Oleh : Aan Anshori
“Antipungli” dan “Gak Rewel” adalah salah satu slogan pasangan MuRah (Munjidah-Sumrambah) dalam Pilbup Jombang kemarin. Antipungli maknanya jelas. Pemerintahannya berjanji akan mengoreksi tradisi pungli saat rezim Nyono-Munjidah berkuasa. Sedangkan “Gak Rewel” kemungkinan besar dimaknai sebagai sikap politik yang mempermudah atau menggampangkan. Tidak ada penjelasan resmi terkait hal ini saat kampanye.
Bagaimana dinamika dua istilah ini saat berhembus kencang dugaan pungli terhadap gaji guru honorer GTT-PTT di lingkungan SMA/SMK Jombang sebagaimana diberitakan Jawa Pos Radar Jombang, Senin (8/10)?.
Setelah masa transisi pengelolaan SMA/SMK dari kabupaten ke provinsi, Pemprov Jawa Timur memberikan dukungan honor bagi guru honorer agar kesejahteraannya lebih terpenuhi. Mereka menerima tambahan Rp. 750.000/bulan di luar gaji yang biasa mereka terima dari sekolah. Maka, seorang honorer, misalnya, akan membawa pulang Rp. 1.750.000 kalau selama ini ia digaji sekolah sebesar Rp. 1.000.000. Sehingga, sumber gaji honorer berasal dari dua sumber, sekolah dan pemprov.
Anehnya, pascaturunnya kebijakan bantuan ini, bukannya malah senang pengajar honorer GTT-PTT sejahtera, banyak sekolah malah justru merasa keberatan jika harus tetap menggaji mereka seperti sebelum adanya bantuan dari provinsi. Banyak diantara sekolah yang memangkas sumber gaji dari mereka. Besar potongannya sangat variatif, antara Rp. 100.000 hingga Rp. 750.000.
“Insentif guru yang tadinya misalkan dapat gaji dari sekolah 1 juta langsung dipotong 750.000, jadi sekolah tinggal menggaji 250.000,” kata Ipung Kurniawan ketika saya hubungi.
Pria ini berpandangan, SK Gubernur tersebut terkait bantuan Rp.750.000 untuk tambahan kesejahteraan honorer. Dengan demikian, menurutnya, seharusnya dengan adanya tambahan gaji Rp. 750.000, gaji seorang honorer bisa bertambah menjadi Rp. 1.750.000.
Saya mencoba mencari tahu sejauhmana kebijakan pemotongan gaji yang bersumber dari sekolah terjadi. Dari data yang saya peroleh dan, tentu saja, masih harus diperiksa ulang, beberapa sekolah kabarnya melakukan pemotongan dengan prosentase yang bervariasi.
Misalnya, SMKN 1-3 di kota Jombang diduga melakukan pemotongan 100%, 60% dan 50% berurutan. SMAN 1-3 di Jombang kota juga diduga memangkas gaji guru honorer sebesar 50%, 50% dan 27%. Kuat dugaan, guru honorer di beberapa SMA/SMK Negeri pinggiran kota, seperti Plandaan, Mojoagung, dan Gudo juga mengalami hal yang sama.
Namun data lain juga menunjukkan tidak semua sekolah melakukan pengguntingan gaji tenaga honorer. Beberapa sekolah itu, kabarnya, antara lain, SMAN Mojoagung, SMAN Bareng, SMAN Ngoro, SMAN Kesamben dan SMKN Kudu
Bervariasinya kebijakan pemotongan ini memantik rasa penasaran, bagimana mungkin sebuah kebijakan pemotongan bisa seunik ini? Apa dasar hukumnya?
Ipung mengaku pernah menanyakan hal ini ke representasi Pemprov Jatim di Dinas Pendidikan Jombang (Cabdin). Katanya pemotongan ini hasil kesepakatan MKKS (Musyawarah Kerja Kepala Sekolah).
Kata “kesepakatan” mengingatkan saya pada Nyono Suharli Wihandoko, mantan Bupati Jombang yang sekarang tengah mendekam di penjara. Suami Tjaturina ini tersandung masalah suap dan gratifikasi dana kapitasi BPJS yang disunat atas dasar kesepakatan
Jika pernyataan Ipung demikian halnya, maka sejauhmana kesepakatan MKKS ini dituangkan dalam dokumen yang tidak hanya untuk konsumsi publik namun juga sebagai pelaporan kepada kepada otoritas kabupaten dan provinsi?. Ini merupakan pertanyaan krusial, setidaknya untuk melakukan proses check and balance agar tidak menjurus pada terciptanya upaya-upaya koruptif.
Adalah benar SMA/SMK/PLKB tidak lagi menjadi kewenangan kabupaten/kota namun sebagai penanggung jawab kedaerahan Bupati perlu dilibatkan dalam persoalan ini. Mengapa? Sederhana saja, karena ia mendapat mandat konstitusi untuk mengadministrasi keadilan sosial. Kesejahteraan warga Jombang adalah tanggung jawab politiknya yang tidak bisa diabaikan dengan mengucap “Ini kewenangan provinsi, bukan kabupaten,”
Seluruh guru honorer, kepsek, dan ribuan siswa SMA/SMK/PKLK adalah warga Jombang. Mereka, guru honorer, yang harusnya membawa uang lebih sebagai jerih payahnya mengajar terhambat oleh kesepakatan sekelompok orang yang tidak jelas dasar hukumnya.
Sebagai pimpinan politik pemerintahan kabupaten, bupati dan wabup perlu melakukan sesuatu agar guru honorer bisa merasakan peningkatan kesejahteraan, dan yang tak kalah penting, birokrasi koruptif bisa segera teramputasi.
Dalam kasus ini, saya membayangkan Bupati bisa dengan mudah mengundang makan pagi seluruh guru GTT-PTT sekaligus kepala sekolahnya, semudah ia mengumpulkan ASN dalam acara tumpengan di Alun-alun beberapa waktu lalu.
Dalam pertemuan itu nantinya, ia bisa katakan dengan tegas, “Saya bupati di sini. Jika ada pemotongan tunjangan lagi, rekam atau capture bukti-buktinya. Saya pastikan Kepsek atau siapapun akan berurusan dengan saya. Ini nomor saya,”
Semudah itu
Jika dilakukan, saya jamin pelaku pungli akan mengkeret nyalinya. Guru GTT-PTT akan bersorak kegirangan merasa punya pemimpin yang mau berjalan beriringan berbagi ratapan setelah lima tahun hidup dalam kepungan birokrasi model “wani piro”. Jika pertemuan tersebut direkam dan diunggah di Youtube, maka efeknya akan jauh lebih terasa lagi bagi penguatan pilar transparansi dan akuntabilitas birokrasi.
Tinggal, beranikah bupati dan wakilnya melakukan hal remah itu? Semua akan berpulang pada nyali. Saya teringat omongan Ahok, ‘jika kepala tegak lurus, maka ekor akan tegak lurus juga’. Sudahkah kepala MuRah tegak lurus? Saya dan ratusan ribu warga Jombang akan setia menunggu keduanya menyapu debu korupsi di seluruh birokrasi. Proses penyapuan ini hanya bisa dilakukan jika kuat dan bersih. Kita tidak membersihkan rumah dengan sapu yang kotor.
Kepasrahan Bupati menunjukkan ia tengah galau. Entah karena apa. Sangat mungkin ia dan wabup baru menyadari konsekuensi kampanye antipungli yang pernah digaungkannya saat pilkada kemarin.
Kegalauannya kini tidak bisa lagi bersifat personal karena telah beririsan dengan hajat hidup orang banyak, terutama guru honorer GTT-PTT. Ini merupakan ujian awal Bupati untuk menepati janji antipunglinya. Dan untuk merealisasikan ini, Munjidah dan Sumrambah harus rewel.
Penulis adalah, Direktur Lingkar Indonesia untuk Keadilan (LINK) Jombang.