Antisipasi Wabah Corona, Berbagai Alternatif Cara Salat Jumat
JOMBANG, FaktualNews.co – Lembaga Takmir Masjid (LTM) Nahdlatul Ulama (NU) Jombang, memperbolehkan sebuah lembaga pendidikan atau di masyarakat umum untuk membagi tempat khusus saat ibadah salat Jumat, sesuai kelompok masing-masing.
Seperti kelompok santri dan masyarakat umum. Kebijakan ini untuk antisipasi penyebaran wabah corona. Dalam bahasa mudahnya yaitu membuat shaf khusus santri dan shaf khusus masyarakat umum.
Hal ini dijelaskan Ketua LTM PCNU Jombang, Moh Makmun kepada FaktualNews.co, Jumat (20/3/2020).
Makmun menggambarkan, sebuah pondok pesantren boleh memisahkan barisan dalam salat antara santri dan masyarakat umum.
Praktisnya, lantai satu dan dua masjid digunakan untuk semua santri internal pesantren. Lalu khusus masyarakat disediakan terop, karpet atau terpal di sekitar masjid.
Kebolehan ini berdasarkan dasar kaidah
دفع المفاسد مقدم على جلب المصالح “
yang artinya kemafsadatan didahulukan daripada meraih kemaslahatan” dan juga رفع المضار مقدم على جلب المنافع “Menolak bahaya didahulukan daripada mengambil manfaat”.
Berdasarkan kaidah di atas maka boleh saja sebuah lembaga yang memiliki masjid di dalam lingkungan instansi untuk memisahkan para jamaah. Namun pimpinan sebaiknya sudah mempertimbangkan dengan seksama.
“Tujuannya adalah menjaga agar tidak terjadi penyebaran wabah penyakit yang sedang berkembang maka boleh. Langkah tersebut dilakukan untuk hifdz nafs atau menjaga jiwa yang menjadi prioritas yang harus dijaga. Ini masuk dalam maqosidul syariat,” katanya, Jumat (20/3/2020).
Lebih lanjut ia menjelaskan salat Jumat bisa diganti salat Dzuhur bila suatu hari nanti lembaga pendidikan seperti pesantren yang memiliki masjid menutup lembaganya untuk salat jumat. Bisa juga saat pemerintah setempat menutup masjid untuk salat Jumat.
Hanya saja, harus ada syarat tertentu sebelum mengganti salat Jumat ke Dzuhur. Syaratnya yaitu saat seseorang sakit, ketika dalam perjalanan dan ketika ada wabah penyakit atau bencana alam.
Ia mengisahkan, pada zaman Rasulullah pernah ada anjuran untuk salat Jumat di rumah. Bahkan adzannya di ganti. adzan tersebut hanya berlaku pada kondisi tertentu. Hal ini berdasarkan beberapa dalil antara lain:
أَنَّهُ نَادَى بِالصَّلاَةِ فِى لَيْلَةٍ ذَاتِ بَرْدٍ وَرِيحٍ وَمَطَرٍ فَقَالَ فِى آخِرِ نِدَائِهِ أَلاَ صَلُّوا فِى رِحَالِكُمْ أَلاَ صَلُّوا فِى الرِّحَالِ. ثُمَّ قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَأْمُرُ الْمُؤَذِّنَ إِذَا كَانَتْ لَيْلَةٌ بَارِدَةٌ أَوْ ذَاتُ مَطَرٍ فِى السَّفَرِ أَنْ يَقُولَ أَلاَ صَلُّوا فِى رِحَالِكُمْ.
Ibnu Umar pernah adzan untuk salat di malam yang dingin, anginnya kencang disertai hujan, kemudian dia mengucapkan “ألاَ صَلُّوا فِى رِحَالِكُمْ أَلاَ صَلُّوا فِى الرِّحَالِ”(shalatlah di rumah kalian, salatlah di rumah kalian) di akhir adzan.
Kemudian ia mengatakan, ”Sesungguhnya Rasulullah SAW biasa menyuruh muadzin, apabila cuaca malam dingin dan hujan lebat pada saat beliau safar untuk mengucapkan, “ألاَ صَلُّوا فِى رِحَالِكُمْ” (shalatlah di rumah kalian masing-masing). Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Muslim.
Dalam hadis yang diriwayatkan dari Abdullah bin al-Haris bercerita, suatu hari Ibn Abbas pernah berkhutbah/berpesan di hadapan jamaah dan pada hari itu turun hujan.
Maka ia memerintahkan muadzin ketika sampai bacaan “حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ”, diganti ucapan “الصَّلَاةُ فِي الرِّحَالِ” (shalatlah di rumah kalian), maka orang-orang saling berpandangan seakan mereka meningkarinya atau tidak percaya Ibnu Abbas.
Lalu Ibn Abbas berkata, “seakan kalian mengingkari (ucapanku) ini. Sesungguhnya hal teersebut pernah dilakukan oleh orang yang lebih baik dariku, yaitu Nabi SAW. Sesunggunya, salat jumat adalah kewajiban, namun aku tidak suka membuat kalian merasa susah (jika harus mendatangi masjid saat hujan turun)”.
Lebih lanjutnya, lafadz الصَّلَاةُ فِي الرِّحَالِ boleh dikumandangkan menggantikan lafadz حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ dan boleh juga dikumandangkan di akhir adzan. Kedua tempat tersebut mengacu kisah Ibnu Abbas ini.
“Adzan yang demikian, hanya berlaku dalam keadaan darurat yang disebabkan oleh faktor alam, seperti hujan deras disertai angin, banjir, bencana alam, maupun adanya wabah penyakit yang penularannya melalui kontak langsung dalam interaksi yang melibatkan banyak orang. Tapi intinya, adzan untuk salat jamaah tapi dalam hal tertentu boleh diganti salat di rumah masing-masing,” bebernya.
Selain mengganti salat Jumat ke salat Dzuhur, salat Jumat juga boleh dilakukan dalam jumlah jamaah kecil. Yaitu dibawah angka 40 orang sebagaimana umumnya di Indonesia.
Angka 40 orang dalam salat Jumat disandarkan pada pendapat Imam Syafi’i dan Imam Ahmad. Namun menurut Imam Malik, jumlah jamaah boleh kurang dari 40. Jumlah minimal tersebut sekiranya seseorang bisa membuat satu kampung (tataqarra biha qaryatan).
Karena salah satu syarat lain dari salat jumat adalah jamaah yang mustawthin (berdomisili di tempat tersebut) maka oleh Imam Malik, jumlah minimal jamaah ini sekiranya bisa menjadikan satu domisili kampung yang representatif.
Sedangkan dalam kondisi darurat, diperbolehlan meskipun kurang dari 40 sebagaimana kaidah fiqh
الضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ المحْظُوْرَات
“Keadaan darurat membolehkan suatu yang terlarang”
“Namun kondisi yang demikian tidak boleh dijadikan permanen. Ketika keadaan sudah normal dan stabil, maka kembali pada salat jumat seperti biasa,” ujarnya.
Secara khusus Makmun menyarankan kepada masyarakat dan pesantren untuk tetap melaksanakan salat Jumat selama belum ada yang positif suspect virus covid-19 di daerah tersebut.
Maka diharapkan takmir masjid tetap menyelenggarakan salat Jumat dan salat jama’ah. Namun jika sudah ada jamaah yang positif terkena virus tersebut, maka untuk sementara waktu aktivitas salat Jumat dan jamaah dinon aktifkan sampai dinyatakan aman.
“Kita sudah lakukan himbauan ke masjid-masjid untuk tetap salat jumat jika masih aman,” tandasnya.