Maroko Resmikan Museum Persahabatan Umat Yahudi dan Muslim
RABAT, FaktualNews.co – Atas perintah Raja Mohammed VI, sebuah monumen persahabatan umat Yahudi dan muslim dibangun di kota Essaouira, Maroko. Museum tersebut menyimpan jejak panjang kiprah warga Yahudi di jantung kerajaan Islam. Demikian dilansir DW Indonesia, Rabu (22/1/2020).
Berhimpitan di antara rumah warga di jantung labirin kota tua, museum persahabatan itu didirikan di bekas rumah seorang saudagar kaya yang membangun sinagoge kecil di kediamannya sendiri. Rumah ibadah itu berhias ukiran kayu dan mebel tradisional khas lokal.
Gedung ini “menjadi saksi sebuah periode, di mana Islam dan Yahudi membina kedekatan yang intim,” kata Andre Azoulay, salah seorang penasehat Raja Mohammed VI. Dia sendiri berasal dari minoritas Yahudi di Essaouira. Bersama Kementerian Kebudayaan, Azoulay menggagas proyek pembangunan museum tersebut.
“Kami katakan kepada kami sendiri, kami akan melanjutkan tradisi ini dan melindungi apa yang pernah menjadi cara hidup bersama dengan saling menghormati,” imbuhnya.
Sang raja sendiri menyempatkan hadir pada upacara pembukaan.
Bayt Dakira menampung berbagai benda bersejarah yang disumbangkan oleh keluarga-keluarga lokal, dan bercerita mengenai sejarah komunitas Yahudi di kota kecil di tepi Samudera Atlantik itu.
Salah satunya adalah tokoh dunia yang lahir di Essouira, antara lain Leslie Belisha (1893-1957) yang pernah menjabat Menteri Keuangan, Transportasi dan Perang di Inggris. Atau David Yulee Levy (1810-1886) yang bermigrasi ke AS dan mencatatkan diri sebagai warga Yahudi pertama “yang terpilih untuk jabatan publik dalam sejarah Amerika Serikat.”
Museum ini juga menyimpan koleksi fotografi, video, rekaman musik, baju tradisional dan obyek keagamaan. Sementara di lantai kedua Bayt Dakira mengelola pusat penelitian.
Adalah Raja Hassan II, ayah Mohammad VI, yang mengangkat derajat minoritas Yahudi di Maroko. Pada 1991 dia menunjuk sejumlah tokoh Yahudi untuk menjadi penasehat kerajaan, termasuk di antaranya Azoulay.
Kota Essouira sendiri menyimpan sejarah panjang peradaban Yahudi di utara Afrika. Pada abad ke18, kota ini diubah oleh Sultan Mohamed II menjadi pusat perdagangan dan diplomasi bagi Maroko. Saat itu Essaouira adalah “satu-satunya kota di dunia Islam yang dihuni oleh mayoritas umat Yahudi,” kata penasehat berusia 78 tahun tersebut.
Azoulay ingin memanfaatkan sejarah kota untuk melawan apa yang dia sebut sebagai “amnesia, regresi dan arkaisme.” Dulu Essaouira memiliki 37 Sinagoga di berbagai sudut kota. Namun kini kebanyakan sudah menghilang.
Kaum Yahudi sudah berjejak di Maroko sejak era Kartago Kuno. Populasi mereka baru berlipatganda ketika kaum Yahudi diusir oleh raja Katholik Spanyol pada 1492. Di penghujung dekade 1940-an, jumlah warga Yahudi di Maroko mencapai 250.000 jiwa, atau sekitar 10% dari total populasi.
Kebanyakan bermigrasi menyusul pembentukan negara Israel pada 1948. Namun meski hanya tersisa sekitar 3.000 orang, komunitas Yahudi di Maroko tetap merupakan yang terbesar di Afrika Utara.
Essaouira cenderung dilupakan pada era kolonialisme Perancis (1912-1956). Baru sejak 1990-an kota ini kembali berkembang menyusul geliat pariwisata dan kebudayaan.
Uniknya, Kerajaan Maroko tidak hanya membangun museum, tetapi juga memugar berbagai situs peninggalan Yahudi seperti pemakaman, sinagoge dan pemukiman tua yang terdapat di pusat kota. Museum serupa sudah berdiri sejak 1997 di kota Casablanca. Sementara di Fez, tugu peringatan Yahudi sedang dibangun.