Oleh : Yusron Aminulloh
PEKAN lalu, saat menemani Bupati Lamongan 11 Tahun, periode orde baru hingga awal reformasi, HRM Farid, ke Jombang, saya sempat mengundang mas Sumrambah, wakil Bupari Jombang terpilih periode 2018-2023. Saya bangga dia tawadhu sama seniornya.
Dalam diskusi 1 jam, tampak kapasitas dan kapabilitasnya. Apalagi bicara pertanian. Anak muda yang sempat menjadi anggota DPRD Jatim ini memiliki pengetahuan cukup soal pertanian dan pembangunan. Bahkan Sumrambah bukan hanya paham teori pembangunan pertanian, namun aplikasi dan problem pertanian ia pahami. Ia menuju sosok sebagi petani yang teknokrat.
Tentu modal dasar seperti ini diperlukan untuk menyusun program kesejahteraan masyarakat Jombang. Pertanian menjadi salah satu andalannya. Meski wajib bagi dia memahami hal lain berkait rumitnya birokrasi, strategi pembangunan, teknis hukum, psikologi sosial dan tentu gairah keagamaan Jombang sebagai Kota Santri.
Yang menjadi pertanyaan, akankan Sumrambah “difungsikan” maksimal sebagai Wakil Bupati Jombang? Akankah ilmunya akan digunakan untuk membangun Jombang? Apalagi bu Mundjidah kita ketahui bukan bidangnya mengurus pertanian.
Kalau kita lihat “pesta kepemimpinan” lima tahun sebelumnya, dominasi Nyono Suharli sangat nampak. Sehingga peran wabup Mundjidah Wahab nihil. Posisinya tidak strategis. Ini karena pandangan kuno yang khawatir ada “matahari kembar” dalam kepemimpinan di Jombang saat itu. Bu Mundjiah diposisi wujjuduhu Ka’adamihi, keberadaannya seperti tidak ada.
Boleh jadi mantan Bupati Nyono Suharli tidak melakukan kesalahan hukum dalam menata pemerintahan. Karena berdasarkan undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa sebuah Pemerintah Daerah memiliki seorang Kepala Daerah yang dibantu oleh seorang Wakil Kepala Daerah. Kepala Daerah yang tugasnya diatur. Tapi kesalahan kultural dan moral saat awal berpasangan tentu ia langgar.
Mari kita simak sejenak aturan itu.
Wakil kepala daerah mempunyai tugas :
Membantu kepala daerah dalam. Memimpin pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah. Mengoordinasikan kegiatan Perangkat Daerah dan menindaklanjuti laporan dan/atau temuan hasil pengawasan aparat pengawasan. Memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang dilaksanakan oleh Perangkat Daerah provinsi bagi wakil gubernur.
Memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Perangkat Daerah kabupaten/kota, kelurahan, dan/atau Desa bagi wakil bupati/wali kota. Memberikan saran dan pertimbangan kepada kepala daerah dalam pelaksanaan Pemerintahan Daerah. Melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah apabila kepala daerah menjalani masa tahanan atau berhalangan sementara; dan melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Wakil kepala daerah melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintahan lainnya yang diberikan oleh kepala daerah yang ditetapkan dengan keputusan kepala daerah
Itulah pedoman Undang-undang. Boleh jadi posisi wakil bupati bisa kuat dan bisa lemah sesuai terjemahan dan kebijakan bupatinya. Karena aturannya global, samar dan sangat artifisial.
Belajar pada Jember, Lumajang dan Trenggalek, kalau Wabup Sumrambah ternyata hanya wakil sekadar wakil, tentu sangat disayangkan. Meski konon saat awal pencalonan ada komitmen awal tentang pembagian tugas. Namun saat diperjalanan sering “dilanggar”. Meski kita yakin kepemimpinan Mundjidah tentu akan menjaga komitmen.
Beberapa tahun lalu, saya saksikan sendiri, ada pemandangan tidak elok di Jember. Saat pasangan MZA Djalal-Kusen Andalas memimpin Kota Tembakau ini. Karena kekuasaan absolut yang dipegang Bupati, maka wakil bupati betul-betul tidak berfungsi.
Dalam beberapa pertemuan dengan rakyat di Pendopo, Wakil Bupati “dianggap tidak ada”. Jangankan diajak menemui rakyat, diberitahu saja tidak. Dalam momen seperti ini saja tidak dilibatkan, jangan mengharap kebijakan yang lebih besar akan dilibatkan.
Beda misalnya di Lumajang. Saat Dr Sjahrazad Masdar, M.A. Bupati Lumajang dan Wakilnya As’at Malik memimpin. Keduanya serasi dalam kepemimpinan. Bahkan mereka sering tampil berdua dalam berbagai acara. Malahan sambutan berdua, “bersambung” berbagi waktu. Ini unik, tapi memberi kabar kepada rakyat mereka rukun dan serasi.
Maka tatkala pak Masdar sakit satu tahun, roda pemerintahan tetap jalan. Karena Wabup paham apa yang harus dilakukan. Dan paham kebijakan. Inilah keserasian yang dibutuhkan.
Sebagaimana Emil Dardak dan Muhammad Nur Arifin dikepempinan Bupati dan Wabup Trenggalek, keduanya merakyat, keduanya saling mendukung dan saling percaya. Radius of Trust terbangun semakin meluas bukan menyempit. Begitu esok Emil jadi Wagub Jatim, maka Nur tinggal melanjutkan estafet kepemimpinan tanpa hambatan.
Bagaimana dengan kepemimpinan Jombang esok hari? Rakyat sedang menunggu.
Penulis adalah Master Trainer MEP dan sahabat para penggerak perubahan.