Wisata

Even Tahunan Budaya Multi Bentuk Digelar, Ingatkan Kesadaran Ekologis dan Doa Dapat Calon Kepala Daerah Yang Rangkul Seniman

JEMBER, FaktalNews.co – Even budaya multi bentuk ‘Krida Sinatria Bhumi Watangan’ kembali digelar oleh Pemerintah Desa Lojejer, Kecamatan Wuluhan, Kabupaten Jember. Bekerjasama dengan Dewan Kesenian Jember (DeKaJe) dan Pusat Kajian Pemajuan Kebudayaan Universitas Jember (Pusakajaya-UNEJ), even budaya dengan konsep gelaran ragam pertunjukan seni dan doa itu dijadikan acara rutin tahunan. Gelaran yang tahun ini sudah ketiga kalinya ini, tersirat pesan untuk mengingatkan pentingnya kesadaran menjaga lingkungan (ekologis). Selain itu, even ini juga tersirat pesan dan doa, karena bersamaan dengan momen Pilkada Serentak 2024 dimana diharapkan nantinya mendapatkan pimpinan yang mau merangkul para seniman.

“Kerja budaya, termasuk sastra di banyak negara menjadi salah satu alternatif untuk membangun kesadaran ekologis di tengah krisis iklim. Di Indonesia, mulai banyak seniman yang mengupayakan kampanye ekologis melalui karya kultural,” ujar Koordinator Pusakajaya-UNEJ Ikwan Setiawan saat dikonfirmasi sejumlah wartawan. Ditahun 2024 ini, mereka menghadirkan pembacaan puisi dan happening arts agar para pelaku sastra terus bersemangat untuk menawarkan wacana kesadaran ekologis kepada publik Jember melalui karya sendiri. Dalam acara budaya multi bentuk itu, kata Ikwan, melibatkan seniman, perangkat desa, dan warga masyarakat dengan ragam acara yang mengusung tema menjaga lingkungan melalui jalan kebudayaan.

Para pegiat seni Jember saat adakan even tahunan Budaya Multi Bentuk, di gua Watangan, Jember, minggu (17/11/2024)

Digelar di kawasan Gunung Watangan, menurut Ikwan, hal ini merupakan benteng alam yang melindungi banyak pemukiman warga dan lahan pertanian di wilayah Kecamatan Wuluhan dan Ambulu dari ancaman bencana alam, khususnya tsunami. “Karena lokasi Gunung Watangan ini berbatasan langsung dengan Samudra Indonesia atau yang lebih dikenal dengan Segara Kidul. Watangan merupakan bukit yang diketahui memiliki habitat aneka macam tumbuhan dan satwa yang dilindungi keberadannya sejak era kolonial,” kata pria yang juga dikenal sebagai Dosen Sastra Inggris di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unej itu. Pemilihan lokasi even budaya multi bentuk itu digelar di Gunung Watangan, karena di lokasi tersebut, diketahui juga ada kawasan gua, yang dinilai memiliki nilai-nilai historis.

“Sejak zaman Belanda, kawasan gua-gua (sekitar Gunung) Watangan sudah diteliti terkait rangka manusia purba. Hayam Wuruk, Raja Mahapahit, juga pernah singgah di Kucur yang menjadi satu dengan Watangan. Artinya, kawasan ini memang memiliki keunikan tersendiri. Maka, sudah semestinya kita bisa mengembangkan Watangan sebagai kawasan eko-kultural yang ditandai dengan upaya merawat alam melalui kerja-kerja kebudayaan,” tambah Ketua Umum DeKaJe Eko Suwargono.

Dalam bagian acara yang diantaranya itu juga ada diskusi itu. Peserta juga diajak memahami sejarah panjang kawasan Watangan dan kemungkinan pengembangannya yang tetap mengedepankan aspek lingkungan, keberdayaan ekonomi warga, dan kreativitas kultural di kawasan gua dan hutan. Di kawasan sekitar gua bisa digelar even kultural seperti ragam pertunjukan seni yang merespons potensi dan permasalahan lingkungan. Dan diharapkan, bisa melibatkan para pelaku seni di Jember dan kaum muda kawasan selatan Jember. “Para mahasiswa dan peneliti bisa diajak untuk meneliti keunikan ekosistem kawasan, seperti jenis tanaman, satwa, mata air, dan potensi lain, yang bisa dilestarikan oleh pemdes dan masyarakat,” sambung Eko.

Menanggapi kegiatan ini, Kades Lojejer Mohamad Sholeh mengatakan agar pengembangan kawasan Watangan harus tetap berorientasi kepada pemberdayaan ekonomi masyarakat. KOndisi saat ini, Pemdes Lojejer mengelola perhutanan sosial di kawasan Watangan. “Pemdes Lojejer telah merintis usaha-usaha pengembangan yang memberikan dampak secara ekonomis. Misalnya, kami membuat destinasi wisata baru, Tangga Langit, di mana pengunjung bisa menikmati indahnya sunset dari Watangan. Pengelolanya karang taruna. Kami juga menyiapakan lahan untuk koro pedang dan anggur bermacam jenis yang potensinya bagus sekali,” kata Sholeh. Ke depan, lanjutnya, pengembangan kawasan Watangan juga akan diintegrasikan dengan keinginan pemdes untuk menjadikan Lojejer desa swasembada pangan. Lojejer sendiri menurutny, bisa menjadi kawasan produktif untuk meningkatkan ketahanan pangan. Apalagi, persoalan pangan ke depan akan menjadi isu nasional dan global yang cukup serius.

Sementara itu menurut musisi dari Mangaran Ajung, Fathor Rosy yang hadir dalam acara ini, acara budaya multi bentuk tresbut agar tetap bisa digelar setiap tahunnya. “Saya berharap pemimpin Jember berikutnya, memiliki visi untuk merangkul seniman dari berbagai bentuk kesenian, bukan satu kesenian saja, seperti yang disampaikan secara tersirat dari even Krida Sinatria Bhumi Watangan ini,” ujar Rosy.

Semangat positif dari kegiatan ini, kata Rosy, baik dalam upaya untuk menjaga kawasan Gunung Watangan maupun menggiatkan kebudayaan diharapkan bisa menular ke desa-desa lain di Jember. Selain itu, nantinya dinas-dinas terkait diharapkan mampu mem-back up atau menyelenggarakan kegiatan lingkungan dan budaya sehingga benar-benar bisa dirasakan kemanfaatannya.

Perlu diketahui dari even Krida Sinatria Bhumi Watangan itu. Digelar selama selama dua hari, dari 16-17 November 2024. Even itu dibuka dengan Carita Ing Marjan, yang diselenggarakan di kawasan Gua Marjan, salah satu gua purba yang pernah dihuni manusia purba, puluhan ribu tahun lalu. Dilanjutkan dengan Slametan Bhumi Watangan, yang menjadi pembuka acara. Ritual ini mendoakan para leluhur yang telah berjasa membuka kawasan pemukiman, juga memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar memberi kelancaran bagi semua tahapan acara Krida. Selain itu, ritual sederhana di makam Mbah Bedug ini berharap agar kawasan Watangan selalu dilindungi Tuhan dan masyarakat terus mengembangkan kesadaran untuk menjaganya.

Salah satu pegiat saat menunjukkan karyanya dalam even multi bentuk. (minggu (17/11/2024)

Setelah melakukan ritual, peserta berkumpul di depan Gua Marjan untuk membaca puisi-puisi tentang permasalahan lingkungan, happening art, dan berdiskusi tentang pengembangan kawasan Watangan. Pembacaan puisi dilakukan oleh penggiat sastra dan pengurus DeKaJe. Selain membaca puisi, penggiat budaya dari Tempurejo, Anies Leo Lintang mengelar happening art, yakni melukis sambil berpuisi dan diiringi tembang Jawa. Sebagai penggiat seni yang pernah berguru secara langsung kepada seniman besar W.S. Rendra di Bengkel Teater. Anies berusaha menghadirkan kemampuan kreatifnya untuk terlibat dalam isu lingkungan.

Ia mengambil tema kelahiran dan ibu bumi yang mengajak masyarakat untuk selalu menghormati keberadaan lingkungan. Tema tersebut sangat sesuai dengan keberadaan Watangan yang menjadi tempat tinggal manusia purba dan melindungi kehidupan banyak warga. Carita Ing Marjan membawa pesan agar pelaku sastra dan budaya terus melibatkan diri dalam permasalahan ekologis yang menjadi ancaman nyata kehidupan manusia di bumi. Dalam even Krida Sinatria Bhumi Watangan itu, juga menggelar Gebyar Ing Lojejer yang berisi ragam pertunjukan. Mulai dari Arak-arakan Hasil Bumi dan Pawai Obor, tari persembahan guru TK, dan gelar wayang kulit dengan dalang Ki Eddy Siswanto. Pertunjukan itu sebagai penutup, yang dilaksanakan hari Minggu malam, 17 November 2024.