PROBOLINGGO, FaktualNews.co – Kampung Koi, salah satu dari sekian kampung wisata yang ada di Kota Probolinggo. Destinasi wisata yang berlokasi di Kelurahan Jrebeng Kidul, Kecamatan Wonoasih tersebut dimotori Nanang Santusa (38).
Berawal dari kegelisahannya Nanang Santuso, akhirnya bisa menyulap lahan gambut atau rawa yang awalnya tidak produktif menjadi bernilai ekonomi. Kini pria yang tinggal di RT 5 RW 2 ini memiliki 15 anggota, dengan jumlah kolam ikan koi sebanyak 22 kotak.
Kolam atau empang yang dikotak-kotak berukuran antara 6 x 10 sentimeter itu berlokasi di sungai barat rumah tinggalnya. Di sebuah sungai yang debit airnya terus berkurang dari tahun ke tahun.
Meski ada di dalam sungai, namun Nanang tidak khawatir akan ada banjir, ketika musim hujan tiba. Hal itu dibuktikan setiap tahun, saat hujan deras sekalipun air tidak meluap sampai mengganggu kolam. Karenanya, pria yang memiliki 4 anak tersebut, rawa yang ditumbuhi kangkung menjadi kolam koi.
“Jangankan banjir, meluap sampai ke kolam pun tidak pernah. Makanya di pinggir kali kami bikin kolam,” ujarnya, Minggu (9/8/2020) sore.
Nanang mengaku, budidaya koi sudah lebih dari satu tahun. Sebelumnya, lelaki yang bekerja serabutan tersebut budidaya ikan Nila. Namun, karena saingan terlalu banyak dan prospeknya tidak begitu menjanjikan, ia kemudian banting setir budidaya ikan asal jepang tersebut. “Kami belajar ke komunitas koi yang ada di sini,” katanya.
Selain itu, Santuso juga belajar melalui artikel yang ada di website, media sosial dan video Youtube. Meski sudah banyak mengetahui tentang teori budidaya ikan koi, namun hingga kini ia tetap berkomunikasi dan berkoordinasi dengan komunitas. “Sharing soal koi. Kami banyak dibantu komunitas soal pemasaran,” tambahnya.
Keyakinannya budidaya koi akan berhasil, ternyata benar. Santuso kini memiliki 7 kotak kolam koi di tepi sungai, selain di rumah tinggalnya. Ia pun berhasil mengajak saudara dan tetangganya untuk ikut budidaya ikan hias tersebut. “Awalnya berat. Setelah warga tahu hasil koi saya, meraka pun ikut budidaya,” katanya.
Lahan rawa yang awalnya tidak terawat dan hanya ditumbuhi kangkung, kini bernilai ekonomi. Disebutkan, koi yang ditebar di kolamnya ternyata perkembangannya lebih cepat dibanding kolam buatan. Alasannya, karena air kolam berasal dari sumber atau mata air yang jernih, serta oksigennya didapat dari alam.
Hanya saja kekurangannya, koi yang dibesarkan di kolam alam diserang predator atau pemangsa. Seperti ikan gabus (kutuk), berang-berang (bringsang) dan biawak atau nyambek. Namun, hewan atau binatang yang termasuk predator bagi ikan koi tersebut, kini sudah mulai berkurang. Bahkan, berang-berang kini sudah tidak kelihatan lagi.
Selain predator, jamur juga menjadi musuh koi. Ikan hias warna-warni yang diserang jamur, selain bisa mati juga merusak sisik dan warna ikan. Makanya, jika ditemukan jamur, Santuso langsung memisahkan koi yang diserang jamur itu dengan ikan yang lain.
“Mudah menular dan bisa mati. Lha wong di satu kolam saja ada yang kena jamur, koi yang ada di kolam lain, bisa mati,” tandasnya.
Karena kolam yang satu dengan kolam lain dihubungkan dengan paralon sehingga saling berhubungan. Ditambahkan, kolam yang jumlahnya belasan itu, digunakan untuk pembesaran saja. Sedang koi induk ditaruh di kolam di depan rumah tinggalnya. Begitu juga dengan anakan koi yang baru menetas dari telurnya.
“Usia 1 sampai 3 bulan, kita pindah ke kolam yang ada di sungai itu,:” sambungnya.
Jika ada yang membeli,diambilkan dari kolam, kalau persediaan koi di depan rumahnya telah habis. Dari kegiatan budidaya atau memelihara koi tersebut, hasilnya menurut Santuso, cukup untuk biaya hidup.
“Penghasilan warga sini bertambah, dengan memelihara koi di kolam yang dulunya rawa,” imbuhnya.
Soal pemasaran Santuso mengaku, pembelinya warga lokal. Karenanya, jenis ikan koi yang dibudidaya juga berasal dari lokal. Harga koi kecil yang panjangnya 10 sentimeter dengan usia 1 hingga 2 bulan, ia bandrol Rp 20 ribu per biji atau per ekor.
“Harga, tergantung besar dan motif serta kecerahan warnanya. Kalau indukannya impor, anakannya mahal. Kalau lokal Rp 20 ribu, yang impor bisa Rp100 ribu. Untuk sini lokalan,” pungkasnya.