JAKARTA, FaktualNews.co – Menteri Agama Fachrul Razi menyebut hampir setengah masyarakat Indonesia memiliki minat yang tinggi untuk mencari pemahaman dan pengetahuan agama di media sosial. Demikian dilansir Anadolu Agency, Rabu (13/11/2019).
Mengutip laporan indeks desiminasi media sosial yang diterbitkan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) tahun 2019, kata Fachrul Razi, masyarakat Indonesia yang gemar mencari informasi mengenai keberadaan tuhan mencapai angka 43,91.
Dia mengatakan dengan indeks tertinggi mencapai 100, sebanyak 40,31 masyarakat Indonesia mencari informasi mengenai sifat dan kuasa tuhan.
Sementara sebanyak 36,72 masyarakat Indonesia mencari informasi tentang kisah hidup orang suci dan 9,89 lainnya mencari dan menyebarkan konten tentang agama.
“Dari data-data disebutkan di atas, maka kita dapat menyimpulkan bahwa hampir dari setengah total masyarakat Indonesia menggunakan medsos untuk melakukan interaksi dengan orang lain dan untuk mencari informasi tentang persoalan kehidupan termasuk masalah agama,” kata Fachrul Razi di Sentul, Jawa Barat pada Rabu (13/11/2019).
Dengan fasilitas internet ini, kata dia, masyarakat cenderung menganggap otoritas agama seperti guru agama tradisional dan ulama hanya meurpakan pilihan alternatif.
“Berbeda dengan generasi sebelumnya yang sangat taat kepada fatwa kepala otoritasnya, Ya pada saat kita dulu kalau dikatakan oleh ustadz, pasti taat tidak ada pilihan lain. Tapi sekarang berbeda,” jelas dia.
Dia menambahkan masyarakat saat ini lebih fokus pada kebutuhan individual, personal dan sangat kritis, terhadap nilai-nilai keagamaan tradisional.
“Mereka memang masih terbiasa untuk mempersoalkan segala sesuatu tentang apa yang baik dan tidak baik menurut agama dengan otoritas keagamaan yang ada tapi ketika dahaga keagamaan mereka tidak terpenuhi, mereka mencari otoritas yang lain, yang diperoleh secara online.,” jelas dia.
Hal itu, kata Fachrul Razi, menyebabkan masyarakat menjadi mandiri dan tidak fokus dengan otoritas keagamaan tradisional tertentu serta otoritas keagamaan yang lain secara global.
“Sering kali kita mendegarkan tafsir-tafsir agama mainstream dikalahkan oleh pilihan-pilhan personal bersimber dari yang bukan otoritas tapi mungkin demi memenuhi akal sehat mereka,” jelas dia.
Akibatnya kebenaran tidak menjadi tunggal, tapi beragam dan konten-konten keagamaan yang radikal dan ekstrim menjadi mudah dikonsumsi tanpa ada konsultasi dengan otoritas keagamaan tradisional atau mainstream yang ada, tambah dia.
“Pemikiran keagamaan sebagian besar kita, cenderung intoleran dan mudah terpapar ideologi radikal ekstrem atau sebaliknya jadi super toleran yang mengganggu sendi beragama,” pungkas dia.
Dari latar belakang kondisi ini, pemerintah dan otoritas formal menurut Rachrul Razi perlu mengembangkan strategi komunikasi, terutama komunikasi kepada generasi milenial yang lebih rentan terhadap ideologi radikalisme.
“Diperlukan langkah menerjemahkan materi atau muatan yang fundamental dari tokoh agama, budayawan, dan akademisi menjasi konten dan kajian yang lebih mudah dipahami generasi muda milenial tanpa kehilangan bobot isinya, serta masuk akal sehat mereka dan sebanyak mungkin dikapitalisasi di medsos,” kata dia.
Kementerian Agama, kata Fachrul Razi, akan mengambil langkah mengembangkan gerakan literasi keagamaan di kalangan milenial yang bertujuan memperkuat keberagaman yang moderat.