JOMBANG, FaktualNews.co – Pemkab Jombang diam-diam memberikan angin surga ke 50 anggota DPRD Jombang, Jawa Timur. Lantaran, mereka akan diguyur anggaran dana program Pokok Pikiran (Pokir) sebesar Rp 15 miliar. Masing-masing anggota Dewan, bakal ‘kebagian’ jatah Rp 300 juta.
Namun, rumor tak sedap menghinggapi ‘restu’ pemberian dana Pokir itu. Kabarnya, dana pokir itu sebagai barter percepatan pelantikan Bupati dan Wakil Bupati Jombang terpilih periode 2018-2023.
Memang, sejak beberapa waktu lalu, DPRD Jombang seakan memuluskan langkah untuk percepatan pelantikan. Diam-diam DPRD Jombang sudah berkirim surat ke Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri), dan meminta pelatikan Bupati dan Wakil Bupati terpilih lebih cepat dari jadwal. Dalam pengajuannya, pelantikan Bupati dan Wakil Bupati Jombang, akan dimajukan pada 24 September 2018.
Jika sesuai jadwal yang dikeluarkan Kemendagri, pelantikan Bupati dan Wakil Bupati terpilih pada Pilkada 27 Juni 2018, dilakukan dua gelombang, yakni 20 September 2018 dan 20 Desember 2018. Akan tetapi, merujuk SK masa jabatan Bupati dan Wakil Bupati periode 2013-2018 baru habis pada 23 September 2018. Sehingga Bupati dan Wakil Bupati Jombang dilantik pada 20 Desember 2018.
Hal itupun menuai sindiran dari Direktur Lingkar Indonesia untuk Keadilan (LInK) Aan Ashori. Mantan aktivis PMII Jombang ini melontarkan kritik terhadap DPRD dan Pemkab Jombang, perihal kucuran dana Pokir yang diduga menjadi barter dari percepatan pelantikan Bupati dan Wakil Bupati Jombang terpilih.
“Saya merasa ada deal politik terkait permintaan itu dengan penawaran proses pelantikan. Menurutku, pasangan Murah (Mundjidah-Sumrambah, red) tidak perlu menggubris terkait pelantikan. Toh sudah pasti dilantik,” sindir Aan, Kamis (23/8/2018).
Menurutnya, Bupati dan Wakil Bupati Jombang terpilih harusnya memanfaatkan kesempatan sebelum pelantikan ini guna menyusun strategi jangka pendek guna membangun Jombang kedepan. Bukan justru ngebet ingin segera duduk di kursi jabatan.
“Mereka berdua harus fokus untuk memperbaiki kualitas penganggaran publik yang lebih berpihak pada rakyat dengan cara memperkuat aspek transparansi dan akuntabilitas. Program 100 hari perlu dibuat karena akan menjadi tolak ukur keduanya dalam memimpin kabupaten ini,” imbuhnya.
Sementara, sinyalemen percepatan pelantikan itu diamini Bupati Jombang terpilih Mundjidah Wahab. Munjidah yang kini menjabat sebagai Plt Bupati Jombang, mengakui jika Pemkab Jombang sudah berkoordinasi dengan Kemendagri terkait percepatan pelantikan Bupati dan Wakil Bupati Jombang terpilih.
“Kalau jawaban tertulis dari Kemendagri memang belum. Tapi sudah diinformasikan, Insya Allah pelantikan 24 September. Tanggal 23 September kita habis masa jabatan, langsung 24 September pelantikan. Kebetulan juga tidak hari Minggu,” ujar Mundjidah Wahab, Jumat 3 Agustus 2018.
Terpisah, Ketua DPRD Jombang, Joko Triono membenarkan jika setiap anggota DPRD dapat melakukan pengajuan program yang diusulkan lewat Pokir. Melalui pokir tersebut, Bupati Jombang akan mencairkan dana maksimal Rp 300 juta guna merealisasi program-program usulan para anggota Dewan itu.
“Mengenai dana pokir, ada alokasinya kemarin yang dijanjikan Bu Wabup Rp 300 juta peranggota untuk kegiatan sosial. Mekanismenya melalui pengajuan proposal ke Bupati tetapi masalah dipenuhi apa tidak tergantung bupati,” ujar Joko saat dikonfirmasi FaktualNews.co beberapa waktu lalu.
Joko berdalih, tidak semua anggota dapat mengajukan karena dalam pengajuannya Plt Bupati Jombang hanya memberikan batasan waktu 3 hari. Selain itu dalam pengajuannya harus melalui persetujuan dari Desa, Kecamatan, hingga diteruskan ke Bupati.
“Tidak semua anggota Dewan menggunakan soalnya batasan waktu sangat dekat 3 sampai 5 hari. Proposalnya harus melalui Kepala Desa hingga Camat, jadi mungkin tidak banyak yang mengambil. Selain itu juga ada peninjauan ke lokasi yang diajukan,” terang Politisi PDIP itu.
Joko memaparkan, Pokir berbeda dengan Jaringan Aspirasi Masyarakat (Jasmas). Menurutnya, anggaran Jasmas cukup besar dan bisa digunakan untuk berbagai bentuk pembangunan. Sementara Pokir nilainya lebih sedikit. Selain itu Jasmas merupakan program penjaringan yang dilakukan anggota dewan ke warga saat masa reses.
“Kembali lagi, semua kepada Bupati. Beda dengan Jasmas, kalau Jasmas besar dan bisa diperuntukan macam-macam, kalau ini hanya untuk Pokmas-pokmas itu,” paparnya.
Untuk diketahui, Pokir adalah kepanjangan dari pokok-pokok pikiran. Istilah pokir digunakan untuk menyebut kewajiban anggota legislatif dalam menjaring aspirasi dari warga. Lalu aspirasi tersebut akan ditindak lanjuti para wakil rakyat melalui eksekutif saat perancangan APBD.
Dalam pasal 55 hurup (a) PP Nomor 16 tahun 2010 tentang pedoman penyusunan DPRD tentang tata tertib, jika Badan Anggaran mempunyai tugas memberikan dan pendapat berupa pokok pikiran DPRD kepada kepala daerah dalam mempersiapkan rancangan anggara pendapatan dan belanja daerah paling lambat 5 bulan sebelum ditetapkanya APBD.
Pemborosan APBD, Dana Pokir Riskan Diselewengkan
Penyaluran program Pokir, dianggap merupakan pemborosan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Jombang. Hal itu pun tidak selaras dengan program Pemerintah Pusat yang kini tengah berupaya untuk menekan pemborosan anggaran.
“Dalam konteks penganggaran, jumlah yang diminta DPRD tergolong cukup besar. Namun sepanjang tidak menabrak aturan, sah-sah saja. Kalau aspek membebani APBD, alokasi tersebut jelas membebani. Eksekutif dan legislatif perlu mempertimbangkan hal ini,” tutur Aan.
Selain itu, program Pokir ini juga rawan diselewengkan. Minimnya pengawasan dan transparansi dalam realisasi dana Pokir, tentunya membuka peluang munculnya praktik korup. Apalagi, komitmen transparansi keuangaan baik di Pemkab maupun DPRD Jombang, selama ini masih dipertanyakan publik.
“Menurutku, justru aspek transparansi dan akuntabilitas penggunaan dana tersebut. Beberapa anggota DPRD sangat rendah komitmennya terkait hal itu. Dulu sempat mencuat kasus dugaan jasmas fiktif beberapa anggota DPRD, namun tiba-tiba menguap entah ke mana,” jelasnya.
Untuk itu, Aan mendesak agar Pemkab Jombang mengkaji ulang recana pencairan dana Pokir itu. Sebab, bukan tidak mungkin ini akan menjadi preseden buruk kedua bagi Pemkab Jombang dan bisa berujung di ranah hukum.
“Kalaupun ini didok pada akhirnya, saya menuntut DPRD supaya bertindak transparan dan akuntabel. Sebab jika tidak, saya yakin KPK akan menggelandang mereka seperti DPRD Kota Malang,” tandasnya.
Soal Dana Pokir, Sekwan Jombang Pilih Bungkam
Ketua DPRD Jombang, Joko Triono mengaku pesimis banyak anggota dewan yang mengambil dana pokir itu. Menurutnya, minimnya waktu yang disediakan, menjadi alasan para Wakil Rakyat ini mengajukan dana Pokir.
“Pokir itu baru tahun ini. Saat ini peluang itu dibuka oleh Wakil Bupati waktu mimpin (rapat) Banggar. Cuma ditawari ada anggaran untuk Pokir, silahkan melakukan pengajuan. Karena pada waktunya dibatasi 3 hari jadinya malas. Mungkin sekarang sudah ada yang mengajukan. Tepatnya Pak Sekwan lebih tahu,” jelas Joko.
Sementara, Sekretaris Dewan Pinto Windarto tidak bisa memberikan keterangan saat dikonfirmasi perihal kejelasan dana Pokir. Bahkan, saat ditanya soal jumlah anggota dewan yang sudah mengajukan, Pinto justru tak bisa menjawabnya.
“Saya masih Diklat selama sebulan, silahkan ke pak Mudlor lebih jelasnya,” kata Pinto saat dihubungi melalui sambungan ponselnya.
Senada dengan Pinto, Kabag Umum Sekwan, Mudlor justru memilih bungkam saat dikonfirmasi perihal dana Pokir. Saat ditemui di Dedung DPRD Jombang, Mudlor juga enggan memberikan keterangan perihal program dana Pokir DPRD Jombang senilai hampir Rp 15 miliar itu. “Gak eroh-gak eroh (Tidak tahu-tidak tahu),” kata Mudlor.