SURABAYA, FaktualNews.co – Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menerbitkan Surat Edaran (SE) tentang penerapan Undang- Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) nomor SE/2/11/2021, Jumat (19/2/2021) lusa kemarin.
Secara umum regulasi itu bertujuan untuk mewujudkan ruang digital Indonesia bersih, sehat, dan produktif. Hal itu bisa disimpulkan dari instruksi Jenderal Sigit kepada seluruh anggota Polri untuk menerapkan penegakan hukum yang dapat memberikan rasa keadilan bagi masyarakat secara edukatif dan persuasif untuk menghindari dugaan kriminalisasi.
Lalu bagaimana implementasi aturan ini di lapangan, khususnya wilayah Jawa Timur?
Direskrimsus Polda Jatim Kombes Farman menjelaskan, pihaknya di lapangan akan lebih mengedepankan upaya preventif dan preemtif ketika menangani perkara ITE. Yakni lebih memberdayakan Semeru Virtual Police atau polisi dunia maya yang telah dibentuk kepolisian Jawa Timur.
Apabila ditemukan unggahan berpotensi melanggar UU ITE, polisi dunia maya ini akan memberi peringatan disertai edukasi bagi pelakunya.
“Jadi yang meng-upload-upload berindikasi atau diduga (melanggar) pidana (ITE), kita ingatkan. Sudah kita briefing, kita ingatkan kepada yang mengupload,” terang Kombes Farman kepada FaktualNews.co (Kelompok Faktual Media), Selasa (23/2/2021).
Namun demikian, ia menjelaskan, peringatan hanya diberikan dua kali. Jika selanjutnya pelaku bergeming dan tetap menjalankan aksinya, maka petugas kepolisian akan menjemput untuk meminta klarifikasi tentang unggahannya itu secara tertutup.
“Kita preventif dan edukatif dahulu. Preemtif dan preventif dahulu, nanti pilihan untuk represif belakangan,” tandasnya.
Ketika upaya mediasi ini tak memberi perubahan pada pelaku. Baru kata Farman, penyidik akan memproses secara hukum dan meningkatkan status perkara dari penyelidikan menjadi penyidikan sampai kemudian kasus dilimpahkan ke kejaksaan.
Meski sudah di tangan jaksa. Farman mengatakan bahwa aparatur penegak hukum tetap memberi ruang mediasi bagi pelanggar UU ITE. Sehingga upaya represif benar-benar bisa dihindari.
“Namun ini hanya berlaku bagi perbuatan yang tidak menyenangkan dan (menyebarkan) hoaks. Kalau yang berkaitan dengan SARA kita tetap menegakkan hukum seperti biasa,” jelas Farman.
“Tetap kita proses, tapi kita juga memberi ruang mediasi,” imbuh dia.
Sedangkan soal pesan dalam SE Kapolri yang mengisyaratkan supaya pelaku pidana UU ITE tidak ditahan selama proses hukum dijelaskan Farman, hal itu menjadi pertimbangan subjektif maupun obyektif penyidik kepolisian.
Ia mengatakan, pertimbangan tidak melakukan penahanan kepada tersangka mengacu pada undang – undang seperti kemungkinan pelaku tidak melarikan diri, menghilangkan barang bukti, tidak mengulangi perbuatan dan sebagainya.
“Kita upayakan tidak melakukan penahanan, kalau pertimbangan subjektifnya itu kita nilai tidak terpenuhi,” katanya.
Meski pucuk pimpinan Polri telah mengeluarkan edaran yang dinilai memberi keringanan bagi pelaku pidana ITE menurut Farman, bukan berarti masyarakat bebas berbuat sesuka hati ketika berselancar di dunia maya. Pihaknya tetap meminta warganet bijak ketika mengunggah sesuatu. Sebab jejak digital tak mudah terhapus, yang bisa dipakai sebagai barang bukti.
“Upaya hukum tetap ada, namun lebih mengedepankan sifat preventif dan preemtifnya,” kata Farman memungkasi.