JAKARTA, FaktualNews.co – Kasus gizi buruk masih terjadi di Jakarta. Berdasarkan data Dinas Kesehatan DKI Jakarta, terdapat 34 kasus gizi buruk di Jakarta.
Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Koesmedi Priharto mengatakan, angka ini menurun dari 194 anak pada Januari tahun lalu.
“Di ibu kota ini kan orang keluar masuk, dengan kondisi kesehatan beragam,” ungkap Koesmedi kepada Anadolu Agency, Jumat.
Sektor kesehatan, kata Koesmedi, menyumbang 30 persen penyebab gizi buruk. Lainnya akibat persoalan sosial, lingkungan, pendidikan, dan kemampuan ibu serta keluarga.
Di Jakarta, ujar Koesmedi, masih terdapat masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah, pengetahuan gizi kurang dan tinggal di lingkungan padat.
Mereka, kata Koesmedi, tak mampu membeli makanan sehat dan tinggal di tempat yang lebih layak karena penghasilan terbatas.
“Bahkan ada yang satu rumah petak dihuni 6-7 orang,” kata Koesmedi.
Kasus gizi buruk yang tak disertai penyakit tertentu, ujar Koesmedi, masih lebih mudah ditangani. Jika kasus gizi buruk tersebut disertai penyakit seperti tuberculosis atau HIV, perlu penanganan lebih lanjut.
Dinas Kesehatan, kata Koesmedi, rutin mengampanyekan pola hidup sehat kepada masyarakat. Upaya ini dilakukan untuk mengantisipasi munculnya kasus gizi buruk baru.
Pergub untuk Mengurangi Gizi Buruk
Saat ini, ujar Koesmedi, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tengah menggodok Peraturan Gubernur (Pergub) untuk mengurangi angka gizi buruk di ibu kota. Pembahasan Pergub ini di antaranya dilakukan kemarin oleh Sekretaris Daerah, Dinas Kesehatan dan dinas terkait.
“Kami mencoba menyelesaikan persoalan gizi buruk dari lintas sektor, karena ini tidak hanya persoalan kesehatan,” Koesmedi.
Pakar kesehatan masyarakat Hasbullah Thabrany memperkirakan fakta kasus buruk di Jakarta justru lebih dari 34. “Saya kira jumlahnya lebih dari itu,” tegas dia.
Hasbullah menengarai gizi buruk masih terjadi di Jakarta akibat faktor ekonomi dan sistem sosial.
Di Jakarta, kata Hasbullah, masih banyak masyarakat yang memiliki kemampuan ekonomi terbatas dengan pengetahun tentang gizi yang rendah.
Secara sosial, ujar Hasbullah, khas kota metropolitan, sistem sosial di masyarakat Jakarta cenderung hilang, seperti gotong royong, saling membantu.
“Di Jakarta kalau tidak punya uang, tidak bisa makan, beda dengan di pedesaan yang masih banyak sumber makanan dan tetangga,” kata Hasbullah.
Dari sisi kebijakan pemerintah, ujar Hasbullah, program sosial seperti Program Keluarga Harapan (PKH) juga baru belakangan dibuat. Itu pun banyak pendataan yang kurang akurat.
“Masih banyak warga miskin yang belum terdaftar,” kata Hasbullah.
Pemerintah, ujar Hasbullah, perlu rutin mengevaluasi program sosial ekonomi. Perlu keaktifan hingga aparat pemerintah hingga jajaran terbawah untuk menjangkau segala lapisan masyarakat, terutama masyarakat miskin.
Lebih dari itu, pemerintah perlu lebih mengembangkan program pendidikan dan keterampilan. Kemandirian secara ekonomi akan datang seiring pendidikan dan keterampilan maju.
“Agar mereka mandiri, kalau dari sisi ekonomi sudah bagus, soal gizi akan lebih terperhatikan,” kata dia.