JEMBER, FaktualNews.co – Ratusan warga di sepanjang sungai Dusun Sumberejo, Desa Pondokrejo, Kecamatan Tempurejo, Kabupaten Jember beratahun-tahun harus menghirup bau menyengat akibat limbah cair pengolahan karet Pabrik PTPN XII Kebun Glantangan yang dibuang ke aliran sungai desa tersebut.
Aliran sungai itu nantinya bermuara di Sungai Mayang itu sehari-hari digunakan warga untuk mencuci pakaian dan mandi. Mayoritas warga di sana masih belum memiliki kamar mandi.
Meskipun pernah mengeluhkan kepada pabrik, nyatanya sampai sekarang limbah masih mengalir di sungai itu. Praktis sejak sekitar tahun 1983 sampai sekarang warga masih harus menghirup aroma tak sedap itu.
“Saya tinggal di sini sejak tahun 1983, dan pabrik itu (pengolahan karet PTPN XII Kebun Glantangan) sudah ada jauh bertahun-tahun sebelumnya. Terkait bau menyengat limbah karet sudah jadi hal umum selama ini,” kata salah seorang warga RT 01 RW 07 dusun setempat, Sidiq, Selasa (2/6/2020).
Sidiq mengatakan, untuk lokasi pembuangan limbah pengolahan karet itu ada dua titik aliran yang berjarak kurang lebih 50 meter dari rumahnya.
“Ya itu sudah, kelihatan bekas limbahnya, warna putih dan ada kayak lengket-lengket gitu. Itu bertahun-tahun sudah. Padahal sungai ini ya dibuat cuci-cuci, dan mandi, bahkan buang air, karena warga sini mayoritas belum punya toilet,” ujarnya mengeluh.
Limbah cair sisa pengolahan karet itu, katanya, setiap hari dialirkan begitu saja ke sungai. “Biasanya pagi-pagi sekali, terus sampai sore hari biasanya. Setahu saya kalau diolah limbahnya, tidak ada putih-putih dan baunya tidak menyengat gitu. Tapi ini jelas dibuang begitu saja,” tukasnya.
Aroma menyengat itu, lanjutnya, paling terasa saat musim kemarau. “Sampai bernapas pun kalau kemarau. Kalau kayak sekarang musim hujan gini, gak begitu bau. Tapi ya tiap hari saya rasakan juga sama dengan yang dialami warga lainnya. Mau pindah rumah ya tidak mungkin juga,” ucapnya.
Senada dengan Sidiq, warga lainnya Mathari juga mengeluh dengan dampak limbah pengolahan karet yang dibuang begitu saja di sungai itu.
“Masyarakat takut mau protes, karena kan perusahaan besar BUMN. Pernah saat itu laporan, manager yang dulu pernah meninjau. Tapi tidak ada tindak lanjut sampai sekarang. Padahal warga sangat terdampak,” ungkapnya.
Mathari berharap ada perhatian dan harusnya limbah bekas pengolahan karet itu benar-benar dikelola dengan baik.
“Kalau ada yang mandi, pasti ada yang gatal, karena mungkin bahan kimianya itu. Tapi bagaimana lagi, selama ini hanya bisa pasrah. Semoga setelah ini ada perhatian,” tandasnya.
Pantauan wartawan di lokasi, aroma bau menyengat terasa kurang lebih 80 meter sebelum sampai di lokasi. Bahkan aliran sungai di wilayah setempat itu, berwarna putih susu , dan juga menyisakan endapan yang agak lengket serta berbau menyengat.
Menyikapi keluhan itu, Ketua LSM Lingkungan Kuda Putih, Slamet Riyadi, mengambil sampel limbah untuk dibawa ke laboratorium.
“Nanti akan kami tes lab (laboratorium, red) untuk mengetahui sejauh mana bahaya limbah pengolahan karet ini. Apalagi persoalan ini sudah bertahun-tahun dan dirasakan warga sekitar,” kata Slamet, dikonfirmasi terpisah.
Slamet menjelaskan, harusnya ada Instalasai Pembuangan Limbah (IPAL) yang bentuknya kolam, dan ada ikannya.
“Yang benar harusnya begitu. Karena nantinya ikan yang hidup, akan menjadi indikator apakah air sisa pengolahan limbah aman. Sehingga setelah itu baru dialirkan ke sungai untuk membuangnya,” Jelasnya.
Tapi dari temuan yang diketahuinya di aliran sungai tersebut, material masih berbentuk limbah langsung belum diolah atau dinetralkan.
“Saya pas ambil sampel limbahnya langsung itu, tangan terasa gatal. Dugaan saya ada bahan kimianya dan limbahnya tidak diolah dengan benar. Nanti untuk memastikan akan saya labknya hasil sampelnya itu,” pangkasnya.