Hukum

Area Rawan Korupsi? Ini Penjelasan Tjahjo Kumolo

JAKARTA, FaktualNews.co – Beberapa minggu terakhir, publik dikejutkan dengan tertangkapnya sejumlah kepala daerah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui operasi tangkap tangan (OTT).

Dalam setiap kesempatan, terutama ketika berbicara di hadapan para kepala daerah, Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tjahjo Kumolo, tidak pernah lupa mengingatkan tentang pentingnya memahami area rawan korupsi.

Apa saja sebenarnya area rawan korupsi itu?

Dilansir laman Humas Kemendagri, Tjahjo Kumolo menjelaskan, area rawan korupsi yang harus dipahami, antara lain menyangkut perencanaan anggaran, penyimpangan belanja hibah dan bansos, serta terkait dengan pajak dan retribusi daerah.

Dalam proses itu, acapkali terjadi kongkalikong yang berujung pada terjadinya tindak korupsi, entah itu suap, mark up atau gratifikasi.

Area lainnya yang rawan korupsi, lanjut Tjahjo, adalah saat pengadaan barang dan jasa. Potensi korupsi muncul dalam tahapan pengadaan barang dan jasa, ketika ada penyimpangan prosedur pengadaan.

Salah satunya adalah mark up, atau kongkalikong demi memenangkan perusahaan tertentu dengan imbalan fee proyek. “Pengadaan barang dan jasa juga rawan penyimpangan prosedur pengadaan,” kata Tjahjo.

Potensi korupsi lainnya, kata dia, dalam Hal belanja perjalanan dinas. Menurut Tjahjo, seringkali terjadi perjalanan dinas direkayasa. Misalnya, perjalanan dinas fiktif. Lalu soal perijinan.

Ini juga kerap jadi celah korupsi. Ditambah jual beli jabatan. “Ini trend korupsi yang terjadi,” sebut Tjahjo Kumolo.

Korupsi hibah dan dana bansos, kata Tjahjo, modusnya dengan menyimpangkan peruntukan atau dengan cara penggelapan. Modus lainnya, belanja hibah dan dana bansos fiktif.

Modus lancung juga sering terjadi dalam pungutan daerah. Biasanya modus ini memakai Perda yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Ada pungutan diluar ketentuan. “Ini yang dianggap sebagai penghasilan oknum,” ujarnya.

Pun dalam Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK), kata dia, sering diakali demi mendapat keuntungan pribadi. Misalnya penyalahgunaan kewenangan atau lewat pelaporan yang tidak standar. Atau juga melalui alokasi penggunaan dana yang tidak transparan.

“Dalam hal penerimaan daerah, area rawa korupsi sering terjadi terkait dengan masalah perijinan,” ujarnya.

Modusnya, kata Tjahjo, manipulasi data, pemerasab wajib pajak, penyelewengan penyetoran dan penyimpangan prosedur pengadaan. Kalau ini dibiarkan atau tidak ditertibkan dan disadarkan, dampaknya luar biasa merugikan. Ekonomi jelas menjadi tinggi biayanya. Ini membuat investor enggan datang. Akibatnya, penerimaan daerah berkurang.

“Dampak lainnya, rendahnya kualitas infrastruktur dan pelayanan publik, kelanjutan pembangunan daerah pun tidak terjamin dan dampak ikutannya, bertambahnya masalah sosial seperti kemiskinan dan ketimpangan sosial,” ujarnya.

Dan yang pasti, kata Tjahjo jika itu dibiarkan, bertambahnya kejahatan sebagai bagian dari mata rantai korupsi. Karena itu ia minta, semuanya memperhatikan mapping dari temuan kepatuhan yang dikeluarkan BPK.

“Ini hal-hal yang harus dipahami Kemendagri sampai ke Pemda Provinsi, Kabupaten dan Kota sampai Desa,” katanya.