Kenaikan Gaji PNS Jelang Pilpres 2019 “Racikan” Meraup Suara?
FaktualNews.co – Ekonom Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto, menganggap kenaikan gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS) jelang kontestasi politik merupakan ‘racikan’ demi meraup suara.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) memutuskan untuk menaikkan gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada tahun ini, pertama kali sejak 2015 lalu. Pencairan kenaikan gaji rencananya dilakukan pada Maret 2019.
“Ini tentu tidak lepas dari analisis ekonomi politik agar bisa mendapat kesan baik. Meski ini tidak salah, lembaga eksekutif memang punya kekuasaan untuk meracik ini,” kata Eko, seperti melansir CNNIndonesia, Selasa (12/2/2019).
Apalagi, jumlah PNS di Indonesia tidak sedikit. Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB), setidaknya ada 4,3 juta orang per awal 2019. Menurutnya, angka ini memiliki dampak bagi suara calon petahana karena pilihan PNS bisa saja mempengaruhi orang-orang di lingkungannya.
Keputusan menaikan gaji PNS pada Maret 2019 jelang Pilpres, menurut Eko rentan diseret ke ranah politik karena kenaikan gaji PNS terakhir kali dilakukan pada 2015. Sementara pada 2016-2018, pemerintah hanya memberi bonus-bonus kepada PNS, misalnya melalui Tunjangan Hari Raya (THR) dan gaji ke-13.
“Artinya bisa saja, kalau bukan momentum tahun politik, belum tentu dinaikkan,” imbuhnya.
Menaikan Gaji PNS Tidak Terlalu Penting
Terlepas dari kepentingan politis, Eko menilai urgensi kenaikan gaji PNS belum tinggi lantaran kualitas kerja para abdi negara yang masih rendah. Kalau pun kinerja membaik, seharusnya pemerintah hanya memberikan bonus saja seperti yang dilakukan pada 2016-2018.
Menurutnya, hal mendasar yang membuat kenaikan gaji belum mendesak lantaran berbagai target-target ekonomi yang ditetapkan pemerintah belum tercapai. Misalnya, kinerja indikator makro pada tahun lalu masih jauh dari harapan.
Tengoklah target pertumbuhan ekonomi yang semula dibidik mencapai 7 persen, toh nyatanya baru mencapai 5 persen. Lalu, realisasi investasi justru melambat, hanya tumbuh sekitar 4,1 persen dari tahun sebelumnya. Kemudian, defisit perdagangan mencetak rekor terburuk sepanjang sejarah dengan nominal minus US$8,57 miliar.
Begitu pula dengan pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Penerimaan negara yang melebihi target dan realisasi belanja yang hampir 100 persen pun baru terjadi pada tahun lalu.
“Bahkan saya kira pelayanan birokrasi pun masih belum bagus, misalnya pelayanan kependudukan dan kesehatan, masih banyak tantangan di situ. Jadi kalau pelayanan belum bagus, tapi sudah naik gaji, kok rasanya kurang pas,” terangnya.
Di sisi lain, Eko menyoroti realisasi belanja pegawai pemerintah yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini tak lepas dari kenaikan berbagai tunjangan, dan bonus kepada PNS.
“Tren belanja pegawai ketinggian ini sebenarnya bukan hanya di era Presiden Jokowi, tapi juga sudah terjadi dari era Susilo Bambang Yudhoyono,” ungkapnya.
Ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal, menilai sebenarnya sah saja bagi pemerintah untuk menaikkan gaji PNS. Memang menurut dia, sesuai aturan, gaji karyawan, termasuk PNS seharusnya naik sesuai inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
“Formula sebenarnya seharusnya inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi. Tapi kan PNS ada tunjangan berdasarkan masing-masing kementerian,” jelas dia.
Kebijakan kenaikan gaji PNS, menurut dia, menjadi sarat muatan politik karena dilakukan jelang Pilpres.
Ia pun menyoroti kondisi belanja pegawai yang masih jauh lebih tinggi dari belanja modal. Pada APBN 2018 misalnya, realisasi belanja pegawai mencapai 94,8 persen dari target Rp365,7 triliun. Sementara belanja modal yang jumlah nominalnya lebih sedikit, hanya terealisasi sekitar 90,7 persen dari target Rp203,7 triliun.
“Seharusnya, belanja modal kenaikan bisa lebih signifikan, termasuk yang masuk ke infrastruktur dan memberi dampak daya ungkit ke pertumbuhan ekonomi. Tapi justru hasilnya terbatas saja,” tuturnya.
Fithra juga menilai kenaikan gaji PNS belum benar-benar mendesak karena kualitas kerja yang belum maksimal.
Sekalipun perlu ada kenaikan gaji, Fithra memandang hanya golongan tertentu yang betul-betul mendesak untuk dikerek gajinya, yaitu golongan I dan II. Sebab, gaji pokok mereka tidak jauh dari upah minimum.
Di sisi lain, Fithra bilang sisi positif kenaikan gaji PNS diharapkan bisa menambah amunisi bagi laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Selain itu, kenaikan gaji diharapkan bisa menambah benteng pertahanan PNS agar tidak melakukan aksi korupsi.
“Beberapa studi masih menunjukkan kalau korupsi terjadi karena gaji kurang, meski ada juga yang karena bekerja di sektor ‘basah’. Tapi ini bisa jadi salah satu pencegahan,” pungkasnya.
Artikel ini telah tayang di CNNIndonesia.com dengan judul: https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20190212115507-532-368469/tak-ada-urgensi-kerek-gaji-pns