Ibadah Haji Pernah Ditiadakan, Ini Riwayat dan Alasannya
ARAB SAUDI, FaktualNews.co – Karena pandemi virus corona, bisa jadi pelaksanaan ibadah haji tahun 2020 ditiadakan. Jika iya, hal itu akan menambah daftar panjang absennya ibadah tahunan umat Islam tersebut.
Arab Saudi beberapa hari lalu menyerukan jemaah haji untuk menunda persiapan dan pemesanan perjalanan karena kekhawatiran akan pandemi virus corona.
Sekitar dua juta orang mengunjungi Mekkah untuk melakukan ibadah tahunan, yang tahun ini akan dimulai pada bulan Juli. Tetapi rencana itu belum dipastikan, mengingat Kerajaan Saudi telah mencatat 1.563 kasus virus corona dan 10 kematian.
Seperti banyak negara, Arab Saudi telah memberlakukan lockdown dan jam malam untuk membendung wabah. Masuk ke kota-kota suci Mekkah dan Madinah sangat dibatasi. Ibadah umrah pun dibatasi.
Muhammad Salih bin Taher Banten, menteri Haji dan Umrah, mengatakan kepada saluran TV Saudi, bahwa Muslim yang diharapkan untuk melakukan haji setidaknya satu kali dalam hidup mereka – harus “menunggu sebelum menyelesaikan kontrak”.
“Kami telah meminta saudara-saudara muslim kami di seluruh dunia untuk menunggu sebelum membuat kontrak sampai semuanya menjadi jelas,” kata Banten.
“Dalam keadaan saat ini, ketika kita berbicara tentang pandemi global, di mana kita telah meminta Tuhan untuk menyelamatkan kita, kerajaan ingin melindungi kesehatan umat Islam dan warga negara,” tambahnya.
Banten mengatakan, bahwa Kementerian Haji dan Umrah telah mengembalikan biaya visa Umrah ke agen perjalanan setelah kunjungan ke Mekkah ditangguhkan akhir Februari.
Meskipun haji telah dibatalkan beberapa kali selama berabad-abad, sejak berdirinya Kerajaan Arab Saudi pada tahun 1932, haji tidak pernah terlewat satu tahun pun, bahkan selama pandemi flu Spanyol 1917-18 yang menewaskan jutaan orang di seluruh dunia.
Jika Arab Saudi membatalkan haji tahun 2020, hal ini akan menambah daftar hampir 40 pembatalan dramatis sejak yang pertama di tahun 629. Middle East Eye melihat beberapa pembatalan paling mencolok dalam sejarah:
Tahun 865: Pembantaian di Gunung Arafah
Selama konfliknya dengan Kekhalifahan Abbasiyah yang berbasis di Baghdad, Ismail bin Yousef, yang dikenal sebagai Al-Safak, melancarkan serangan terhadap Gunung Arafah yang menghadap ke Mekkah pada tahun 865, dan membantai para peziarah di sana. Serangan itu memaksa haji dibatalkan.
Tahun 930: Serangan Qirmiti
Pada 930, Abu Taher al-Janabi, kepala sekte heterodoks Qirmiti yang berbasis di Bahrain, melancarkan serangan ke Mekkah.
Catatan sejarah mengatakan orang-orang Qirmiti membunuh 30.000 jamaah di kota suci dan membuang mayat-mayat di sumur suci Zamzam. Mereka juga menjarah Masjidil Haram dan mencuri Hajar Aswad dan membawanya ke pulau Bahrain.
Haji kemudian ditangguhkan selama satu dekade sampai Hajar Aswad dikembalikan ke Mekkah.
Orang-orang Qirmiti adalah sekte Syiah Ismailiyah yang percaya pada masyarakat egaliter dan menganggap ziarah sebagai ritual pagan.
Tahun 983: Kekhalifahan Abbasiyah dan Fatimiyah
Politik juga mengganggu haji. Pada 983 perselisihan politik antara penguasa dua kekhalifahan – Abbasiyah Irak dan Suriah dan Fatimiyah Mesir – menghalangi orang Muslim yang bepergian ke Mekkah untuk berziarah. Selama delapan tahun haji ditiadakan hingga dijalankan kembali tahun 991.
Tahun 1831: Wabah
Tidak hanya konflik dan pembantaian yang membatalkan ibadah haji. Tulah dari India menghantam Mekkah pada tahun 1831 dan menewaskan tiga perempat jamaah di sana, yang telah bertahan berminggu-minggu melakukan perjalanan melalui tanah berbahaya dan tandus untuk melakukan haji.
Tahun 1837-1858: Rangkaian epidemi
Dalam rentang hampir dua dekade, haji dihentikan tiga kali. Jamaah haji tidak dapat pergi ke Mekkah selama total tujuh tahun.
Pada tahun 1837, wabah lain menghantam kota suci itu. Sehingga ibadah haji ditunda sampai tahun 1840.
Kemudian pada tahun 1846 serangan kolera menghantam Mekkah, menewaskan lebih dari 15.000 orang, dan menjangkiti penghuninya hingga tahun 1850. Wabah kembali pada tahun 1865 dan 1883.
Pada 1858, pandemi kolera global lainnya tiba di kota itu, mendorong para peziarah Mesir untuk melarikan diri secara massal ke pantai Laut Merah Mesir, tempat mereka ditahan di karantina.