Wali Murid Wadul ke Dewan, Soal Penerapan Sistem Zonasi PPDB 2019
JEMBER, FaktualNews.co – Sejumlah orang tua calon peserta didik baru, mendatangi gedung DPRD Jember, Jawa Timur, Senin (24/6/2019). Kedatangan mereka ke gedung parlemen, untuk mengeluhkan perihal kebijakan zonasi PPDB 2019, dan meminta agar ada revisi kebijakan zonasi PPDB di Jember.
Para calon wami murid ditemui langsung oleh Wakil Ketua DPRD Jember Ayub Junaidi dan Sekretaris Komisi D Nur Hasan. “Pagu SD dan SMP menggunakan 90 persen berdasarkan jarak, 10 persen berdasarkan perpindahan tugas orangtua, murid difabel, peserta program keluarga harapan, prestasi. Jalur prestasi hanya terbagi dua SMP, yakni SMP Negeri 1 dan SMP Negeri 7,” kata Salah satu calon wali murid peserta didik baru, Safa Ismail, saat dalam rapat dengar pendapat.
Safa pun juga menyoroti tidak adanya kewenangan terhadap sekolah untuk menentukan penerimaan siswa berdasarkan nilai ujian atau potensi akademik. “Murni meter, murni jarak rumah. Padahal aturan zona ini kan lima kilometer. Tapi kondisi sekarang, siswa yang berjarak rumah lebih dari 1,3 kilometer dengan sekolah, sudah tak akan menemukan sekolah (diterima di sekolah tujuan, red),” katanya.
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, menurut Safa, menyebutkan bahwa prinsip penyelenggaraan pendidikan tidak boleh diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. “Setiap warga negara berhak memperoleh dan memilih tempat pendidikan yang bermutu. Seharusnya Permendikbud mengacu UU di atasnya, tidak boleh bertentangan,” katanya.
“Ini sangat tidak fair. Pendidikan yang baik ini adalah hak warga negara. Di sini terjadi pengibirian hak itu. Kami hanya bisa memilih satu SMP negeri. Ini sangat tidak enak,” kata salah satu calon wali murid peserta didik baru, Endro Jatmiko.
Endro mencontohkan, salah satu SMP negeri yang berada di kawasan padat populasi. “Untuk mencapai pagu 232 siswa tidak usah jauh-jauh. Di sekitarnya saja sudah memenuhi,” katanya. Padahal SMP negeri itu tak hanya melayani pendidikan bagi masyarakat terdekat, namun juga kawasan sekitarnya.
“Ini mau dibawa ke mana? Kalau pagu sudah terpenuhi, otomatis siswa tertolak. Sementara pilihannya hanya satu sekolah. Ada alternatif di sekolah swasta. Masalahnya adalah tidak semua orang tua punya kemampuan finansial yang baik untuk menyekolahkan anaknya di swasta. Kedua, soal waktu, sekarang pendaftaran sekolah swasta sudah banyak yang tutup. Itu menyakitkan sekali. Seandainya tidak diterima, mau dikemanakan anak-anak kami?” kata Endro.
Endro pun mendesak agar hasil ujian nasional dipertimbangkan dalam PPDB SMP di Jember. Tidak hanya 90 persen didasarkan jarak rumah dengan sekolah pilihan. Kemungkinan perubahan ini, menurutnya, bisa terjadi jika mengacu daerah lain seperti Surabaya. “Ternyata di sana nilai ujian nasional bisa disertakan,” katanya.
Endro mengatakan, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 51 Tahun 2018 yang menetapkan 90 persen pagu sekolah adalah jarak rumah dengan SMP bersangkutan tidak bisa diterapkan saklek di Jember. “Kondisi geografisnya berbeda,” katanya.
Endro pun meminta bantuan DPRD Jember untuk mendukung usaha revisi pelaksanaan PPDB. Pasalnya, zonasi ini berdampak pada psikologi anak-anak yang gagal diterima bukan karena nilai ujian nasional melainkan karena jarak rumah dengan sekolah tujuan. “Anak tetangga saya menangis karena tidak bisa masuk ke SMP yang dicita-citakan. Padahal nilai ujian nasionalnya terbaik di sekolahnya,” katanya.