Anggap Sekda Terapkan Komunikasi Satu Arah
Pemdes Kepatihan Tolak Skema Bantuan Dampak Covid-19 dari Pemkab Jombang
JOMBANG, FaktualNews.co-Pemerintah Desa (Pemdes) di Kecamatan Jombang Kota, Kabupaten Jombang, mengeluhkan pola komunikasi yang diterapkan Sekretaris Daerah (Sekda) Jombang, A Jazuli, dengan pemdes, terkait penyaluran bantuan bagi warga terdampak Covid-19.
Kepala Desa Kepatihan Kecamatan Jombang Kota, Erwin Pribadi menyebutkan, komunikasi Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jombang dengan pemdes berjalan satu arah.
Pemdes, kata Erwin, hanya diminta menjalankan instruksi dari atas tanpa melihat fakta di lapangan. Usulan terkait skema bantuan pun ditolak mentah-mentah.
Ia mencontohkan dalam penentuan pemberian bantuan kepada masyarakat. Saat ini ada tiga jenis bantuan untuk masyarakat. Dua dari pemerintah pusat dan satu dari pemerintah daerah.
Dari pusat bantuan berupa Program Keluarga Harapan (PKH), BPNT (Bantuan Pangan Non Tunai) dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) dari Dana Desa (DD).
Bantuan dari pusat, untuk setiap penerima mendapat Rp 600 ribu. Ini jauh berbeda dengan bantuan yang diberikan Pemkab Jombang yang hanya Rp 200 hingga Rp 300 ribu per penerima.
Bahkan jumlah ini bisa berkurang bila data yang masuk cukup banyak. Ketimpangan jumlah bantuan yang cukup tajam ini mulai menimbulkan masalah di masyarakat. Saling iri dan dengki.
“Tidak pernah dibuka komunikasi dua arah. Mereka (Pemkab) menolak usulan dari bawah. Kita sudah usulkan ke camat agar bantuan dari pemkab dipadukan dengan dari Dana Desa (DD) dalam bentuk sembako, sehingga nilainya agak besar. Tapi ditolak sekda. Alasannya, menimbulkan kecemburuan sosial,” jelasnya kepada FaktualNews.co, Rabu (15/4/2020).
Menurut Erwin, alasan sekda Jombang ini tidak melihat fakta di lapangan. Masyarakat desa tidak mau tahu apakah dana itu dari pusat atau daerah.
Mereka hanya ingin dana yang diterima itu sama. Jika Rp 600 maka semua harus Rp 600. Jika ada perbedaan, sergah Erwin, akan ada kekacauan saat pembagian dananya nanti. Bahkan bisa dikira pilih kasih.
Oleh karenanya, Erwin menawarkan untuk BLT yang dari DD, digabung dengan bantuan Pemkab Jombang. BLT dari DD bisa berbentuk uang tunai atau sembako. Ini bisa membuat nilai bantuan lebih tinggi dan penyebarannya lebih luas.
“Pemkab harus melihat realita di bawah. Saya memohon kepada bupati dan sekda tolong lihat keadaan di bawah. Kita dipaksa mengikuti pemkab. Tapi kalau begini caranya, pemerintah desa yang disalahkan masyarakat,” tegasnya.
Menyikapi ketentuan BLT dari Kementerian Desa dan Daerah Tertinggal RI yang harus senilai Rp 600 per penerima, dikhawatirkan tidak semua warga mendapatkannya.
Nah, yang tidak mendapat BLT ini kemudian diberikan uang dari Pemkab Jombang dengan nilai Rp 200-Rp 300 ribu per penerima. Ini hampir dapat dipastikan memicu gelombang protes, karena selisihnya dengan nominal BLT cukup besar.
Menurut Erwin pemerintah pusat menyebutkan, DD yang kurang dari Rp 800 juta dipotong 10-15 persen untuk BLT. Bila Rp 800-1 miliar maka dipotong 15-20 persen.
Sedangkan DD yang berjumlah Rp 1 M – Rp 1,2 M, dipotong 20-25 persen, ADD Rp 1,2 M – Rp 2 M dipotong 25-30 persen, dan di atas itu dipotong 30 – 35 persen.
“Tidak semua desa mengalami masalah yang sama terkait Covid-19. Tapi untuk Kecamatan Jombang Kota, paling terdampak. Hampir semuanya libur jualan. Saya ingin bertemu pimpinan Jombang bahas ini. Biar enak,” ujarnya.
Erwin secara tegas menolak membagikan bantuan jika Pemkab Jombang tetap memaksakan memakai skema pemberian bantuan yang ditentukan Pemkab.
Yakni, dalam bentuk BNPT dan PKH dari Kemensos RI Rp 600 ribu per penerima. Lalu BLT dari DD Rp 600 ribu, dan bantuan dari Pemkab Jombang hanya berkisar pada Rp 200 – 300 ribu.
Erwin akan meminta Pemkab Jombang sendiri yang membagikan bantuan.
“Kita akan bantu memberikan bantuan, kita fasilitasi tempat dengan syarat pemkab menjelaskan kenapa nilai bantuan berbeda-beda. Pemkab harus hadir saat pembagian,” tandasnya.