Cerita Lampau dari Balik Arang Undar Jombang
JOMBANG, FaktualNews.co – Universitas Darul Ulum (Undar) Jombang, kampus legendaris dengan berbagai konflik. Tak hanya terkenal dengan kebesarannya, Kampus yang didirikan KH. Musta’in Romly itu juga mulai tenar dengan konflik internal di pasca tahun 2000-an.
Di kalangan generasi Z (mereka yang lahir di rentang waktu pertengahan 1990-an sampai medio 2000-an) tidak banyak cerita yang bisa didapat tentang massa kejayaan Kampus Undar Jombang. Hanya konflik internal tentang perebutan pucuk kepemimpinan kampus tertua di Kota Santri itu yang selalu menjadi bahan perbincangan.
Pertikaian dan dualisme tampuk kepemimpinan Kampus Undar Jombang, selalu menjadi topik hangat pemberitaan media massa kala itu. Perebutan kursi rektor Undar dan ketua yayasan Darul Ulum terus menerus terjadi. Konflik internal ditubuh keluarga keturuan KH. Musta’in Romly sekaan tak pernah berhenti. Sejenak ramai, sejenak reda, layaknya hujan ditengah pergantian musim.
Namun berbeda dengan para generasi Baby Boomer II (kelahiran rentang waktu kurang dari tahun 1960 atau pasca perang ke II) dan Generasi X (kelahiran rentang waktu tahun 1961-1975). Para mahasiswa kala itu benar-benar merasakan dan menjadi sejarah bagaiman Undar berada di puncak keemasan serta menjadi salah satu kampus terbesar di Jatim.
Undar didirikan KH Musta’in Romly, KH Bhisry Cholil, K. Ahmad Baidhowi Cholil, Mohammad Wiyono (mantan Gubernur Jatim), KH Muh. As’ad Umar dan Muhammad Syahrul, SH pada 18 September 1965. Di bawah, Yayasan Darul Ulum Jombang dengan Akta No.5, tgl. 16-11-1965, yang tercatat di Notaris Soembono Tjiptowidjono, SH, perlahan namun pasti, Undar lantas menjelma menjadi perguruan tinggi yang cukup bonafit.
Dilansir dari berbagai sumber, bangunan seluas sekitar 450 meter persegi yang berdiri di atas tanah berukuran 1.200 meter persegi di Jl. Wakhid Hasyim 162 Jombang, menjadi saksi awal berdirinya Kampus Undar. Ada tiga fakkultas yang dibuka Undar kala itu, yakni Fakultas Hukum, Fakultas Sosial Politik dan Fakultas Pertanian. Pada 7 Juni 1966 tiga fakultas tersebut memperoleh Status Terdaftar dari Menteri PTIP dengan Surat Keputusan nomor: 154/B.SWT/P/1966.
Karena kurang memadainya sarana dan prasarana saat itu, maka pada tahun 1969 Fakultas Pertanian tidak menerima mahasiswa lagi dan baru dibuka lagi pada tahun 1984. Selanjutnya, pada tahun 1968, Undar menambah satu fakultas, yang berafiliasi dengan Departemen Agama (sekarang Kementrian Agama) yaitu Fakultas Alim Ulama.
Dalam perkembangannya, Fakultas Alim Ulama pada tahun 1971 dengan surat Keputusan Menteri Agama nomor: 37/1971 tertanggal 25 Juni 1971 berubah menjadi Fakultas Ushuluddin. Jumlah mahasiswa Fakultas Hukum dan Sospol semakin hari semakin merosot lantaran sulitnya penyelenggaraan Ujian Negara, padahal saat itu masih tingkat Sarjana Muda. Akibatnya, banyak mahasiswa yang pindah ke Fakultas Ushuluddin.
Memasuki pertengahan tahun 1970-an, perkembangan signifikan ditunjukan Kampus Undar. Pada 7 Januari 1977 Undar mendirikan Fakultas Ilmu Pendidikan dengan jurusan Bimbingan dan Penyuluhan serta Pendidikan Sosial. Setahun kemudian tepatnya 28 Maret 1978 didirikan Fakultas Teknik dengan jurusan, Teknik Sipil, Teknik Mesin serta Teknik Elektro.
Undar pun terus perkembang. Pada 9 Juli 1979 Undar melakukan kerjasama dengan Universitas Negeri Jember (UNEJ). Selang beberapa bulan kemudian, Undar juga menjalin kersama dengan IAIN Sunan Ampel Surabaya (Sekarang UIN), Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, serta Universitas Brawijaya (Unibraw) Malang.
Pada 21 Mei 1981 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Dr. Daoed Yoesoef, meresmikan pendirian Fakultas Ekonomi dengan jurusan Managemen dan Studi Pembangunan. Tak hanya itu, dalam kesempatan yang sama Undar juga menjalin kersama dengan Fakultas Teknik Sipil ITS Surabaya. Tentu sebuah kemajuan yang sangat baik.
Selain dengan perguruan tinggi di Indonesia, Undar juga telah menjalin kerja sama dengan perguruan tinggi luar negeri, antara lain dengan Kuwait University, Al Azhar University, Universitas Kebangsaan Malaysia, Universiti Brunei Darussalam, dan beberapa perguruan tinggi lainnya, yakni dengan cara tukar menukar mahasiswa dan dosen.
Ditahun 1984, mahasiswa Undar boleh dibilang sangat berbangga dengan almamaternya. Rektor Undar KH Musta’in Romly, terpilih menjadi delegasi dalam pertemuan Organisasi Konferensi Islam (OKI) bersama Wakil Presiden RI Umar Wirahadikusumah dan Menteri Luar Negeri RI Bapak Prof. Dr. Muchtar Kusumaatmadja di Casablanca, Maroko. Kunjungan tersebut dilanjutkan ke Perancis dan Jerman Barat. Selanjutnya pada bulan Juli di tahun yang sama, KH Musta’in mengikuti Konferensi antar Rektor se-dunia di Bangkok.
Pasca itu, nama besar Undar Jombang terus menggema hingga pelosok-pelosok daerah. Tak hanya di Pulau Jawa, Undar juga cukup kondang di berbagai wilayah, seperti Sumatera, Kalimantan, Kepulauan Riau, dan Timor-timor (saat ini menjadi negara sendiri, yakni Timor Leste). Sejumlah fakultas baru pun kembali bermunculan, seperti Fakultas Psikologi dan lain sebagainya.
Riak Kecil Ikhwal Dualisme Kampus Undar
Sepeninggal KH Musta’in Romly, Undar masih terus berkembang dibawah naungan rektor H. Luqman Haqim. Hingga konflik berkepanjangan di internal keluarga itupun terjadi. Berawal pada tahun 1999, saat Gus Lukman menjabat sebagai rektor kampus Undar. Para mahasiswa Undar dan jajaran senat kala itu berkeinginan agar Undar lebih besar. Mereka kemudian mengusulkan agar tampuk kepemimpinan Kampus Undar dipegang oleh pihak luar Yayasan Darul Ulum.
“Waktu itu, mahasiswa menginginkan ada penyegaran. Mahasiswa membentuk Forum Koordinasi Senat Mahasiswa (FKSM). Anggotanya terdiri dari 9 fakultas. Mahasiswa menginginkan untuk dilibatkan dalam dalam rapat senat,” ujar mantan ketua Senat Fakultas Teknik Undar Jombang, Selasa (4/12/2018).
Kendati sempat ditolak, namun aksi demonstrasi secara marathon yang dilakukan mahasiswa akhirnya berbuah manis. Usulan itupun akhirnya disetujui ketua yayasan Darul Ulum kala itu Hj Djumiyatin Musta’in. Bahkan mahasiswa dilibatkan dalam rapat senat kampus. “Meskipun tidak dapat suara (untuk memilih),” terangnya.
Proses penjaringan pun berlangsung alot. bahkan hingga tahun 2.000, belum ada kejelasan siapa yang bakal mengganti Gus Lukman dari posisi rektor. Hingga akhirnya, munculah nama Asip Hadipranata, salah Dosen di kampus Universitas Gajah Mada (UGM) Jogjakarta. “Pak Asib sebenarnya bersedia saat itu. Bahkan Pak Iklasul Amal yang saat itu menjabat sebagai rektor UGM juga bersedia melepas pak Asib untuk dijadikan rektor di Undar. Saya menemui beliau di lapangan UGM setelah upacara 17 Agustus,” paparnya.
Akan tetapi, entah bagaimana sebabnya, mendadak Yayasan Darul Ulum mengurungkan niatnya melantik Asip Hadipranata dan kemudian mengangkat Mujib Mustain menjadi rektor Undar. Kabar yang diterima Masrur bahwa saat itu terjadi telah kesepakatan tidak tertulis antara Gus Lukman dan Gus Mujib. “Kesepakatannya, jadi bergantian menduduki rektor dan ketua yayasan. Kalau Gus Mujib rektor, Gus Lukman Ketua Yayasan,” tandasnya.
Saat itu, mahasiswa tidak kuasa menolak kesepakatan tersebut. Lantaran pesan dari Hj Djumiyatin Musta’in yang meminta agar mahasiswa tenang dan menyudahi persoalan tersebut.
Bu Nyai Tin, Sang Juru Selamat Mahasiswa ‘Miskin’
Bagi Masrur dan para mahasiswa Undar Jombang yang memiliki ekonomi kurang mampu, sosok Hj Djumiyatin Musta’in merupakan sang juru selamat. Tidak sedikit mahasiswa yang kala itu meminta bantuan beliau. Hanya untuk bisa ikut perkuliahan dan ujian.
“Bu nyai itu orang baik. Beliau tempat meminta pertolongan para mahasiswa. Beliau tidak pernah memandang itu siapa. Cukup menghadap Bu Nyai, langsung bisa mendapatkan bantuan, bisa ikut ujian,” tutur Masrur sembari menyatakan, jika dirinya pun sering kali meminta bantuan ke Hj Djumiyatin Musta’in.
Di matanya, Hj Djumiyatin Musta’in merupakan sosok yang iklas. Bahkan, Hj Djumiyatin Musta’in rela menyerahkan kursi Ketua Yayasan Darul Ulum guna menyudahi konflik kala itu. “Waktu itu disampaikan di hadapan orang banyak, beliau iklas tidak menjadi ketua yayasan, dengan syarat bisa memberikan keringanan kepada mahasiswa. Hanya itu syaratnya,” tukasnya.
Akan tetapi, kesepakatan tak tertulis itu nyatanya tak membuat api konflik itu padam. Pada tahun 2003, kembali terjadi gejolak hingga membuat Presiden ke-4 KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur pun turun tangan. Setelah diminta Hj Djumiyatin Musta’in. Namun ternyata keberadaan Gus Dur di Undar tak lantas bisa mendamaikan beberapa pihak yang berselisih. Bahkan hingga kini Undar tetap menjadi kampus dengan berbagai konflik.
Sejak saat itu, aksi mahasiswa dan perebutan kekuasaan masih saja terjadi. Bahkan sempat terjadi wisuda kembar di Kampus Undar ini. Lantaran, kedua belah pihak yang bertikai sama-sama mengadakan wisuda. Nama besar Undar pun lambat laun tenggelam ditelan konflik yang tidak berkesudahan. Konflik kelurga yang sejatinya tidak jelas apa yang diperebutkan.