Birokrasi

AKD Trenggalek Kecewa Kades Tak Dilibatkan Pendataan Penerima Bantuan

TRENGGALEK, FaktualNews.co – Asosiasi Kepala Desa (AKD) Trenggalek menyesalkan program bantuanpemerintah yang dirasa tidak tepat sasaran.

Bukan tanpa alasan, bantuan pemerintah seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu Indonesia Sejahtera (KIS) dan program lainnya selama ini tanpa sepengetahuan Kepala Desa. Menurut mereka banyak sekali penerima bantuan yang ternyata malah sudah berdaya.

“Saya selama menjadi kepala desa satu periode selama enam tahun tidak pernah sekalipun dilibatkan dalam program-program yang dicanangkan oleh pemerintah. Terutama PKH, KIP, KIS dan lainnya. Bahkan kita tidak pernah diajak ngomong oleh pemerintah,” ungkap Ketua Asosiasi Kepala Desa Trenggalek, Puryono Senin (22/4/2019).

Puryono juga mengatakan, AKD merasa tidak sependapat ketika PKH, KIP, KIS dan bantuan lainnya menggunakan acuan data dari BPS. Sedangkan BPS sendiri yang dijadikan acuan adalah data di tahun 2011 dan 2015 yang kemudian tidak sinkron dengan data yang diambil dari musyawarah desa melalui gertak saat ini.

“Jadi selama ini pengambilan data bukan dari gertak, padahal acuan produk daripada gertak, ketika di sodorkan ke kementerian dengan data terpadu sangat tidak sambung. Dari situ Pemkab butuh perjuangan untuk mensinkronkan permasalahan tersebut,” imbuhnya.

“Jika semua di serahkan kepada pemerintah desa dirasa akan bisa adil, karena yang akan menerima bantuan tersebut eskalasi penentu adalah Desa. Melalui musyawarah RT,” ucapnya

Dari pleno RT nanti akan diplenokan ke dusun selanjutnya di plenokan di tingkat desa. Apabila itu dilakukan maka akan menjadi produk yang sangat luar biasa. Dengan sistem seperti itu maka Desa akan menjadi bank data negara.

Karena kebanyakan saat ini orang yang menerima bantuan PKH ini sudah berdaya, artinya ini masih sangat perlu koreksi berkelanjutan dalam waktu beberapa bulan kemudian.

“Namun bagaimana lagi, desa dalam hal ini tidak diberi kewenangan, misal ketika di desa dilakukan musyawarah dan selanjutnya disampaikan ke atas, pemerintah tetap kembali lagi mengambil data yang dari BPS,” sesalnya

Selain PKH Purtono juga mengungkapkan bahwa, ketika raskin diganti dengan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), itu juga menimbulkan masalah baru. Misal ada orang yang keluarganya meninggal, karena di dalam keluarga itu yang ditulis untuk menerina bantuan adalah suaminya. Dan disaat suaminya meninggal akan diteruskan oleh ahli warisnya, namun malah dicabut kartu bantuannya oleh BNI.

“Intinya ini sangat tidak nyambung, jadi orang yang ditinggal suaminya meninggal justru ini yang harus dibantu. Kalau bisa janganlah dulu dicabut kartunya, sementara jika menunggu kartu yang baru akan melalui proses lama sekali. Misal orangnya menunggu hingga enam bulan, dipastikan bisa tidak makan orang itu,” tuturnya

Untuk kedepan Puryono berharap akan ada sebuah regulasi dan aturan baru bahwa desa diberi kewenangan mutlak untuk merevisi data yang ada. Maka dipastikan bahwa data itu harus diperbaharui, pembaharuan tersebut harus sesuai bank data desa bukan dari bank data BPS.