KPU Lamongan Kaget, Pasangan Nomor Urut 1 Ajukan Gugatan ke MK
LAMONGAN, FaktualNews.co – Pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Lamongan nomor urut 1, Abdul Ghofur-Firosya Shalati, resmi mengajukan gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan (PHP) Pilkada 2024 ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Hal tersebut diungkapkan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Lamongan, Mahrus Ali, saat mengonfirmasi bahwa gugatan tersebut telah terdaftar di laman resmi Mahkamah Konstitusi. “Kaget saat saya mengecek laman resmi MK, dan benar ada gugatan dari Lamongan,” ungkap Mahrus, Rabu (11/12/2024).
Padahal, Mahrus menambahkan, proses rekapitulasi hasil Pemilu di tingkat kabupaten telah dilakukan sesuai prosedur yang berlaku. Dalam rapat pleno yang digelar sebelumnya, seluruh pihak terkait menyepakati hasil rekapitulasi dan menandatangani dokumen tanpa ada keberatan. “KPU Lamongan kini tengah menunggu materi gugatan dari Mahkamah Konstitusi untuk proses lebih lanjut,” katanya.
Terkait gugatan ini, Mahrus juga menyatakan bahwa KPU Lamongan telah mempersiapkan langkah koordinasi dengan tim pendamping hukum. “Anggaran untuk pendampingan hukum sudah tersedia, dan kami segera berkoordinasi untuk menyikapi gugatan ini,” tambahnya.
Proses sengketa hasil Pilkada Lamongan kini memasuki tahap baru, dengan Mahkamah Konstitusi yang akan memeriksa dan memutuskan perkara ini. KPU Lamongan dan pihak terkait akan mengikuti perkembangan proses hukum tersebut guna menentukan langkah selanjutnya.
Sementara itu, Komisioner KPU Erfansyah Syahrir, Divisi Hukum dan Pengawasan mengatakan. Toleransi perbedaan suara dalam pembatalan hasil penghitungan suara di Pilkada, menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 mengatur ketentuan terkait pengajuan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara.
“Berdasarkan Pasal 158 ayat (2), syarat pengajuan pembatalan hasil penghitungan suara dibedakan sesuai dengan jumlah penduduk di masing-masing kabupaten/kota,” jelas Mansyah panggilan akrab Erfansyah Syahrir.
Bagi kabupaten/kota dengan jumlah penduduk sampai dengan 250.000 jiwa, lanjut Mansyah menjelaskan. Permohonan pembatalan dapat diajukan jika perbedaan suara antara calon tidak lebih dari 2 persen dari total suara sah yang dihitung pada tahap akhir. “Bagi Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 250.000 jiwa hingga 500.000 jiwa, batas toleransi perbedaan suara yang bisa diajukan adalah 1,5 persen,” tuturnya.
Ketentuan ini semakin ketat pada daerah dengan jumlah penduduk yang lebih besar. Untuk kabupaten Lamongan dengan jumlah penduduk lebih dari 500.000 jiwa, pengajuan permohonan pembatalan dapat dilakukan jika perbedaan suara tidak lebih dari 1 persen.
“Sedangkan, untuk kabupaten Lamongan jumlah penduduk lebih dari 1.000.000 jiwa, batas toleransi perbedaan suara yang dapat diajukan untuk pembatalan hasil penghitungan suara adalah 0,5 persen,” tegas Mansyah.
Aturan tersebut untuk memastikan bahwa perselisihan hasil penghitungan suara yang diajukan memiliki dasar yang kuat dan relevansi yang jelas, terutama di daerah dengan jumlah penduduk yang besar.
“Semakin besar jumlah penduduk di sebuah daerah, semakin kecil batas toleransi terhadap perbedaan suara yang diajukan untuk pembatalan, mencerminkan pentingnya ketepatan dan akurasi dalam penghitungan suara,” terang Komisioner Divisi Hukum dan Pengawasan.
Dengan adanya regulasi ini, diharapkan proses Pilkada dapat berjalan lebih adil dan transparan, serta mengurangi potensi konflik terkait hasil penghitungan suara di tingkat daerah.