PROBOLINGGO, FaktualNews.co – Sudah hampir 20 hari, mulai Jumat (13/9/2019) lalu, H Basarudin (60) menghabiskan waktunya di dalam rumah bersama Hj Supriatin (47) istrinya. Pasangan suami istri (Pasutri) tersebut, tidak lagi beraktivitas di toko bangunannya. Lantaran tokonya disegel alias ditutup pagar sesek bambu.
Sederetan bangunan yang ditempati toko dan gudang, di jalan raya KH Hasan Genggong atau Jalan Lumajang, Kelurahan Kedungasem, Kecamatan Wonoasih, Kota Probolinggo, tampak sepi. Toko yang menjual bahan bangunan itu, tidak ada aktifitas sama sekali, karena ditutup pagar sesek bambu. Sehingga pembeli atau siapapun tidak bisa masuk.
Jika melihat kondisinya, sesek bambu itu sudah agak lama dipasang. Kata H Basarudin, toko dan gudangnya ditutup pada Jumat (13/9) bulan lalu, saat dipagar oleh salah satu ahli warisnya yang mengaku mengantongi sertifikat. Padahal, tanah atau pekarangan sisi selatan, sebagian sudah dibeli, dan sebagian lagi disewa ke ahli waris.
Disebutkan, ahli waris yang memagari atau menyegel tokonya adalah putra dari Mistanum. Sedang Basarudin mengaku, membeli tanah kepada anak Dul Mukti. Sedang anak Mistanum, lanjut Basarudin, mengantongi sertifikat program Prona.
“Ya, punya sertifikat. Saya lihat sertifikat Pronanya. Saya juga punya sertifikat. Ya, di lahan yang sama. 10 tahun yang lalu terbitnya,” katanya, Rabu (2/10/2019) siang.
Atas tindakan pemagaran tersebut, ia kemudian melapor ke Lurah setempat. Dirasa tidak ada tanggapan, Basarudin kemudian melapor ke Camat Wonoasih. Karena bernasib sama, tidak ada tindak lanjut, tiga hari kemudian melapor ke Polsek. Oleh Polsek, ia diminta untuk melapor ke Polresta.
“Sudah, saya sudah laporan ke Polresta. Belum dapat bukti laporan,” tandasnya.
Basarudin mengaku sudah dua kali ke Polresta, namun hingga kini laporannya tak berujung pangkal. Bahkan, di Mapolresta, ia sempat berpapasan dengan ahli waris yang dilaporkan. Karenanya, ia diminta menunggu di luar.
“Yang bersangkutan ada di dalam ruangan. Mungkin dimintai keterangan. Saya disuruh nunggu di luar. Tapi mana tindak lanjutnya,” ujarnya.
Saat laporan pertama, Basarudin dari ruang Sentra Pelayanagan Kepolisian Terpadu (SKPT) langsung dibawa ke ruangan Kanit II dan ditanya-tanya seputar permasalahan yang dilaporkan. Beberapa hari kemudian, ia diminta untuk datang ke Mapolresta. Agendanya sama, menjawab pertanyaan yang dilontarkan penyidik.
“Karena nggak ada kabar beritanya, saya nanya. Ternyata saya 2 kali ke Mapolresta itu, bukan
laporan. Katanya, aduan,” tambahnya.
Sebagai orang awam, Basarudin tidak bisa membedakan pengaduan dan laporan. Yang jelas, menurutnya, ia telah melaporkan kasus yang membelitnya, namun hingga kini belum ada tindakan yang nyata dari Polresta.
“Memang saya disuruh membuka pagar yang menutupi toko saya. Kami tidak berani khawatir ada sesuatu. Harusnya, kami kan dikawal atau ditemani petugas,” katanya kecewa.
Saat ditanya kerugian, Basarudin menjawab setiap hari rata-rata membawa pulang Rp 3 juta. Jika dikalikan 20 hari, maka dirinya merugi sekitar Rp 60 juta. Karenanya, ia berharap Pemkot ataupun Polresta, segera menyelesaikan kasus yang membelitnya.
“Buktinya, semua jalur sudah kami tempuh. Tapi kenyataannya, nggak ada yang jalan,” katanya.