SIDOARJO, FaktualNews.co – Sidang kasus dugaan pemalsuan surat domisili dengan terdakwa Doktor Christea Frisdiantara Kamis (24/1/2019) berlangsung panas. Pemicunya, ketika Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Sidoarjo mengkonfrontir keterangan dua saksi.
Dua saksi yang dikonfrontir yaitu Lurah Magersari, Kecamatan/Kabupaten Sidoarjo, Mochammad Arifien dengan Puguh, pemohon surat keterangan domisi untuk terdakwa Christea. Keduanya dihadirkan untuk mempertanggung jawabkan kesaksiannya.
Awalnya, Djoni Iswantoro, Ketua Majelis Hakim, menanyakan kepada saudara Puguh tentang surat yang ditandatangani langsung oleh Lurah. “Saudara saksi pernah bertemu dengan Pak Lurah,” tanya Djoni. Dengan yakin, Puguh mengangguk membenarkan pernah bertemu ketika meminta tanda tangan surat tersebut.
“Iya ketika saya meminta tanda tangan surat keterangan domisili atas nama Pak Christea. Saya juga membuat pernyataan di depannya tidak keberatan alamat rumah saya digunakan untuk domisili (Christea),” ucap dia.
Mendengar jawaban itu, Djoni lantas bertanya kepada Lurah Magersari. “Pak Lurah, apa pernah bertemu dengan saksi Puguh,” tanya dia.
Merasa yakin tidak pernah bertemu, Arifien akhirnya mengelengkan kepada lalu mengaku tidak pernah bertemu. “Baru sekarang bertemu dia,” jawabnya.
Karena keduanya sama-sama kukuh dengan kesaksiannya itu, Djoni lalu meminta Puguh menceritakan awal mula pertemuan itu. Puguh mengaku, bahwa dirinya bertemu Lurah setelah dibuatkan Dedi, pegawai Kelurahan Magersari, surat domisili itu.
“Pas ketemu dengan Pak Dedi disitu ada tetangga saya Bu Nardi dan Bu Ribut. Setelah surat itu jadi dan tinggal tanda tangan saja surat itu diberikan kepada saya untuk meminta tanda tangan kepada Pak Lurah,” akunya.
“Masak Pak Lurah lupa. Kan bapak sendiri yang tanda tangani itu dan meminta agar saya buat surat pernyataan,” ucap dia. Mendengar pertanyaan itu, Lurah pun kembali menegaskan tidak pernah bertemu.
“Tidak pernah kami bertemu,” ucap Arifien dengan nada meninggi. Karena konfrontir itu masih keduanya masih teguh pada pendiriannya, majelis hakim akhirnya mempersilahkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Sidoarjo bertanya.
Ketika ditanya Jaksa soal penegasan tidak pernah adanya pertemuan itu, Arifien justru mengaku pernah bertemu sekali dengan saksi Puguh. Mendengar jawbaan itu, Djoni lantas memotong dan memarahi Arifien.
“Tadi saya tanya jawabnya tidak, sekarang ditanya jaksa bilang iya,” semprot hakim kepada Lurah Magersari dengan nada meninggi.
Djoni menyatakan, pihaknya berkali-kali mengingatkan bahwa keterangan palsu di dalam sidang bisa dijerat pidana ancaman hukumannya 7 tahun. Serta dipertanggungjawabkan dunia akhirat karena keterangan di bawah sumpah.
Bukan sekali dua kali, hakim juga berulangkali terlihat geram terhadap keterangan Lurah Magersari dan stafnya, Dedi ketika dihadirkan sebagai saksi.
Meski begitu, pada sidang kali ini tim pengacara Christea kembali mempertanyakan Labfor surat yang diduga palsu itu. Padahal, dari hasil pemeriksaan Labfor Polri Cabang Surabaya, atas keaslian surat domisili itu sudah keluar dan dikirim ke Polresta Sidoarjo sejak September 2018 lalu.
“Kami tidak berhak menyampaikan itu, tapi dari informasi yang kami dapat, surat itu identik. Artinya tidak palsu alias benar dibuat dan dikeluarkan oleh Kelurahan,” kata B Sunu, pengacara Christea.
Mendengar itu, hakim bertanya ke jaksa. Karena dalam sidang hanya ada surat sebagai barang bukti, tidak ada pembanding dan tidak dilampirkan hasil pemeriksaan laboratorium forensik-nya. Hakim pun meminta jaksa agar mendapatkan surat hasil laboratorium forensik itu.
“Sejak dari penyidik, memang hasil forensik itu tidak ada dalam BAP-nya pak hakim,” jawab Guruh Wicahyo, JPU Kejari Sidoarjo yang menyidangkan perkara ini saat ditanya hakim.
Dalam pemeriksaan itu, saksi Yulianto, pihak yang menguruskan perubahan spesimen tanda tangan yang ditetapkan PN Sidoarjo juga turut diperiksa.
Perlu diketahui, Christea dijerat karena telah menggunakan surat keterangan domisi palsu. Awalnya surat itu untuk kepentingan pengajuan kredit perumahan rakyat (KPR). Pengajuan itu rencananya digunakan untuk membeli rumah milik Puguh yang berada di Perum Magersari, Sidoarjo.
Untuk memperoleh surat keterangan domisili itu, terdakwa menguasakan kepada Puguh, yang menjanjikan bisa menguruskan karena memiliki kenalan seorang pengacara bernama Julianto Darmawan.
Pengurusan surat domisili itu untuk meyakinkan bank bahwa terdakwa benar warga Kelurahan Magersari, Sidoarjo. Padahal, terdakwa warga Malang.
Setelah surat domisili itu selesai, surat domisili tersebut tidak digunakan untuk pengajuan kredit di bank, melainkan digunakan untuk mengajukan permohonan pengubahan tanda tangan, speciment bank dari PPLP PT PGRI versi Soedja’i menjadi tanda tangan Christea Frisdiantara di Pengadilan Negeri (PN) Sidoarjo.
Tujuan permohonan itu digunakan untuk membuka pemblokiran bank, yang sudah diblokir oleh pengurus lama. Terdakwa menguasakan pengurusan itu kepada Yulianto, kuasa hukum, hingga permohonan itu dikabulkan oleh PN Sidoarjo.
Namun, belum sempat dibuka pemblokiran bank, perbuatan terdakwa akhirnya terungkap setelah ada pihak yang mengkroscek di PN Sidoarjo. Apalagi, dalam permohonan itu terdakwa menggunakan surat keterangan domisili dari Sidoarjo, padahal terdakwa asli warga Malang.
Dari situlah kemudian dikroscek surat keterangan domisili terdakwa. Setelah dilakukan kroscek bahwa Kelurahan Magersari, Kecamatan Sidoarjo, tidak pernah mengeluarkan surat domisi atas nama terdakwa.