Indonesia yang sekarang ini (demokrasi atau era reformasi) bisa dibilang merupakan proyek lanjutan dari para intelektual (intelegensia) muslim pada masa lalu (akhir abad XIX–XX). Pengerjaan bangunan ‘NKRI Berkeadilan’ sebagai tanggungjawab intelektual tidaklah seperti ’bim salabim’ layaknya pesulap. Tetapi diperlukan upaya–upaya sistematis serta adanya kekuatan dan peluang yang memungkinkan untuk pengoperasian hasil rumusan atau artikulasi terhadap identitas kolektif, layaknya logika angka 1, 2, 3 dan seterusnya. Demikian itu, ialah hasil sketsa islam dalam pengetahuan dan kuasa politik nasional yang hendak di sodorkan kepada kita ‘pemuda muslim’ oleh Yudi Latif dalam bukunya berjudul “Genealogi Intelegensia : Pengetahuan dan Kekuasaan Intelegensia Muslim Indoensia Abad XX, Ed-1, Cet-1,”.
Ruang dan waktu sebagai batasan–batasan qodrati manusia, jadi bagian yang diakronik yang memaksa para intelektual muslim dalam menentukan strategi dan taktik, dan bagaimana hubungan para intelektual dengan kontestasi ide serta pergulatan wacana islam di luar dan di dalam Hindia (Indonesia; modern) secara sinkronik. Sebagaimana peryataan Yudi Latif halaman 7, “genealogi dalam artian ini berguna untuk memperhatikan dinamika, transformasi dan diskontinuitas dalam gerak perkembangan historis dari intelegensia muslim Indonesia. Karena itu, penerapan pembacaan secara genealogis, penelitian ini akan menempatkan keadaan–keadaan sinkronik (perubahan pada saat–saat tertentu) dalam kerangka waktu yang diakronik (lama sinambung)”.
Setidaknya ada empat penegasan tentang Islam dalam buku tersebut; pertama, Islam sholih likulli wakt wa makan. Yang artinya, bahwa Islam selalu menampilkan dirinya yang unik dalam menawarkan solusi dan gagasan abadinya tentang rahmatal lil alamin melalui para penganutnya. Keyakinan tersebut terelaborasi melalui formulasi ideologi dan Identitas Islam dari generasi ke generasi muslim berikutnya yang selalu berubah–ubah seiring durasi jangka panjang, longu duree.
Kedua, Islam ma’al mustadh’afiin. Islam menekankan pentingnya eksistensi setiap ciptaan Allah yang ada di dunia. Islam tidak menginginkan adanya diskriminasi dan penyeragaman baik dalam aspek struktur sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan. Misi tersebut bisa kita saksikan hingga sekarang ini, bagaimana para intelegensia muslim terus memproduksi wacana–wacana islam sebagai agama pembela kaum tertindas. Seperti pemikiran diskursif dalam ruang publik yang berhubungan dengan sosialisme, kapitalisme, pluralisme, multikulturalisme, egalitarianisme, sekulerisme dan radikalisme dan lain sebagainya.
Selanjutnya, Islam ma’al mu’tashimiin bi hablillah. Bahwa islam sebagai agama tauhid, menghendaki persatuan dan kesatuan dalam menegakkan keadilan. Fungsi manusia sebagai wakil Allah di muka bumi ini mengemban tanggung jawab mengatur dan mengelola dunia dalam beribadah kepada Allah SWT. Sehingga, persatuan dan kesatuan penting dalam menegakkan yang haq. Sebagaimana, al–haqqu bilaa nidzhomin yaghlibuhul baathil bin nidzom; kebenaran yang tidak terorganisir (terj; persatuan) maka akan terkalahkan oleh kebathilan yang terorganisir.
Terakhir, Islam ma’al mutasyawiriina bi amrihim. Artinya, islam tidak hanya mengatur soal peribadatan yang bersifat vertikal, melainkan soal berkehidupan yang bersifat horizontal. Bagaimana masyarakat dalam membangun sebuah Negara, tatanan sosial, tatanan ekonomi dan lain sebagainya diputuskan melalu mekanisme syura (atau musyawarah). Sejarah saling bermusyawarah dalam menentukan hal–hal yang menyangkut kepentingan orang banyak telah kita saksikan dalam dasar Negara dan empat komitmen nasional lainya.
Penegasan, sebagaimana penulis pahami, sampai hari ini era demokrasi dan keterbukaan, masih jadi wacana yang terus menerus direproduksi atau direduksi sekalipun. Hal tersebut wajar seiring pergantian generasi dan arus ideologi serta hiruk pikuk pemikiran Islam yang selalu berubah. Yudi Latif juga membantu bagi generasi masa sekarang dalam memperoleh pemahaman tentang sketsa Islam Indonesia sejak akhir abad XIX hingga XX. Terutama yang berhubungan dengan eksistensi (intelektual) intelegensia muslim yang mendapatkan pendidikan barat.
Menurut hemat penulis lagi, buku tersebut terkesan hanya mengapresiasi pergerakan kelompok Islam yang mengapresiasi modernitas atau islam modern, dalam dominasinya menguasai struktur peluang politik, struktur konflik–konflik intelektual, kognitif, formasi diskursif serta kondisi ruang publik. Sebut saja dalam hal ini positioning gerakan islam tradisionalis, yakni NU. Sebab, diakui oleh Yudi latif, buku tersebut hanya fokus meneliti dan menganalisa bagaimana produk intelektual (intelegensia) yang telah mengakses dan berinteraksi dengan sekolah–sekolah pendidikan barat. Namun demikian, pihaknya mengakui terhadap menonjolnya peran intelektual muda NU atau intelegensia tradisonalis sejak tahun 80-an pada halaman 609.
Pesan penting dalam buku tersebut ialah bahwa, ”demi masa depan bangsa (NKRI) yang lebih baik, tanggung jawab intelegensia adalah mentransformasikan populisme dari kesadaran diskursif menjadi kesadaran praktis. Sumber utama dari problem–problem politik nasional saat ini tidaklah terletak pada keterbelakangan rakyat, namun keengganan kaum elit untuk membebaskan diri dari masa lalu dan status quo. Politisasi masa lalu dan mistifikasi status quo harus dihentikan demi member jalan bagi terciptanya rekosiliasi dan rekonstruksi nasional. inilah saatnya bagi intelegensia Indonesia dari berbagai kelompok untuk bersatu dalam sebuah panggilan sejarah bersama : untuk melayani dan menyelamatkan bangsa ini”, halaman 612.
Buku tersebut merupakan disertasi Dr. Yudi Latif di Australia National University pada fakultas Research School Of Pasific and Asian Studis. Buku dengan ketebalan 612 halaman selain sarat dengan kajian sosiologi dan sejarah, juga kental dengan studi wacana dan politik Islam (muslim) dalam prosesnya memperoleh stratum sosial di belantara hutan dan hamparan lautan kepemimpinan Nusantara. Sehingga, sangat tepat bagi kita ‘generasi islam’ membaca, menelaah buku tersebut agar tidak tercerabut dari akar dan jati diri islam dalam mewarnai dan mewujudkan nation and state Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari cengkeraman kolonialisme. Serta bagaimana para kaum intelegensia muslim membangun dan mengukuhkan solidaritas dan soliditas nasional menuju pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia.
(Oleh Ali Makhrus. Penulis adalah Kader Gerakan Pemuda (GP) Ansor-Banser Kabupaten Madiun)
Note : Kirimkan naskah tulisan Anda ke email redaksi : faktualnews.co@gmail.com. Selanjutnya naskah dinyatakan menjadi hak penuh redaksi untuk dipublikasikan dalam rubrik suara netizen.
Terimakasih.