Kerkait Kasus Penganiyaan Santri Hingga Tewas di Mojokerto, Pihak Ponpes Merasa Kecolongan
MOJOKERTO, FaktualNews.co – Pengurus Pondok Pesantren (Ponpes) Mamba’ul Ulum Desa Awang-awang, Kecamatan Mojosari, Mojokerto meras kecolongan atas kasus penganiyaan hingga tewas yang menimpa santri AR (16).
Melalui kuasa hukumnya, Ponpes Mamba’ul Ulum, Agus Sholahuddin mengatakan, selama 60 tahun Ponpes Mamba’ul Ulum berdiri tidak pernah ada hal semacam ini. Apalagi soal kekerasa hingga meninggal dunia.
Selama ini, pihak pondok telah mengawasi dengan ketat setiap aktifitas para santri. “Selama ini pengurus pondok maupun asatidz (orang yang dituakan di pondok) selalu mengawasi. Namanya manusia ada sisi lelah, yang jelas kita pasrahkan semua kepada pihak kepolisian,” ungkapnya.
Selama terdapat santri yang melakukan kesalahan atau melanggar tata tertib Pondok Pesantren, tidak pernah ada ta’zir (hukuman) yang sampai menjerumus pada kekerasan ” biasanya hanya dihukum bersih-bersih, mengaji hingga didenda uang,” tambahnya.
Menurut Agus, WN (tersangka) selama berada di pondok hanya sebagai ketua kamar. Kewenangannya hanya mengontrol kebersihan kamar hingga mengatur jadwal. Tidak sampai diberi kewenagan untuk memberikan hukuman.
Hanya saja pada saat itu, dimugkinkan pelaku tidak dapat mengontrol emoasi. “Sama-sama mudanya, sehingga tak mampu mengontrol emosi, dan kita juga mengakui telah lalai dalam melakukan pengawasan,” jelasnya.
Sesuai dengan hasil BPA, lanjut Agus, tidak ada unsur apapun dalam kejadian ini, termasuk dendam pribadi.
Melihat dari hasil olah rekontruksi ulang yang dilakukan oleh pihak kepolisian pada Sabtu (24/08/19) siang. Sebelum menendang dan memukul, pelaku sempat menanyai korban soal pelanggaran yang dilakukan.
Artinya, korban ini keluar tanpa seizin pengurus. WN mencoba mengigatkan. Namun karena jengkel dan tak bisa menahan emosi terjadilah aksi penganiayaan tersebut.
“Dalam reka ulang, pelaku ini membangunkan korban, kemugkinan jengkel sehingga terjadilah insiden tersebut,” tambahnya.
Sebelumnya, Pengurus Pondok Putra PP Mamb’aul Ulum, Mahfudin Akbar alias Gus Didin (33) mengatakan, pernyataan yang dilontarkan Fadilah saat itu berdasarkan keterangan dari WN.
Menurut dia, Fadilah sempat menanyai santri asal Kecamatan Pacet, Mojokerto itu di depan IGD RSUD Prof Dr Soekandar, Mojosari, Mojokerto pada Selasa (20/8/2019) dini hari.
“Mungkin karena WN takut, makanya bilang ke Ning Fadilah, bahwa AR jatuh dari lantai dua asrama santri. Saya saat itu juga ketemu WN, tapi saya tidak sempat menanyai dia,” ungkapnya.
Ia mengaku mendapatkan kabar korban berada di rumah sakit dari seorang ustad. Pasca penganiayaan terjadi, korban terluka parah dibawa WN dan temannya ke RSUD tanpa melapor ke pengurus pondok.
“Di tambah WN ini masih di bawah umur, sehingga tidak bisa mengurus administrasi di RSUD. Dan akhirnya dia kembali ke pondok membangunkan ustad, lalu ustadnya ngabari saya sekitar pukul 04.00 WIB,” ujarnya.
Melihat kondisi AR terluka parah, Gus Didin mengaku fokus pada penyembuhan korban. Saat korban tewas di RSI Sakinah sekitar pukul 12.00 WIB, dia masih disibukkan urusan pemakaman jenazah. Sehingga dia mengaku tak sempat mengorek keterangan lebih dalam terkait luka yang dialami AR.
Pengurus pondok memilih memasrahkan semua kepada pihak kepolisian, dan meminta maaf atas pernyataan yang kurang benar.
“Proses hukumnya kami ikuti, pesantren hanya mendamaikan keluarga korban dan pelaku, biar AR tenang. Biaya rumah sakit dan pemakaman sudah difasilitasi pondok,” tandasnya.