FaktualNews.co

Dugaan Selingkuh Anggota DPRD Jombang hingga Tantangan Sumpah Pocong, DAP : Itu Gak Logis

Peristiwa     Dibaca : 1619 kali Penulis:
Dugaan Selingkuh Anggota DPRD Jombang hingga Tantangan Sumpah Pocong, DAP : Itu Gak Logis
FaktualNews.co/Beny Hendro/
DKH (kiri) melaporkan istrinya DAP (kanan) anggota DPRD Jombang atas kasus dugaan perselingkuhan ke Polres Jombang

JOMBANG, FaktualNews.co – Polemik tudingan dugaan perselingkuhan yang dialamatkan ke anggota DPRD Jombang, DAP (31) oleh suaminya DKH (25) yang berujung aksi saling lapor ke pihak kepolisian terus menggelinding.

Belakangan, DKH yang dilaporkan balik oleh DAP ke Polres Jombang, justru menantang istrinya yang juga wakil rakyat dari Fraksi Demokrat itu, untuk sumpah pocong.

Tantangan itu dilontarkan setelah pria asal Desa Pulo Lor, Kecamatan/Kabupaten Jombang, itu dilaporkan balik ke polisi oleh istrinya lantaran dituduh melakukan fitnah. DAP membantah tuduhan suaminya yang menyebut dirinya sudah berselingkuh dengan dua pria itu.

Dikonfirmasi soal tantangan itu, DAP yang merupakan anggota legislatif ini enggan untuk menanggapi tantangan pria yang baru menikahinya tiga bulan lalu itu.

“No comment, gak logis. Aku wes gak comment pokoke (Saya sudah tidak komentar pokoknya). Pembuktian kok sumpah pocong?, Yo diguyu wong akeh (Ya ditertawakan banyak orang),” tulisnya dalam pesan singkat saat dihubungi redaksi FaktualNews.co melalui aplikasi whatsapp, Senin (9/7/2018).

DAP yang juga anggota Komisi A DPRD Jombang (sebelumnya tertulis Komisi C) justru menyebut tantangan sumpah pocong yang dilontarkan DKH itu seperti yang disampaikan salah satu pengacara Farhat Abas.

“Wes embuh mas, kok koyok Farhat Abas. (Sudah tidak tahu mas, kok seperti Farhat Abas). La dia menuduh aku berdasar apa? Kok saiki sumpah pocong (Kok sekarang sumpah pocong) iku gak logika,” tandasnya.

Penegak Hukum Harus Obyektif

Sementara adanya perilaku saling lapor antara DKH dan DAP ke dalam kasus dugaan perselingkuhan ini mendapat tanggapan dari kalangan praktisi hukum di Kota Santri, Solikin Ruslie. Ia pun membenarkan jika dalam sebuah kasus hukum, kedudukan saksi dan korban diatur di Pasal 10 Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban.

Bahkan hal itu diperkuat dengan peraturan bersama antara LPSK, Komisi Pemberantasan Korupsi, Kejaksaan Agung, Kepolisian, serta Kementerian Hukum dan Ham bernomor M.HH-11.HM.03.02.th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 tentang perlindungan bagi pelapor, saksi pelapor dan saksi pelaku yang bekerjasama.

Dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban ayat 1 Pasal 10 serta pasal 5 peraturan bersama Kemenkum Ham, Kepolisian, KPK dan Kejaksaan, mengatur tentang saksi, korban, saksi pelaku, dan/atau pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya, kecuali kesaksian tersebut diberikan tidak dengan itikad baik.

Adapun ayat 2 pasal 10 UU Perlindungan Saksi dan Korban juga mengatur jika adanya tuntutan hukum, maka tuntutan tersebut wajib ditunda hingga kasus yang ia laporkan atau ia berikan telah diputus oleh pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum tetap. Aturan ini juga ditegaskan kembali dalam Peraturan bersama 4 lembaga dalam pasal 5 ayat 2 dan 3.

Dalam peraturan bersama tersebut, seorang pelapor atau saksi harus mendapatkan perlindungan tertentu, apabila dalam satu kasus terjadi upaya saling lapor maka laporan yang muncul kemudian ditunda sampai kasus pertama diputus pengadilan.

“Normatifnya memang seperti itu, akan tetapi dalam praktiknya masih jauh dari harapan,” kata pria yang juga menjabat Direktur Kajian Hukum dan Kebijakan Fakultas Hukum Universitas Darul Ulum (Undar) Jombang ini.

Menurut pandangan Solikin, dalam kasus ini, aparat penegak hukum memberi ruang seluas-luasnya kepada masyarakat, tapi jika kedua belah pihak saling melapor itu pada akhirnya akan menyulitkan penyidik sendiri. Karena menjadi tunpang tindih dan akhirnya kasusnya menjadi tidak jelas ujungnya.

“Persoalan lainnya bagi orang awam adalah, perihal mengajukan permohonan perlindungan saksi ke LPSK untuk sampai memberikan perlindungan kepada saksi/pelapor sangat njlimet, dan harus melalui tahapan rapat pleno dan mempertimbangkan aspek-aspek yang urgensinya bergantung dari persepsi LPSK itu sendiri,” jelasnya.

Namun demikian Solikin yang juga mantan anggota DPRD Jombang ini meminta kepada penegak hukum untuk obyektif melihat kasus ini. Sehingga tidak ada yang dirugikan.

“Kami berharap jangan karena menyangkut orang yang punya posisi akhirnya hukum tidak bisa berjalan dengan adil dan obyektif. Selesaikan urusan satu baru ngurus lainnya biar tidak saling mengunci,” tandasnya.

Baca berita menarik lainnya hasil liputan
Editor
Z Arivin