PASURUAN, FaktualNews.co – Suku Tengger yang sebagian besar hidup di lereng Bromo ini, memilik tradisi secara turun menurun. Memasuki bulan kedua kalender tengger atau dua bulan setelah upacara Yadnya Kasada, warga di 11 desa di Kecamatan Tosari, Tutur dan Puspo, Kabupaten Pasuruan menggelar Upacara Karo, Senin (27/8/2018).
Upacara Karo didahului dengan tradisi Mblara’i, yang di dalamnya menampilkan Tari Sodor/Sodoran, sebuah tarian yang dibawakan sejak tahun 1790 oleh para sesepuh dengan membawa tongkat bambu wuluh berjumlah 12 buah. Yang menandakan bahwa dalam setahun ada 12 bulan. Sedangkan Tari Sodor sebuah tarian yang menggambarkan hubungan suami-istri leluhur suku Tengger.
Tokoh budaya Tengger, Widyan Singgih menjelaskan, tari sodor dibawakan oleh 12 orang sesepuh, dimana angka 12 merupakan simbol 12 bulan yang ada dalam satu tahun. Dalam bambu yang dihias serabut kelapa dan janur tersebut, ada banyak benih palawija yang sengaja dipasang sebagai lambang keberadaan suku Tengger hingga sekarang.
Tak hanya itu, bahwa adanya Tengger merupakan hasil perpaduan nama Roro Anteng dan Joko Seger yang tak lain adalah leluhur Gunung Bromo dan memiliki 25 orang anak.”Khusus untuk tahun ini, tari sodor tidak hanya oleh sesepuh saja, melainkan anak-anak muda yang sudah bisa menghayati tarian ini,” papar Singgih di sela-sela acara.
Tari Sodor adalah tarian yang mencerminkan hubungan suami-istri leluhur suku Tengger awal hingga banyak keturunan. Para penari ini berasal dari 11 desa, yakni Desa Tosari, Sedaeng, Wonokitri, Podokoyo, Baledono, Mororejo, Kandangan dan Desa Ngadiwono, Kecamatan Tosari. Kemudian Desa Ngadirejo dan Kayukebek, Kecamatan Tutur, serta Desa Keduwung, Kecamatan Puspo.
Seluruh desa tersebut selalu berpartisipasi dalam acara kegiatan tahunan yang sudah menjadi bagian budaya masyarakat Tengger selam ini. “Masyarakat selalu menyambut karo ini dengan sangat gembira. Meskipun anak sekolah, hari ini pasti diliburkan untuk bisa menjadi bagian dari tradisi dan budaya masyarakat tengger,” imbuhnya.
Singgih menuturkan, tujuan digelarnya upacara Karo sebagai wujud ucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas diciptakannya Joko Seger dan Roro Anteng sebagai Leluhur Bromo dan 25 keturunannya. Bahkan seluruh warga, mulai dari anak-anak hingga sesepuh tak melewatkan tradisi karo sejak hari pertama hingga 10 hari ke depan.
Tradisi yang menjadi bagian dari suku Tengger ini. Tak hilang meski adanya perkembangan zaman yang terus merambah kawasan lereng Bromo ini. Bakan masyarakatnya teguh pertahankan budaya tersebut. “Upacara karo ini hukumnya wajib bagi masyarakat Tengger. Karenanya sekolah juga ikut diliburkan untuk menghormati acara ini,” beber dia.
Setelah upacara pembukaan karo usai dilanjutkan upacara Santi, Slametan Banyu, Pembukaan Jimat Klontong hingga puncaknya upacara penutupan di Wonokritri yang disebut Bawahan. “Untuk upacara Santi atau menghormati para leluhur, setiap dukun, pandita Tengger dan kepala desa akan melaksanakan doa di hari pertama,” kata Singgih.
Sesuai dengan pelaksanaan yang sudah dilaksanakan seperti tahun-tahun sebelumnya, kegiatan dilanjutkan yakni pada hari kedua akan berdoa dari rumah ke rumah warga. “Setiap warga akan memasang takir atau sesembahan dari kue khas tengger seperti tetel, pasungan, lupis, jenang, dan kue lainnya. Ada 5 warna kue yang menandakan 5 penjuru mata angin,” imbuh Singgih.
Untuk selanjutnya, lanjut Singgih, barulah setelah itu dilanjutkan dengan andon mangan, yakni tradisi berkunjung dari satu rumah ke rumah warga dan makan bersama. Hal ini sebagai upaya kerukunan antar warga satu dengan lainnya. Sekaligus untuk mempererat hubungan diantara mereka sebagai wujud kebersamaan dalam persatuan peradaban suku Tengger.
Pj Bupati diangkat sebagai warga kehormatan
Di sisi lain, masyarakat Tengger juga mengangkat Pj Bupati Pasuruan, Abdul Hamid sebagai warga kehormatan dengan simbol penyematan ikat kepala. Dalam sambutannya berharap agar masyarakat Tosari dan sekitarnya bisa lebih kreatif dalam melestarikan budaya yang sudah ada, sehingga layak jual bagi wisatawan domestik dan mancanegara.
“Kalau tidak dilestarikan, kesannya akan membosankan sehingga wisatawan juga tidak tertarik untuk datang kembali ke kawasan ini. Karena itu saya menghimbau kepada masyarakat sekitar untuk lebih kreatif dalam mengembangkan seni dan budaya yang sudah ada, meski tidak merubah keaslian atau tata cara budaya itu sendiri,” ucap Abdul Hamid.