Tradisi Suro Hidupkan Usaha Warangka Keris di Jombang
JOMBANG, FaktualNews.co – Bulan Suro membawa berkah tersendiri bagi Sudahri (55), seorang pengrajin warangka keris asal Desa Miagan, Kecamatan Mojoagung, Kabupaten Jombang. Sejak menekuni profesi ini pada 2009, Sudahri selalu kebanjiran pesanan setiap memasuki bulan pertama dalam kalender Jawa tersebut.
Tingginya permintaan ini tak lepas dari tradisi masyarakat Jawa yang kerap melakukan penjamasan atau pencucian pusaka keris pada bulan Suro. Selain membersihkan keris, banyak pemilik pusaka juga memanfaatkan momen ini untuk mengganti warangka atau sarung keris yang sudah usang.
“Kalau hari-hari biasa, saya hanya mengerjakan sekitar 7 sampai 8 warangka. Tapi di bulan Suro seperti sekarang, bisa sampai 25 pesanan per hari. Bahkan pelanggan harus rela antre,” ungkap Sudahri saat ditemui di tokonya di Pasar Loak Mojotrisno, Mojoagung.
Peningkatan pesanan biasanya mulai terasa sejak akhir Mei dan memuncak pada awal Juni, kemudian terus berlanjut hingga satu minggu setelah malam 1 Suro.
“Pesanan mulai ramai sejak akhir Mei. Hari ini saya sudah menyelesaikan sebagian warangka yang akan digunakan hari Rabu dan Kamis oleh pemiliknya,” ujarnya.
Hingga kini, Sudahri telah menyiapkan sekitar 20 warangka yang siap diambil pelanggan. Namun, beberapa di antaranya meminta agar keris mereka dijamas terlebih dahulu. Dalam tradisi Jawa, proses penjamasan biasanya diawali dengan ritual bancakan sebagai simbol keselamatan.
“Kalau ada yang minta dijamas, biasanya saya bawa pulang dulu untuk dilakukan bancakan,” jelasnya.
Selama bulan Suro, penghasilan Sudahri bisa mencapai Rp10 juta, jauh lebih tinggi dibanding hari-hari biasa yang berkisar antara Rp1,5 juta hingga Rp5 juta, tergantung jumlah pesanan dan pembeli.
“Warangka termasuk benda antik, jadi kadang gampang laku, kadang agak sulit juga. Tapi bulan Suro seperti ini biasanya ramai,” tambahnya.
Sudahri melayani pembuatan berbagai jenis warangka, mulai dari warangka galih asem, kayu kembang, ladrang, gayaman, hingga pelokan. Dari berbagai jenis tersebut, warangka pelokan menjadi favorit kolektor karena cocok digunakan untuk keris jenis tilam.
“Warangka pelokan paling sering dipesan. Tapi ada juga yang suka model betok, biasanya untuk keris sandang walikat,” ujarnya.
Meski demikian, ada jenis warangka yang cukup menantang untuk dikerjakan, yakni warangka ladrang. Selain membutuhkan kayu yang lebih tebal minimal 6 cm, bentuk lekukannya juga lebih rumit.
“Paling sulit memang warangka ladrang. Selain bahan kayunya harus khusus, bentuknya juga kompleks,” jelasnya.
Dalam sehari, Sudahri bisa menyelesaikan minimal empat warangka, tergantung bentuk dan ukuran yang dipesan. Pelanggannya tak hanya berasal dari Jombang, tapi juga dari berbagai daerah lain seperti Bojonegoro, Lamongan, Gresik, Sidoarjo, Mojokerto, hingga Surabaya.
Harga warangka bervariasi tergantung bahan, ukuran, dan tingkat kesulitan pembuatannya. Warangka dari kayu timoho dan cendana tergolong mahal, apalagi cendana dari Timor Timur yang harganya bisa mencapai Rp17 juta. Sementara untuk warangka berbahan kayu kembang dengan ukuran standar, harganya mulai dari Rp150 ribu.
“Harga tergantung bahan. Yang paling mahal biasanya dari kayu cendana timtim, bisa sampai Rp17 juta. Tapi ada juga yang murah, Rp150 ribu, kalau pakai kayu biasa,” ungkapnya.
Selain membuat warangka, Sudahri juga melayani jasa perawatan pusaka, termasuk penjamasan dan marangi (pemberian warangan) untuk menghidupkan kembali pamor keris.( Wahyu )