Pendidikan

Membincang Kebhinekaan, Mahasiswa Lintas Organisasi Berkumpul di Markas PMKRI Surabaya

Suasana diskusi kebangsaan lintas organisasi mahasiswa Surabaya, Sabtu (21/1) malam.
Foto : Andre/Faktualnews

Surabaya, Faktualnews.co – Puluhan mahasiswa dan anak muda yang tergabung dalam kelompok Cipayung, terdiri dari PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia), GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia), PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), GMNI (Gerakan Mahasiswa Islam Indonesia), Oikmas GKI (Gereja Kristen Indonesia), Pemuda Khatolik dan jaringan lintas Iman Surabaya menggelar acara diskusi kebangsaan, Sabtu, (21/1) malam.

Dalam acara yang diadakan di markas PMKRI di jln. Taman Simpang no. 4a Surabaya ini mengambil tema “Masa Depan Bhineka Tunggal Ika : di Tengah Potret Intoleransi. Hadir sebagai narasumber, yakni Andreas Kristianto (Oikmas GKI Jatim), Agnes Dwi Risjuwati (Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika), dan Vinsensius Awey (anggota DPRD kota Surabaya).

Saat pemaparan, Andreas Kristianto mengatalan, gerakan intoleransi begitu menguat karena dibarengi dengan isu-isu politik dan ekonomi. Biasanya menjelang pilkada kelompok fundamentalisme menjadi virus yang menjalar di tubuh NKRI. Justru praktik diskriminasi terjadi karena impotensi pemerintah dalam menegakkan konstitusi. “Nasionalisme, agama dan kemanusiaan harus menjadi nafas dalam hidup di negara ini,” tegas Andreas.

Sementara itu, Dari hasil penelitian Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika mengungkapkan bahwa praktik diskriminatif bisa terjadi kepada siapa saja. Di Kupang yang mayoritas Kristen pun juga melakukan praktik intoleransi ketika kelompok Islam mendirikan masjid atau mushola.

Agnes Dwi Rusjiyati menegaskan, 500 ribu orang siap untuk menebarkan paham radikalisme di Indonesia ini. Dari tahun 2004 – 2010, terdapat 4000-an tempat ibadah yang disegel, ditutup dan dibakar oleh kelompok garis keras yang intoleran.

“Bahkan di Lombok Timur, ada kelompok Ahmadiyah yang diganggu saat sholat tarawih. Pengusiran tersebut dilakukan oleh aparat desa. Dipaksa untuk konversi keyakinan dan keluar dari Ahmadiyah”, beber Agnes.

Vinsensius Awey mengatakan, kelompok intoleran begitu menguat karena kesejahteraan rakyat belum tercukupi dengan baik. Urusan perut masih kurang diperhatikan. Kalau pembangunan ekonomi merata dan adil niscaya rakyat hidup toleran dan harmonis. “Di tambah lagi, korupsi menjalar di pejabat-pejabat publik, yang nota bene adalah pemimpin rakyat,” tutur Awey.

Disela-sela acara, Irianto yang mewakili Keuskupan Surabaya mengungkapkan, hanya dengan berjejaring dan berkolaborasi sebagai anak bangsa, belenggu-belenggu fundamentalisme, teror dan kekerasan dapat dicegah sebaik mungkin. “Hanya dengan menghidupi kemerdekaaan dan menggelorakan semangat nasionalisme, kita menjadi pionir mengusung perdamaian di negeri ini,” tutur Irianto. (an/oza)