Laba Perusahaan Rokok Lari ke Luar Negeri , Seharusnya Bisa Topang Ekonomi RI
JAKARTA, FaktualNews.co – Pengamat Ekonomi Bima Yudhistira Adhinegara menilai, sangat memungkinkan laba atau keuntungan korporasi asing di Indonesia bisa ditahan terlebih dahulu di Indonesia.
Dengan cara paling mudah adalah merevisi undang-undang lalu lintas devisa. Bisa juga dengan memberikan skema insentif seperti keringanan pajak hingga kemudahan lain. Namun, kendalanya, dengan rezim devisa bebas saat ini, pemerintah tidak bisa melarang karena uang easy come easy go.
Seperti PT HM Sampoerna Tbk (HMSP), perusahaan rokok yang dikuasai oleh Philipp Morris Inc, membagikan deviden Rp 107,7 per lembar saham setara 98,2 persen dari laba bersih. Di kuartal pertama, perusahaan pun meraup pendapatan bersih sebesar Rp 22,6 triliun, naik tiga persen dari Rp 21,9 triliun dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
BACA : Donald Trump Keluarkan Ancaman Untuk Indonesia, Bisa Krisis Ekonomi
“Hasil laba anak usaha perusahaan asing bisa kabur cepat ke Amerika, pemerintah harus bisa memberi insentif, ini yang justru diperbanyak insentif korporasi besar induk di luar negeri, keringanan pajak perizinan, misal return earning sisa laba di reinvestasi ke Indonesia,” ujarnya seperti dikutip dari Merdeka.com, di Jakarta, Selasa (2/5/2017).
Bima mencontohkan, di Thailand, pemerintahnya menetapkan aturan bahwa setiap keuntungan korporasi yang berorientasi ekspor, terutama milik asing, wajib ditahan dulu di dalam negeri dan dikonversi ke Bath. Setelah itu, baru bebas digunakan. Thailand belajar hal itu karena ketika krisis 1998, ekonominya hancur lebur setelah menerapkan devisa bebas.
“Sekarang di Thailand itu, hasil ekspor saja harus ditahan delapan bulan,” tegasnya.
Sementara, di Indonesia, aturan ekspor masih banyak kepentingan. Dengan begitu, dana ekspor disimpan di Singapura. Seperti Thailand, pemerintah pun juga harus hati-hati, terapkan aturan jelas sehingga investor asing tidak alergi.
BACA : ISNU Harus Lebih Fokus pada Kemandirian Ekonomi, Tidak Bermain di Politik
“Solusinya revisi aturan lalu lintas devisa atau pemberian insentif lebih besar, sehingga mereka berpikir untuk ditanam lagi, asalkan beri kemudahan dan kepastian hukum, sehingga berpikir lebih baik di reinvestasi di indonesia dibanding dilarikan kembali ke luar negeri,” jelas Bima.
Sementara itu, Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamudin Daeng mengingatkan, skala ekonomi industri tembakau sangat besar. Jika dirinci, nilai ekspor tembakau USD 165 juta, kemudian ekspor produk hasil tembakau mencapai USD 1,1 miliar. Nilai penjualan rokok di dalam negeri, dengan asumsi-asumsi peneriman cukai 35 persen pada penerimaan negara, maka penjualan rokok bisa Rp 400 triliun lebih per tahun.
Selanjutnya, nilai emiten rokok di bursa efek, saham perusahaan rokok, bisa mencapai Rp 165 triliun, itu paling besar dari seluruh sektor lain. Dikalkulasi keseluruhan nilai ekonomi rokok tembakau di dalam negeri berkisar antara Rp 500 triliun sampai dengan Rp 600 triliun.
“Ini harus dilihat pemerintah sebagai satu potensi keuangan cukup besar.Yang menopang ekonomi negara,” kata Daeng.
Kontribusi besar lain yang harus diperhatikan dari industri rokok yakni dalam bentuk pajak dan cukai yang nilainya mencapai Rp 170 triliun.
“Bicara keuntungan dari perusahaan rokok yang beroperasi di Indonesia, keuntungan itu kalau kita rata ratakan sekitar 30 persen dari nilai transaksi, dari Rp 400 triliun sekitar Rp 120 triliun. Keuntungan ini kemudian dibagikan kemana saja. Itu yang harus dicermati, dilihat. Karena Sampoerna dikuasai Philip Morris, sekaligus pemegang market share rokok kita itu adalah perusahaan asing, maka ini ada potensi terjadi repatriasi keuntungan dalam jumlah besar,” tegas Daeng
Jadi, katanya, ada potensi repatriasi, perpindahan keuntungan dengan nilai sangat besar sekali dari industri ini ke luar negeri. Apalagi pemegang market share itu 98 persen sahamnya dimiliki oleh asing. Berarti transfer keuntungan itu sepenuhnya dilarikan ke pemegang saham.
Sampai sekarang, lanjutnya, tidak ada regulasi yang cukup memadai untuk mengoptimalkan ekonomi tembakau sebagai fondamen dari ekonomi nasional. Mestinya, dengan potensi keuangan sedemikian besar pemerintah bisa membentuk regulasi agar perputaran ekonomi sektor tembakau bisa menciptakan multifer effect besar ke dalam ekonomi nasional.
Misalnya, dengan melibatkan bank bank pembangunan daerah dan nasional di dalam pengelolaan keuntungan industri hasil tembakau sehingga bisa menjadi penopang keuangan pemerintah.
Seharusnya, keuntungan industri tembakau yang besar ini, bisa dibuatkan suatu pengaturan bahwa pendapatan dari industri ini harus dialokasikan kembali ke dalam negeri. Sebab, industri tembakau ditopang sepenuhnya oleh daya beli masyarakat.
“Kan Tax Amnesty buktinya bisa, kenapa tidak bisa. Industri tembakau kan bisa dikeluarkan dari kesepatakan billateral invesment trearty, atau dikeluarkan dari kesepakatan WTO karena industri tembakau bersifat khusus karena dikenakan cukai. Pemerintah bisa membuat pengaturan dengan cara membatasi transfer keuntungan dan mewajibkan perusahaan perusahaan re investasi dalam jangka waktu tertentu dalam rangka memperkuat ekonomi nasional. Bisa. Dan saya kita perusahaan asing pun mau,” pungkasnya. (*/REP)