SUMENEP, FaktualNews.co – Sejumlah aktivis yang mengatasnamakan Penegak Pilar Bangsa dan sejumlah Kepala Desa di Kecamatan Bluto, Sumenep, Madura, Jawa Timur, mendatangi kantor Kejaksaan Negeri (Kejari) setempat untuk menyamakan persepsi terkait pengurusan Proyek Operasi Nasional Agraria (PRONA) di bumi Sumekar.
Program nasional Badan Pertanahan Nasional ini menjadi atensi khusus sejumlah aktivis dan hampir keseluruhan Kepala Desa di Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur.
Untuk itu, mereka berbondong-bondong mendatangi kantor Kejari Sumenep pasca dipanggilnya dua Kepala Desa karena dugaan pungli prona.
Mereka meminta agar urusan prona diberi pengecualian oleh penegak hukum, karena kondisi di bawah dinilai tidak sesuai dengan aturan yang dilahirkan dalam surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri.
Koordinator Penegak Pilar Bangsa, Edy Junaidi mengatakan, berdasarkan surat Keputusan Bersama (SKB) yang ditandatangani oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, Menteri Dalam Negeri, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, pada (22 Mei 2017) di Jakarta menetapkan jenis kegiatan, jenis biaya dan besaran biaya yang diperlukan dalam pelaksanaan persiapan pendaftaran tanah.
“Dari SKB itu jelas, biayanya hanya Rp 150.000,- dengan empat patok dan dua materai, sementara untuk operasional di lapangan, karena yang digunakan di Madura bukan kavling, maka biayanya pasti lebih,” katanya, Selasa (23/1/2018) usai audiensi di kantor Kejari Sumenep.
Bahkan, Edi Kuncir panggilan akrabnya membeberkan, untuk patok bisa mencapai lima sampai delapan. Sementara materainya, bisa membutuhkan tujuh hingga delapan.
Itu, kata Edi Kuncir, sudah tidak sesuai dengan SKB tersebut. “Lalu dari mana biasa itu didapatkan, yang jelas ditanggung oleh pemilik lahan, apa itu disebut pungli,” imbuhnya dengan nada bertanya.
Pernyataan senada disampaikan Ketua Asosiasi Kepala Desa (AKD) Kecamatan Bluto, Warid. Menurutnya, pemerintah desa tidak terlalu berharap adanya program seperti itu jika ujung-ujungnya akan berurusan dengan hukum.
“Pada dasarnya kami tidak butuh, karena jika warga butuh legalitas tanah, biar ngurus sendiri, dengan biaya sendiri pula. Itu kan tidak resiko ke kami (Kepala Desa,red),” katanya.
Untuk itu, dirinya bersama belasan Kepala Desa yang turut hadir dalam audiensi itu, berharap ada atensi khusus dari Kejari Sumenep masalah biaya prona tersebut. “Kita butuh perhatian dari Kejari, agar ini tidak dikategorikan sebagai pungli,” tandasnya.
Sementara itu, Kepala Kejari Sumenep, Bambang Panca Wahyudi Hariadi, enggan berkomentar banyak terkait permintaan sejumlah aktivis dan para Kepala Desa tentang biaya prona yang diluar ketentuan SKB tiga menteri itu.
“Sebagai penegak hukum, kami harus menjalankan ketentuan sesuai aturan,” ucapnya singkat kepada sejumlah wartawan.