JOMBANG, FaktualNews.co – Persatuan Perangkat Desa Indonesia (PPDI) Jombang, resmi melaporkan Bupati Jombang nonaktif Nyono Suharli Wihandoko, ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan ratusan Kepala Desa di Jombang pada Februari 2016 lalu.
Nyono yang kini menjadi tahanan KPK usai ditetapkan sebagai tersangka kasus suap pengisian jabatan dan pengurusan perizinan rumahsakit swasta bersama mantan Plt Kepala Dinas Kesehatan (Kadinkes) Jombang Inna Silestyowati itu diduga melakukan tindak pidana korupsi.
Sebab, anggaran Tunjangan Perangkat Aparatur Pemerintah Desa (TPAD) yang dikucurkan pemerintah pusat tak diberikan kepada para perangkat desa ini. Melalui kuasa hukumnya, Advokat Ahmad Drajat, PPDI akhirnya memilih jalur hukum dan melaporkan Nyono ke KPK.
“Iya, yang Kami laporkan adalah Bupati Nyono dan ratusan Kepala Desa di Jombang. Karena kami menduga adanya dugaan tindak pidana korupsi dalam persoalan ini. Laporan itu kita lakukan pada tahun 2016,” kata anggota PPDI Jombang, Kunadi, kepada FaktualNews.co, Rabu (7/3/2018).
Kunadi menuturkan, persoalan ini dipicu konflik penghentian dan pengangkatan ratusan perangkat desa di Kabupaten Jombang. Dari itu kemudian ratusan perangkat desa di Kota Santri tidak mendapatkan haknya sebagai aparatur desa. Hal itu terjadi mulai tahun 2011 hingga 2016.
“Jadi begini, memang itu akumulasi. Pada tahun 2011 ada beberapa perangkat desa yang SK habis, namun mereka tidak diberhentikan tetapi terus dipekerjakan. Jumlahnya puluhan. Namun demikian, TPAD yang harusnya diterima tidak diberikan. Mestinya kalau habis ada pemberhentian dari desa,” imbuhnya.
Kondisi itu berlanjut hingga akhir tahun 2016. Pada saat itu ada sekitar 600 lebih perangkat desa yang SK-nya habis. Ketika itu, di Kota Santri tengah mempersiapkan gelaran pesta demokrasi pemilihan bupati (Pilbup).
“Nah kondisinya sama, tidak ada pemberhentian saat itu. Kemudian pada awal Januari 2013 keluarlah Surat Edaran (SE) dari bupati Suyanto agar tidak ada penggantian perangkat. Karena dikhawatirkan disalahgunakan untuk kepentingan pilkada,” jelasnya.
Lantaran tak diberhentikan, ratusan perangkat desa itu terus bekerja seperti biasanya. Bahkan ratusan perangkat ini masih tetap menjalankan fungsi dan tugasnya sebagai aparatur desa dimana itu diamini oleh Kepala Desa masing-masing.
“Tapi semenjak tahun 2013 itu, perangkat desa yang SK-nya habis tidak mendapatkan TPAD. Padahal kita tahu anggaran itu dikeluarkan oleh pemerintah pusat dan di transfer ke rekening daerah. Saat itu juga disampaikan jika pencairannya akan dirapel,” paparnya.
Hingga akhirnya, Nyono Suharli Wihandoko yang berpasangan dengan Mundjidah Wahab terpilih menjadi pemenang dalam Pilkada 2013 itu. Para perangkat desa ini pun kemudian meminta agar Nyono mencairkan TPAD yang sudah menjadi hak mereka.
“Namun, Mas Nyono saat itu justru tidak bersedia mencairkan. Padahal saat itu kami masih bekerja. Selain itu, TPAD itu hak kami dan kami meyakini bahwa dana itu dicairkan oleh Pemerintah Pusat. Terus kemana anggaran itu, digunakan untuk apa,” terangnya.
Konflik antara PPDI dan Pemkab Jombang dan ratusan Kepala Desa pun kian memanas. Bahkan, PPDI Jombang sempat mengadukan persoalan tersebut ke Pemerintah Provinsi Jawa Timur, dan Komnas HAM serta Presiden Jokowi di tahun 2015.
Akan tepati, Pemkab Jombang tetap bersikukuh enggan mencairkan dana tersebut. Dengan alasan, SK ratusan perangkat itu sudah habis. Meskipun, hingga saat itu mereka masih menjalankan tugasnya sebagai aparatur desa dan tidak ada pemberhentian resmi dari pemerintah desa maupun pemkab.
“Saya itu SK habis akhir 2012, tapi masih bekerja sampai tahun 2016. Selama itu pula saya tidak pernah mendapatkan tunjangan yang mestinya menjadi hak kami. Begitu juga dengan rekan-rekan perangkat desa lainnya, nasibnya sama,” katanya menegaskan.
Padahal, lanjut Kunadi, seluruh anggaran TPAD perangkat desa di Jombang sudah dicairkan pemerintah pusat setiap tahunnya. Diduga anggaran jatah ratusan perangkat desa itulah yang dipetieskan oleh Pemkab Jombang dalam hal ini Nyono Suharli sebagai bupati dan ratusan Kepala Desa.
“Asumsi kami sebenarnya dengan jumlah sekitar 600 perangkat itu, anggarannya sejak 2013-2016 itu mencapai sekitar Rp 2 miliar. Setelah kami berdiskusi dengan advokat kami, maka dihitung sekalian bunga jika itu didepositokan mencapai Rp 10 miliar,” ujar Kunadi menerangkan.
Kunadi pun mendesak agar Komisi Antirasuah turut serta mendalami persoalan itu. Karena tidak menutup kemungkinan, upaya kesengajaan memetieskan anggaran TPAD yang dikucurkan Pemerintah Pusat itu benar-benar terjadi.
“Kami juga meminta gara TPAD yang jatah kami itu diberikan kepada perangkat desa. Karena itu hak kami selama kami bekerja. Kami tahu kok, kalau dana itu selalu dicairkan oleh Pemerintah Pusat, tapi tidak diberikan,” tandasnya.