MALANG, FaktualNews.co – Tak hanya menyimpan sejuta tempat wisata, Malang yang dikenal sebagai kota yang sejuk juga memiliki beragam kesenian budaya. Salah satu kesenian yang hingga kini masih terus dilestarikan adalah Jaranan.
Jaranan atau kuda lumping merupakan tarian tradisional jawa yang menampilkan sekelompok orang yang digambarkan sebagai prajurit. Mereka menunggang kuda-kudaan yang terbuat dari anyaman bambu.
Salah satu seniman yang dari awal berkeseniannya sudah akrab dengan dunia Jaran Kepang, Lulus Endrawan, mengatakan, semangatnya tak lekang oleh zaman yang sudah dimanjakan kecanggihan teknologi seperti sekarang.
Hingga kini, dia masih konsisten uri-uri (menjaga) budaya tradisional yang sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu ini.
Menurutnya, jaranan adalah kesenian dan budaya khas orang Jawa, terutama yang berasal dari wilayah Jawa Timur.
“Kuda lumping ini budaya kita. Budaya yang gapernah punah. Mulai dari saya dan ayah saya belum lahir. Ini kuda lumping (jaranan) sudah ada sejak jaman kerajaan,” kata Lulus saat ditemui dalam acara wokrshop kesenian ‘The Jaranan’ di Dewan Kesenian Malang (DKM) yang digelar 17-20 Desember 2020.
“Sejarahnya pada jaman Belanda dulu jaranan ini bertujuan untuk menghibur dan bersenang-senang, bahkan ada yang minum. Macam-macamlah pokoknya kesenangannya,” imbuhnya.
Selain itu, jaranan juga lekat dengan sentuhan rohani atau spiritual bagi yang memainkannya.
Dalam pertunjukan jaranan ini terdapat beberapa perbedaan dan ciri khas tiap-tiap daerah. Biasanya perbedaan tersebut terletak pada karakter, gerakan, dan filosofinya.
Untuk jaranan Malangan biasanya ditampilkan dengan karakternya yang keras, berani tapi jujur.
Sementara untuk bentuk Jaranan Malangan yang biasa dibuat oleh kakek berusia 60 tahun ini memiliki perbedaan dengan jaranan Tulungagung, Blitar dan sekitarnya.
“Jaranannya ada bermacam-macam dan memiliki ciri khas masing-masing. Kalau Malangan ada kuluknya dibagian atas kepala, dibagian ekor dan gapitannya juga berbeda. Punya Malangan sendiri ini ekornya lebih condong ke belakang. Sementara bagian dada lebih landai dan tidak terlalu naik tinggi,” jelasnya.
“Kalau corak gambarnya di Malang ada mahkota,” pungkasnya.
Beragam jenis jaranan yang ada di tanah jawa tak membuat kakek yang akrab disapa Ki Tulus ini membeda-bedakan hasil karya kesenian.
“Saya tidak membeda-bedakan, lawong semuanya baik. Namanya juga orang seni,” bebernya.
Dirinya berharap bisa meneruskan kesenian yang digelutinya sejak kecil kepada anak dan cucu-cucunya. (Joko Kurniawan).