FaktualNews.co

Keragaman Gender dan Seksualitas Dari Sudut Lain Islam

Suara Netizen     Dibaca : 16958 kali Penulis:
Keragaman Gender dan Seksualitas Dari Sudut Lain Islam

Oleh : Ali Makhrus*

Di dunia ini, manusia tidak hanya terdiri dari satu jenis; agama, kulit, mata, rambut, pekerjaan, gender, seksualitas, hobi, kepentingan dan lainnya. Hal-hal tersebut kemudian menjadi bagian dari fakta–fakta teologis, biologis, sosiologis, fisiologis, antropologis dan psikologis yang dikembangkan oleh manusia. Keberagaman tersebut membawa efek dalam segala aspek kehidupan manusia itu sendiri.

Allah berfirman dalam surat al–Hujurat [49]:13, yang artinya, “Wahai seluruh manusia, sesungguhnya kami telah menciptakan kamu dari laki–laki dan perempuan”, kemudian kami jadikan kamu berbangsa–bangsa dan bersuku– suku agar kamu saling mengenal. Sunggu, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Sungguh Allah Maha Mengetahui dan Maha Teliti”. Secara umum, para Ahli Tafsir memaknai bahwa, manusia terlahir dari pertemuan (wawu limuthlaqil jam’i) dari dua jenis kelamin yang berbeda, yang kemudian beranak-pinakkan generasi ras manusia hingga sekarang ini.

Keragaman gender (peran) merupakan bagian dari kontribusi manusia satu dengan lainnya. Hal tersebut tidak dibenarkan memandang hanya sebatas seksualitas (jenis kelamin). Kaidah umum seksualitas terbatas lelaki dan perempuan dalam arti sebenarnya sesuai bawaan lahir. Seperti tulisan Quraish Shihab, “perbedaan antara lelaki dan perempuan bisa disebabkan perbedaan budaya atau pengalaman sejarah (gender) yang telah berlangsung lama, maupun oleh perbedaan qodrati (sex) yang telah terbawa oleh masing–masing sejak kelahiranya. Kalau pertama (budaya/pengalaman sejarah) boleh jadi bisa diubah, maka yang kedua (qodrati) tidak mungkin dapat diubah [i].

Sejalan dengan Quraish Shihab, Nasaruddin Umar, mengatakan bahwa gender ialah konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedan laki – laki dan perempuan dilihat dari pengaruh sosial-budaya. Dengan kata lain, gender adalah hasil rekayasa masyarakat (the result of a social constructions), bukannya sesuatu yang bersifat kodrati [ii]. Saat ini apresiasi keragaman ‘gender’ sudah bisa dikatakan terus berkembang meskipun domain isu ini masih terbatas dikalangan akademsi, politisi, eksekutif, dan beberapa elemen yang peduli saja.

Kajian tentang gender sendiri telah mengalami kontekstualisasi dengan adanya 30% kuota politik bagi perempuan. Telah banyak kajian–kajian dari berbagai literatur klasik tentang kehendak sosial dan budaya yang telah mewarnai ragam dan konsep gender itu sendiri. Meskipun, dalam tataran praksis publik, belum bisa dikategorikan pencapaian yang maksimal.

Mengenai keragaman seksuslitas, apakah ini berhubungan dengan kepuasan birahi (making love) ataukah hanya fakta kecendrungan ragam emosi kejiwaan dalam aspek psikologi, belum sampai ada tataran aturan mengikat berbasis agama. Jika pertanyaannya, apakah keragamana seksualitas memperoleh afirmasi dalam Islam? Dalam Irsyadul Ibad, Al Qhodi Husein mengatakaan, “dimakruhkan bagi seorang perempuan yang memiliki kecenderungan (mail) kepada perempuan melihat wajah, dan badanya, dan tidur berdampingan tanpa penghalang, ketentuan tersebut berlaku seperti halnya laki- laki”.

Bahkan, Thabrani meriwayatkan -dalam Irsyadul Ibad-, “Jika perempuan mendatangi perempuan sejenisnya, mereka ialah dua orang pezina”. Dalam konteks hukum, konsekuensi itu juga jelas tergambar dalam riwayat Thabrani, “Tiga (orang/jenis/kelompok) yang Yang Allah tidak akan menerima persaksiannya bahwa tiada tuhan selain Allah, yakni penunggang (laki) dan yang ditunggangi (laki), penunggang (perempuan) dan yang ditunggangi (perempaun), serta imam (pemimpin) yang lalim (lacut)”[iii]. Dari dua paragrap di atas memberikan dua pengertian, keragaman seksualitas dalam aspek psikologi and antropologi , serta hukum sosial.

Kita juga tidak boleh menginkari, bahwa perasaan manusia tiada bisa direkayasa dan itu anugerah, namun realisasi anugerah itu terkadang bisa jadi baik (benar) dan buruk (salah). Seperti kasus yang terjadi pada Sayyidina Ali, “hai Ali, jangan ikutkan pandangan (berahi) dengan pandangan berahi. Yang pertama masih ditoleransi, dan kedua tidak lagi (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)[iv]”. Hal ini sejalan dengan  Ibn Hazm, kutip Quraish Shihab[v], “cinta, awalnya permainan dan akhirnya kesungguhan. Ia tidak dapat dilukiskan, tetapi harus dialami agar diketahui. Agama tidak menolaknya dan syariat pun tidak melarangnya, karena hati di tangan Tuhan, Dia Yang Membolak-balikanya”. Lanjut Qurais, “cinta pun bermacam–macam, ada cinta kepada Allah, kepada manusia, bahkan cinta kepada tanah air.

Proses gelora jiwa sangat apik dituliiskan oleh pengarang tafsir Al – Misbah. Quraish Shihab meruntutkan tahapan–tahapan sampai ke puncaknya cinta : tahap pertama meliputi perasaan ada dan tidak tentang sebuah “kedekatan”, yang diistilahkan oleh para pakar hukum Islam dengan Kafa’ah. Kemudian tahapan kedua, pasangan tersebut sampai kepada apa yang disebut dengan “pengungkapan diri”(self revelation). Sebuah kondisi nyaman, aman untuk saling berbagi satu sama lain. Kemudian tahap ketiga, munculnya rasa “saling ketergantungan” (mutual dependencies). Sebuah keadaan ketergantung untuk memenuhi atau mengandalkan pasangan memenuhi sebuah kebutuhan. Dan yang keempat ialah ialah kondisi seorang pasangan yang rela mengorbankan segala yang dimilikinya demi kebutuhan kekasihnya. Inilah yang populer dengan tahap mawaddah, cinta sejati.

Sementara, keragaman seksualitas (kecenderuagan berahi) -dalam pandangan penulis- seiring arus global komunitas Lesbi, Gay, Biseksual dan Transgender (selanjutnya : LGBT) bisa jadi sebuah fakta psikologis (emosi) dan antropologis (masyarakat) yang telah banyak pengkajian mendalaminya. Dengan tidak menampik fakta tersebut, perlu diketengahkan dulu persoalan sesungguhnya mengenai kebergaman seksulitas.

Dengan arti lain, keragaman seksual jika dipahami sebagai mail (kecondongan/ kecenderungan) saja, bisa penulis katakan itu dibenarkan secara fitrah. Sementara jika dipahami dalam konteks seperti pernikahan dalam lembaga resmi, perlu kajian lebih lanjut. Sebab, jika kita merujuk riwayat Imam Thabrani di atas jelas sekali kedudukannya.

Dengan demikian, mengaitkan keberagaman gender dan terkhusus seksualitas dengan konotasi adzab kaum Nabi Luth terkesan gebyah uyah. Sebab, qoth’iy dilalah nya seksulitas dalam arti birahi (kebutuhan biologis) lelaki sesama lelaki. Agaknya penulis sependapat dengan Alexis Carrel dengan bijak menuliskan, “sebagian besar pertanyaan – pertanyaan yang diajukan oleh para pakar yang memperlajari jenis manusia kepada diri mereka sendiri, hingga kini belum terjawab, karena terdapat wilayah–wilayah tidak terbatas dalam dunia batin kita yang belum terungkap”. Wallahu a’lamu bis showab

*) Alumni PP Riyadlul Mubtadiin Laju Kidul Singgahan Tuban

[i]  M. Quraish Shihab Pengantin Al – Qur’an: Kalung Permata Buat Anak – Anaku, Cet X, (Jakarta: Lentera Hati, 2007, 12 – 13)

[ii] Nasaruddin Umar, Perspektif Jender Dalam Islam, Jurnal Pemikiran Islam, file:///D|/elite-ebook/media.isnet.org/islam/Paramadina/Jurnal/Jender1.html (3 of 5)13/05/2006 15:13:37

[iii] Irsyadul Ibad, Syeikh Zainuddin bin Abdul Aziz bin Zainuddin Al Malibariy, tt, al – Hidayah, Surabaya.

[iv] Op.cit¸ 38-39.

[v] M. Quraish Shihab Pengantin Al – Qur’an: Kalung Permata Buat Anak – Anaku, Cet X, (Jakarta: Lentera Hati, 2007, 24)

Baca berita menarik lainnya hasil liputan
Editor
S. Ipul