Diperkosa dan Diperjualbelikan, Begini Pahitnya Hidup Hayfa Adi Korban Penculikan ISIS
SURABAYA, Faktualnews.co – Hayfa Adi, satu dari perempuan Yazidi yang memiliki pengalaman traumatik dengan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Kelamnya perlakuan yang dia terima tak mencerminkan keindahan kata Islam yang diusung kelompok pimpinan Abu Bakar Al-Baghdadi itu.
Dilansir dari laman NU Online, ketika usia Hayfa 17 tahun dia diculik kelompok ISIS di Irak Utara. Dia kemudian ditahan selama lebih dari dua tahun. Ia mengaku mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi dari ISIS. Ia dipukuli, diperkosa, dan dijual puluhan kali layaknya hewan ternak.
“Mereka membeli kami seolah-olah kami adalah domba. Persis seperti domba,” kata Hayfa, dikutip dari laman abc.net.au, Selasa (10/9/2019).
Hayfa menceritakan, ISIS menangkapnya ketika dirinya berada di rumahnya di Desa Kocho, Irak Utara bersama dengan suaminya, Ghazi Lalo, dan putra sulungnya. Ketika itu, dirinya tengah hamil tua.
“Saya sudah membuat makan siang dan kami siap makan. Sekitar tengah hari, ada yang mengetuk pintu. Paman suami saya berlari ke arah kami sambil berkata, ‘ISIS ada di Kocho’,” kenang Hayfa.
ISIS kemudian menawan 1.200 penduduk desa. Para laki-laki dilaporkan dibawa pergi dan ditembak mati. Sementara para perempuan Yazidi yang ditangkap ISIS dijadikan budak dan diperjualbelikan di antara anggota kelompok ISIS lainnya di Irak dan Suriah.
Dikatakannya, dirinya melakukan perlawanan kepada penawannya. Dia tidak mau membuka pakaiannya ketika hendak dijual. Oleh karenanya, dia kerap kali disiksa dan dipukuli.
“Saya menolak untuk menunjukkan tubuh saya kepada mereka. Kami harus menunjukkan tangan kami. (Berkulit) putih dianggap baik. Dan mereka akan melihat apakah rambut kami indah dan panjang,” ceritanya.
Hayfa juga mengaku diperkosa beberapa kali oleh militan ISIS. Ia takut kehilangan anaknya sehingga ia membiarkan dirinya dijamah militan ISIS agar nantinya dirinya bisa mendapatkan anaknya kembali.
“Mereka mengikat tangan dan kaki saya, menutup mata saya dan menyumbat mulut saya. Mereka memukul saya dan membuat saya terkunci di sebuah ruangan. Setelah itu saya membiarkan mereka tidur bersama saya supaya saya bisa mendapatkan anak saya kembali,” katanya.
Ia berhasil melarikan diri dari ISIS setelah mertuanya mengirim penyelundup manusia untuk membeli kebebasannya. Tahun lalu dia dan dua anaknya mendapatkan visa kemanusiaan dan tiba di Toowoomba, Queensland, Australia.
“Saya sangat nyaman di sini bersama anak-anak saya,” ucapnya.
Meski demikian, Hayfa masih diselimuti kesedihan yang mendalam. Pasalnya, suaminya, Ghazi Lalo, hingga saat ini belum diketahui keberadaan dan statusnya; apakah masih hidup atau sudah mati.
Hayfa menyebut, anak pertamanya terus menanyakan keberadaan ayahnya. Sementara anak keduanya yang lahir di kamp ISIS tidak pernah mengetahui atau bertemu ayahnya. “Saya sangat takut suami saya ada di antara mereka yang mati, bahwa semua pria mati. Hati saya pilu,” katanya.