SURABAYA, FaktualNews.co – Tsunami yang menerjang Selat Sunda pada Minggu 23 Desember 2018 dinihari, disebabkan karena letusan anak gunung Krakatau. Hingga saat ini tercatat 229 jiwa tewas akibat kejadian ini.
Namun, tak hanya kali ini saja tsunami terjadi akibat letusan Gunung Krakatau. Erupsi sangat dahsyat dari gunung api Krakatau pernah terjadi pada 26-27 Agustus 1883. Erupsi itu diikuti oleh gelombang tsunami dengan ketinggian hingga 30 meter di atas permukaan laut Selat Sunda.
Sementara di pantai selatan Sumatera ketinggian gelombang mencapai 4 meter, di pantai utara dan selatan Jawa 2,5 meter. “Gelombang tsunami juga terjadi di Samudera Pasifik hingga ke Amerika Selatan dengan ketinggian 1,5 – 1 meter,” tulis Yudhicara dan K Budiono dalam artikel bertajuk ‘Tsunamigenik di Selat Sunda: Kajian Terhadap Katalog Tsunami Soloviev’ 10 tahun lalu. Tepatnya, paper kedua peneliti itu tercantum dalam Jurnal Geologi Indonesia Volume III, 4 Desember 2008.
Sementara ahli vulkanologi dari ITB, Dr.Eng. Mirzam Abdurrachman letusan Gunung Krakatau pada Agustus 1883 dimulai pada 26 Agustus dan mencapai puncaknya serta berhenti 20 jam kemudian pada 27 Agustus itu menewaskan 36.400 orang.
“Letusan Krakatau kala itu juga menghasilkan kaldera berukuran 4×8 km, dan aliran wedus gembel sejauh 40 km dari titik letusan,” tulis Mirzam seperti dikutip dari itb.ac.id, 31 Agustus 2018.
Selain pada 1883, sebuah kitab Jawa kuno yang berjudul “Book of Kings” (Pustaka Radja) mencatat pada tahun 416 ada beberapa kali erupsi dari Gunung Kapi yang menyebabkan naiknya gelombang laut dan menggenangi daratan hingga memisahkan Pulau Sumatera dan Pulau Jawa. “Gunung Kapi ini diyakini sebagai Gunung api Krakatau saat ini,” tulis Yudhicara dan K Budiono.
Raden Ngabahi Ranggawarsita pada 1869, menurut Mirzam, memang menyebutkan bahwa pada tahun Saka 338 atau 416 telah terdengar suara gemuruh disertai hujan dan badai. Krakatau Purba menghilang menyisakan pulau-pulai kecil dan secepatnya disusul oleh gelombang laut yang tinggi, tsunami menghantam pesisir Lampung dan Jawa Barat.
“Pulau Sertung, Panjang dan Rakata terbentuk dari hasil letusan dahsyat Karakatau Purba yang terjadi sekitar awal abad 5 atau 6,” kata Dr. Mirzam.
Namun, penelitian selanjutnya tidak mencatat adanya bukti-bukti geologi yang cukup akan adanya letusan besar tahun 416. Sebaliknya sekitaran tahun 535-536 terjadi perubahan iklim yang ekstrim. Beberapa tumbuhan mengalami pertumbuhan yang lambat, ditemukannya kandungan sulfur yang tinggi pada bagian inti dari es di Islandia atau antartika, musim panas yang bersalju pada Bumi belahan utara sehingga masa itu dikenang sebagai Volcanic Winter, serta adanya beberapa peradaban yang berakhir disekitar waktu tersebut.
“Jadi apakah 416 atau 535? Sekarang banyak peneliti sedang mendalami dan mencari bukti guna mendapatkan jawaban yang lebih akurat. Kapan pun itu, kita patut besyuskur karena letusan 416 atau 535 jauh lebih dasyat dari letusan 135 tahun yang lalu atau tepatnya 26-27 Agustus 1883,” tukasnya.