Memutus Mata Rantai Terorisme Dari Keluarga
Kemitraan Tri Sentra Pendidikan (keluarga, sekolah, masyarakat) menjadi kunci pemberantasan terorisme. Keluarga dan masyarakat di sini berperan tidak hanya menyukseskan pendidikan yang capaiannya selama ini pada aspek pengetahuan saja. Keluarga dan masyarakat berperan pula mendukung pemutusan mata rantai terorisme sebagai bentuk sumbangsih mendukung pendidikan anak.
Indonesia harus bebas dari terorisme. Penguatan pendidikan dalam keluarga dan masyarakat sangat strategis mengawal anak-anak agar toleran, berbudaya, ramah, dan nasionalis. Untuk memutus mata rantai penyebaran terorisme, metodenya bisa menerapkan pendidikan Pancasila, penguatan nasionalisme, mental cinta budaya, dan semua itu bisa dilaksanakan dengan pendekatan “literasi feminisme”.
Mengapa? Aspek literasi selama ini hanya pada aspek literasi membaca, menulis, dan berhitung. Kegiatannya pun hanya fokus pada pengetahuan, sedangkan mental anak tak diperhatikan sehingga mereka “galak”, kasar, bahkan puncaknya menjadi radikal. Maka literasi berbasis kelembutan yang kuncinya ada pada ibu di keluarga ini menjadi alternatif jangka panjang untuk membendung bahaya laten terorisme.
Sebab, anak-anak, remaja, pemuda zaman now ini tak sekadar terpapar faham radikalisme. Namun, beberapa di antaranya telah bergerak kepada faham terorisme yang berujung pada aksi merusak bahkan mengebom. Mereka yang telah terpapar faham radikalisme dipengaruhi banyak hal. Salah satunya jiwa kesatria, karakter premanisme bahkan doktrin jihad yang keliru. Keluarga sebagai Tri Sentra Pendidikan harus menjadi surga bagi anak-anak yang mendamaikan.
Keluarga sebagai “surga bagi anak-anak” harus benar-benar menjadi keselamatan anak. Pelibatan anak-anak dalam aksi bom bunuh diri seperti di Surabaya, Riau, dan lainnya baru-baru ini membuktikan terorisme tak hanya menyebar di sekolah dan kampus.
Keluarga harus bersinergi dengan sekolah dan masyarakat untuk memberantas terorisme. Kemitraan Tri Sentra Pendidikan diharapkan dapat membangun ekosistem pendidikan yang mampu menumbuhkembangkan karakter dan budaya berprestasi anak serta bebas dari radikalisme. Apa gunanya cerdas intelektual, namun mereka kaku, kasar, bahkan “radikal” karena tak diimbangi kecerdasan emosional dan spiritual.
Peran keluarga dan masyarakat pada pendidikan anak di satuan pendidikan sangat penting untuk mendukung kesuksesan anak belajar. Tak hanya mendukungnya dalam penguasaan pengetahuan dan penyemaian karakter. Namun pembebasan terorisme dalam keluarga juga sangat penting. Hal itu sudah sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 30 Tahun 2017 tentang Pelibatan Keluarga pada Penyelenggaraan Pendidikan.
Pelibatan keluarga dalan mengawal anak-anak yang tidak tahu apa-apa dalam terorisme harus diputus dengan pendekatan yang lebih halus, humanis, ramah dan toleran. Jangan sampai anak-anak kita terus menjadi korban karena luputnya orangtua dan sekolah. Pemilihan sekolah dan organisasi yang diikuti harus diperhatikan agar mereka tak salah mendapat asupan gizi keagamaan. Di sini peran santral selain sekolah adalah kelurga.
Peran Ibu dan Keluarga
Ibu merupakan guru literasi feminisme bagi anak-anaknya. Dalam peran domestik, ibu tak sekadar memasak, menyapu, dan mencuci piring. Peran utama justru mengawal perkembangan anak agar terbebas faham, dan gerakan radikalisme melalui smartphone (ponsel pintar) yang dikonsumsi anak. Ibu zaman now harus bisa menerapkan ponsel pintar itu untuk mencerdaskan, bukan sebaliknya.
Saat ini, banyak anak-anak berjiwa terlalu maskulin. Maskulin bagus, namun jika berlebihan sampai berbahasa kasar, kekerasan psikis/ fisik, berwatak preman, bahkan radikal justru berbahaya. Tumbuhnya terorisme tak lain dari hal-hal sederhana itu. Contohkan saja murid-murid saya di SD yang kebanyakan terpengaruh gaya hidup kota. Anak kelas V SD saja sudah berkata-kata buruk seperti preman.
Potensi ini jika tak dibendung dari keluarga tentu berbahaya. Pasalnya, kekerasan sekecil apapun akan menjadi akar radikalisme bahkan terorisme. Sekolah yang hanya berlangsung enam jam pelajaran belum maksimal membangun generasi ramah. Padahal benih radikalisme makin tumbuh karena perngaruh alat-alat modern dan pergaulan mereka.
Thomas Lickona (2011) berpendapat ada 10 tanda-tanda kehancuran bangsa. Di antaranya meningkatnya kekerasan remaja, penggunaan kata-kata buruk, pengaruh tindak kekerasan peer group (rekan kelompok), dan lainnya. Selain pengaruh smartphone, akar kekerasan pada anak-anak SD/MI juga pengaruh teman-teman sekelompok. Di sini, model penanaman literasi feminisme harus dikuatkan dalam keluarga sebagai salah satu jalan membendung radikalisme.
Literasi Feminisme
Dalam buku Media Literasi Sekolah, Farid Ahmadi dan Hamidulloh Ibda (2018: viii) berpendapat literasi tidak sekadar membaca. Literasi merupakan kemampuan kompleks. Bahkan, selain empat keterampilan berbahasa (menyimak atau mendengarkan, membaca, menulis, dan berbicara), literasi juga dimaknai sebagai semua usaha untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dan informasi.Aspek melek komputer dan menangkal berita bohong dan palsu juga masuk kategori literasi.
Jika didefinisikan, literasi feminisme merupakan segala upaya mendapatkan kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual berbasis karakter kelembutan/feminim yang identik lembut dan penuh kasih sayang. Doktrin feminisme harus diajarkan pada anak agar terbangun jiwa lembut, baik pikiran, perkataan, dan perbuatan. Jika karakter feminisme kuat, baik itu pada anak laki-laki atau perempuan, otomatis bisa membentengi potensi radikalisme.
Model literasi ini tak ribet seperti di sekolah formal. Ibu-ibu di rumah, meski tak pernah sekolah, bisa mengarahkan anak-anaknya untuk membaca buku-buku sejarah perjuangan pahlawan perempuan Indonesia. Caranya, bisa dari cara-cara kuno hingga modern berbasis siber, internet, gadget, dan lainnya.
Selain Kartini, anak-anak bisa dikenalkan Cut Nyak Dhien dan Cut Nyak Meutia pahlawan nasional dari Aceh. Kemudian Martha Christina Tiahalu pejuang wanita asal Maluku, Maria Walanda Maramis aktivis pergerakan Sulawesi Utara, Siti Walidah istri Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah).
Selanjutnya Nyai Nafiqoh dan Nyai Masruroh istri Hasyim Asyari (pendiri Nahdlatul Ulama), juga Raden Ageng Kustiah Retno Edi pejuang asal Serang. Berbagai perempuan hebat di dunia yang bisa menjadi kiblat karakter feminisme bagi perkembangan anak-anak juga harus dikenalkan.
Literasi feminisme tak harus dilakukan ibu, namun juga ayah. Penekanan feminisme bukan pada jenis kelamin, melainkan karakter dan nilai-nilainya. Meski ibu rumah tangga tak bersekolah tinggi, mereka bisa menguatkan literasi feminisme melalui pola pergaulan. Anak-anak harus diajarkan bahasa halus, pola interaksi sopan, sampai nilai-nilai keperempuanan yang lebih lembut dan penuh kasih sayang.
Di era uber ini, ibu sangat strategis mengedukasi anak-anak untuk berjiwa feminim dan lembut. Selama ini literasi hanya dipahami semua usaha mendapatkan informasi dan pengetahuan saja. Padahal, literasi feminisme berbeda karena selain melek pengetahuan tentang perempuan, pola ini juga bisa menjadi benteng dari tumbuhnya radikalisme.
Rumah hakikanya “taman surga” bagi anak, bukan sekadar bangunan fisik. Istilah “rumahku surgaku” harus melekat agar rumah benar-benar menjadi surga. Semua itu bisa dilakukan dengan menguatkan literasi feminisme yang berorientasi menciptakan atmosfer “rumahku surgaku” yang indah dan aman dari gangguan.
Karakter feminim menjadi penting untuk memberantas potensi radikalisme dalam keluarga. Literasi feminisme menjadi kunci membangun generasi santun. Kesantunan itu dalam jangka panjang akan memajukan Indonesia. Apalagi Indonesia dikenal sebagai negara ramah dan santun.
Semua kaum ibu harusnya memahami literasi feminisme sebagai alternatif membangun generasi santun dan usaha membendung potensi masuknya radikalisme. Jiwa feminim, harus dimiliki anak laki-laki maupun perempuan sebagai paru-paru yang menghidupkan jiwa penyayang. Jika anak-anak ramah, maka mereka pasti sukses di satuan pendidikannya. Semua itu, kuncinya ada pada ibu di lingkup keluarga dan umumnya masyarakat dengan menguatkan literasi feminisme. (Dian Marta Wijayanti)*
Guru ASN pada Dinas Pendidikan Kota Semarang, Asesor Early Grade Reading Assessment (EGRA) USAID Prioritas 2013-2014.