setjen DPR juga akan bekerja sama dengan pihak penilai (appraisal) untuk memastikan tunjangan yang diberikan sesuai dengan harga pasar.
Indra memastikan, tunjangan perumahan ini akan dimasukkan ke dalam komponen gaji anggota DPR dan akan dievaluasi setiap tahun mengingat fluktuasi harga sewa di Jakarta.
Indra mengakui kebijakan ini tidak sepenuhnya diterima dengan baik semua anggota dewan.
“Beberapa anggota sangat mendukung kebijakan ini, tetapi ada juga yang keberatan karena sudah merasa nyaman tinggal di rumah dinas di Kalibata,” kata Indra.
Anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Herman Khaeron termasuk yang mendukung kebijakan tunjangan perumahan ini.
Ia menilai, tunjangan perumahan lebih praktis dan dapat membantu anggota dewan yang memiliki rumah jauh dari Senayan.
“Ini bagus, daripada anggota dewan harus menghadapi kemacetan setiap hari, mereka bisa menyewa rumah yang lebih dekat dengan Senayan,” ujar Herman di Kompleks Parlemen, Jumat.
Kebijakan DPR ini lantas mengundang kritik dari berbagai pihak, salah satunya karena pemberian tunjangan ini dianggap sebagai pemborosan.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai kebijakan itu berpotensi menambah beban anggaran negara.
“Keputusan mengganti rumah dinas dengan tunjangan perumahan justru akan menambah beban anggaran. Padahal, dengan tetap menggunakan rumah dinas yang ada, anggaran bisa lebih efisien,” kata Lucius, Jumat.
Lucius juga mempertanyakan keadilan pemberian tunjangan ini, mengingat ada anggota DPR yang sudah memiliki rumah di Jakarta.
Menurut dia, kebijakan itu akan menguntungkan anggota yang sudah memiliki hunian pribadi, termasuk anggota dewan yang memiliki hubungan keluarga.
“Apakah suami-istri anggota DPR masing-masing akan menerima tunjangan perumahan? Ini kan tidak adil,” ucap Lucius.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Seira Tamara pun mempertanyakan proses pengawasan terhadap penggunaan dana tunjangan perumahan kepada anggota dewan.
Ia khawatir, uang tunjangan perumahan itu justru digunakan bukan untuk keperluan memiliki tempat tinggal. Padahal, uang tunjangan itu berasal dari publik dan harus dipertanggungjawabkan.
“Jumlah anggota DPR itu ada sangat banyak dan ketika dana ini diberikan setiap bulan berbarengan dengan gajinya tentu akan sulit kan untuk mengontrol atau mengeceknya,” kata Seira.