Jare Cak Besut
Ngaji Diri, Gula Tak Butuh Dipuja
Sepekan lebih Cak Besut serasa dipenjara. Geraknya terbatas, mobilitasnya menurun drastis. Sebuah insiden kecil di pergelangan kaki, memaksa Cak Besut untuk mengurangi segala aktivitasnya. Tapi satu yang tak bisa ia tinggalkan. Rutinitas ngopi di warung Rusmini, tak mampu dibendung meski harus kaki tertatih.
Dengan mengendarai motor butut kesayangannya, Cak Besut menuju tempat favoritnya. Warkop Goyang Rusmini, bukan hanya sekedar warung kopi. Disini Cak Besut menemukan ketenangan yang tak terbeli dengan materi. Berangkat dari ngopi bareng, ia kerap bertukar informasi. Dari perpaduan kopi air dan gula, Cak Besut belajar tentang arti ikhlas yang sesungguhnya. Gula dalam seduhan kopi, merupakan guru terbaik bagi Cak Besut.
Ketika Kopi yang disuguhkan terlalu pahit, maka gula menjadi titik kesalahan lantaran dianggap terlalu sedikit takarannya sehingga tak mampu mempengaruhi kepekatan kopi. Begitu sebaliknya, ketika kopi terlalu manis, lagi-lagi gula menjadi tumpuan kesalahan. Gula dianggap terlalu merusak cita rasa kopi yang ada. Tapi giliran takaran yang seimbang, hanya kopi yang dipuji. Tak ada sama sekali pujian gulanya mantap. Atau sekedar gulanya pas, bahkan sekedar kata ini baru gula terbaik. Semua puja tertuju pada kopi semata.
Tapi jika menyangkut penyakit, gula malah yang pertama dituding jadi biang kerok. Penyakit gula darah, kencing manis, menjadikan gula jadi pelaku utama. Meski begitu, gula tetap ikhlas mendampingi, tanpa sedikitpun mengeluh. Sebuah keikhlasan yang sulit untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Andai filosofi gula dan bisa jadi acuan kehidupan sehari-hari. Tidak akan ada berita Adipati ditangkap korupsi. Tak ada lagi penguasa yang lakukan pungli atau bahkan meminta setoran upeti. Karena yang ada adalah ikhlas mengabdi. Akan tetapi yang saat ini marak terjadi. Pungli menjadi budaya, Upeti jadi tradisi. Para pelaku korupsi beranggapan uang yang dikeluarkan untuk bisa menduduki kursi saat ini, dihitung sebagai modal yang harus kembali. Bahkan harus lebih. Jabatan tak lagi amanah, tapi bisnis semata.
Motor butut Cak Besut telah berada dibawah pohon nangka samping warung Rusmini. Memaksa lamunannya kembali ke alam sadar. Dengan berjalan pincang, Cak Besut menuju balai bambu kesayangan Cak Besut dan karibnya menghabiskan waktu.
“Wes penak ta Cak ? Ojo dipekso mlaku, mestine gawe nen istirahat total,” cerocos Man Gondo yang sudah sejak tadi jagongan bareng Lek Sumo.
“Yu Rus, kopi biasane,” sedikit suara keras Cak Besut tanpa menghiraukan Man Gondo. Ia pun menselonjorkan kedua kakinya yang masih nampak bengkak disamping Lek Sumo.
“Asline yo jek loro, tapi aku lek suwi-suwi nang omah malah gak iso waras, iso-iso diamputasi barang,” ujar Cak Besut membuka obrolan.
Kedua temannya langsung mengernyitkan kening, tanpa dikomando mereka serempak bertanya ke Cak Besut tentang sakit yang dialami.
“Loro ne biasa, tapi lek aku kesuwen nang omah, iso-iso kebongkar kabeh, wurung waras, sikil ku seng loro malah ditutuki panci opo gak malah nemen terus diamputasi. Makane masio loro ne yok opo, jam-jam tertentu aku kudu metu teko omah ben gak konangan kabeh, cengir Cak Besut.
“Ouw wong koplak,” sungut kedua karibnya serentak.
“Ojo ngreken Cak Besut, wong rodo’…kok direken,” sela Rusmini sembari menyuguhkan kopi kehadapan Cak Besut.
Keempatnya pun tertawa bebarengan. Bentuk keikhlasan yang tak diperoleh dengan kekayaan. Sambil nyruput kopi ala Rusmini, jare Cak Besut :
Iwak Sepat dekek nang gelas
Gawe hiasan pinggir kursi
Dadi pejabat kudu seng ikhlas
Ben gak sampek melok korupsi
* Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.