SURABAYA, FaktualNews.co – Tradisi berkurban untuk orang tua dan kerabat yang sudah meninggal dunia biasa kita dapati di lingkungan kita. Lalu mana yang harus kita dahulukan, berkurban untuk diri sendiri atau orang tua yang sudah meninggal?
M. Ali Zainal Abidin, pengajar di Pondok Pesantren Annuriyyah, Kaliwining, Rambipuji, Jember memberi ulasan menarik soal itu di NU Online. Menurutnya, para ulama berbeda pendapat mengenai keabsahan berkurban untuk orang yang telah meninggal ketika mayit (orang mati) sebelumnya tidak berwasiat pada keluarga ketika masih hidup.
Menurut pandangan mazhab Syafi’I, berkurban yang ditujukan untuk orang yang telah meninggal ketika tidak berwasiat dianggap tidak sah dan pahala tidak sampai kepada orang yang telah meninggal tersebut.
Sedangkan menurut tiga mazhab yang lain, yakni Hanafi, Maliki, dan Hanbali, berkurban untuk orang yang telah meninggal ketika tidak berwasiat dianggap sah dan pahala sampai pada mayit, sebab kematian bukanlah penghalang bagi orang lain untuk menujukan pahala ibadah atas orang yang telah meninggal tersebut, seperti dalam permasalahan haji dan sedekah.
Penjelasan mengenai hal ini terangkum dalam kitab Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwatiyyah:
إِذَا أَوْصَى الْمَيِّتُ بِالتَّضْحِيَةِ عَنْهُ، أَوْ وَقَفَ وَقْفًا لِذَلِكَ جَازَ بِالاِتِّفَاقِ. فَإِنْ كَانَتْ وَاجِبَةً بِالنَّذْرِ وَغَيْرِهِ وَجَبَ عَلَى الْوَارِثِ إِنْفَاذُ ذَلِكَ. أَمَّا إِذَا لَمْ يُوصِ بِهَا فَأَرَادَ الْوَارِثُ أَوْ غَيْرُهُ أَنْ يُضَحِّيَ عَنْهُ مِنْ مَال نَفْسِهِ، فَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ وَالْمَالِكِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ إِلَى جَوَازِ التَّضْحِيَةِ عَنْهُ، إِلاَّ أَنَّ الْمَالِكِيَّةَ أَجَازُوا ذَلِكَ مَعَ الْكَرَاهَةِ. وَإِنَّمَا أَجَازُوهُ لِأَنَّ الْمَوْتَ لاَ يَمْنَعُ التَّقَرُّبَ عَنِ الْمَيِّتِ كَمَا فِي الصَّدَقَةِ وَالْحَجِّ
“Adapun jika (orang yang telah meninggal dunia) belum pernah berwasiat untuk dikurbani kemudian ahli waris atau orang lain mengurbani orang yang telah meninggal dunia tersebut dari hartanya sendiri maka mazhab Hanafii, Maliki, dan Hanbali memperbolehkannya. Hanya saja menurut mazhab Maliki boleh tetapi makruh. Alasan mereka adalah karena kematian tidak bisa menghalangi orang yang meninggal dunia untuk ber-taqarrub kepada Allah sebagaimana dalam sedekah dan ibadah haji” (Wizarah al-Awqaf wa asy-Syu`un al-Islamiyyah-Kuwait, Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwatiyyah, [Beirut: Dar as-Salasil], juz, 5, hal. 106-107).
Lantas, manakah yang lebih baik didahulukan, antara berkurban untuk diri sendiri atau untuk orang tua yang telah meninggal? Ada kaidah dalam fikih klasik yang sangat berhubungan dengan permasalahan mendahulukan orang lain dalam persoalan ibadah ini:
الْإِيثَارُ فِي الْقُرْبِ مَكْرُوهٌ وَفِي غَيْرِهَا مَحْبُوبٌ
“Mendahulukan orang lain dalam persoalan ibadah adalah hal yang makruh, sedangkan dalam persoalan selain ibadah adalah hal yang dianjurkan.”
Hukum asal mendahulukan orang lain dalam persoalan ibadah adalah makruh. Namun dalam praktiknya, hukum mendahulukan orang lain dalam hal ibadah sejatinya cenderung berbeda-beda sesuai dengan status ibadah yang didahulukan serta dampak yang ditimbulkan dari mendahulukan orang lain. Mengenai hal ini, Syekh Jalaluddin as-Suyuthi memberikan rangkuman menarik:
الْإِيثَارُ إنْ أَدَّى إلَى تَرْكِ وَاجِبٍ فَهُوَ حَرَامٌ: كَالْمَاءِ، وَسَاتِرِ الْعَوْرَةِ، وَالْمَكَانِ فِي جَمَاعَةٍ لَا يُمْكِنُ أَنْ يُصَلِّيَ فِيهِ أَكْثَرُ مِنْ وَاحِدٍ، وَلَا تَنْتَهِي النَّوْبَةُ، لِآخِرِهِمْ إلَّا بَعْدَ الْوَقْتِ، وَأَشْبَاهُ ذَلِكَ، وَإِنْ أَدَّى إلَى تَرْكِ سُنَّةٍ، أَوْ ارْتِكَابِ مَكْرُوهٌ فَمَكْرُوهٌ، أَوْ لِارْتِكَابِ خِلَافِ الْأَوْلَى، مِمَّا لَيْسَ فِيهِ نَهْيٌ مَخْصُوصٌ، فَخِلَافُ الْأَوْلَى وَبِهَذَا يَرْتَفِع الْخِلَافُ
“Mendahulukan orang lain (dalam hal ibadah), ketika akan menyebabkan meninggalkan kewajiban maka hukumnya haram. Seperti permasalahan memberikan air, memberi penutup aurat, mempersilakan tempat untuk shalat berjamaah pada orang lain yang mana tempat tersebut tidak dapat dibuat shalat lebih dari satu orang dan giliran shalat untuk orang yang akhir hanya bisa setelah habisnya waktu, dan kasus-kasus lain yang serupa. Jika mendahulukan orang lain akan menyebabkan meninggalkan kesunnahan atau melakukan perkara makruh, maka hukumnya adalah makruh, atau akan menyebabkan melakukan perbuatan khilaf al-aula berupa perbuatan yang tidak ada larangan secara khusus, maka hukumnya adalah khilaf al-aula. Dengan kesimpulan demikian, telah hilanglah perbedaan pendapat (diantara ulama)” (Syekh Jalaluddin as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nadza’ir, hal. 117).
Berkurban untuk orang tua atau kakek yang telah meninggal memang secara nalar akal adalah hal yang sangat baik, namun secara ketentuan fikih mendahulukan berkurban untuk diri sendiri adalah hal yang patut diprioritaskan. Sebab ibadah kurban merupakan sebuah ibadah yang hukum pelaksanaannya adalah sunnah muakkad, dan meninggalkan ibadah kurban bagi orang yang mampu menjalankannya adalah hal yang makruh. Sehingga mendahulukan berkurban untuk orang lain, termasuk orang tua atau kakek yang telah meninggal adalah hal yang dimakruhkan.
Di samping itu, keabsahan berkurban untuk orang yang telah meninggal yang tidak berwasiat masih diperselisihkan di antara ulama, sedangkan berkurban untuk diri sendiri jelas merupakan hal yang sangat dianjurkan dan dihukumi sah menurut kesepakatan ulama (mujma’ ‘alaih). Maka mendahulukan sesuatu yang telah disepakati lebih utama daripada mendahulukan sesuatu yang masih diperselisihkan. Dalam kaidah fikih disebutkan:
والمجمع عليه مقدم على المختلف فيه
“Hal yang disepakati lebih didahulukan daripada hal yang masih diperselisihkan” (Abu al-Hasan ‘Ali bin ‘Abdul Kafi as-Subki, al-Ibhaj fi Syarh al-Minhaj, juz 3, hal. 245).
Mendahulukan diri sendiri daripada orang tua dalam hal ibadah sebenarnya tidak hanya berlaku pada ibadah kurban saja. Dalam persoalan yang mirip, yakni zakat fitrah, ketika seseorang tidak mampu menzakati fitrah terhadap seluruh keluarganya karena hanya memiliki beberapa sha’ beras saja, maka yang harus didahulukan adalah diri sendiri. Dalam kitab Mughni al-Muhtaj dijelaskan:
وَأَنَّهُ لَوْ وَجَدَ بَعْضَ الصِّيعَانِ قَدَّمَ نَفْسَهُ، ثُمَّ زَوْجَتَهُ، ثُمَّ وَلَدَهُ الصَّغِيرَ، ثُمَّ الْأَبَ، ثُمَّ الْأُمَّ، ثُمَّ الْكَبِيرَ
“Jika ia menemukan beberapa sha’, maka wajib mengeluarkan zakat untuk dirinya terlebih dahulu, lalu istrinya, lalu anaknya yang kecil, lalu ayahnya, lalu ibunya, lalu anaknya yang sudah besar” (Syekh Khatib asy-Syirbini, Mughni al-Muhtaj, juz 2, hal. 116).
Maka dengan demikian pertanyaan dari saudara penanya dapat dijawab bahwa boleh dan sah berkurban untuk kakek yang telah meninggal menurut pandangan mazhab Maliki, Hanafi dan Hanbali.
Namun dari aspek yang lain, mendahulukan berkurban untuk orang lain dengan mengakhirkan berkurban untuk diri sendiri adalah hal yang makruh. Sehingga sebaiknya etika dalam berkurban adalah mendahulukan berkurban untuk diri sendiri terlebih dahulu, dan ketika telah memiliki uang yang lebih maka barulah dianjurkan untuk berkurban untuk orang lain.