BANYUWANGI, FaktualNews.co – Tanggal 15 Sura dalam penanggalan Jawa atau Muharam, sebutan lain untuk dalam versi Hijriah, merupakan waktu yang ditunggu-tunggu oleh warga nelayan di pesisir Muncar, Banyuwangi.
Pada tanggal itu, setiap tahun warga kawasan pesisir tersebut secara rutin menggelar tasyakuran dengan melarungkan getek, atau perahu kecil biasanya sepanjang 2 sampai 5 meter, yang berisi beragam sesajen.
Sesajen yang dimaksudkan sebagai ekspresi rasa syukur kepada Sang Maha Pencipta itu biasanya berupa jajan pasar, buah-buahan, dua ekor ayam yang masih hidup serta kepala kambing dengan pancing yang terbuat dari emas seberat 2 gram yang dikaitkan di lidahnya.
Warga setempat menyebut tradisi itu ritual Petik Laut. Semacam ritus tradisional dalam mengungkapkan rasa terima kasih kepada Tuhan atas kelancaran rezeki dan keselamatan selama melaut.
Sebelum pandemi virus SAR-Cov-2 datang, upacara adat tersebut menyedot perhatian pengunjung dan wisatawan. Tidak dengan tahun 2021 ini. Larangan berkerumun di masa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) mengharuskan warga menyelenggarakannya secara sederhana.
Hari Selasa (24/8/2021) siang, bertepatan dengan 15 Sura, ritual Petik Laut terpaksa digelar secara sederhana. Tak ada pengunjung selain warga setempat yang berkepentingan. Tak ada wisatawan.
Artikel menarik lainnya:
• Begini Asal-usul Banyuwangi, yang Terlahir dari Bukti Kesetiaan Istri
• Mengenal Tradisi Arak-Arakan Khitanan Suku Osing Banyuwangi
Wakil Ketua Panitia Petik Laut Muncar, Sihat Aftarjo menyebut sebelum di gelar acara melarung sesaji yang di siapkan ke laut, masyarakat nelayan di Pelabuhan Ikan Muncar menggelar tirakatan dan pengajian terlebih dahulu di sejumlah tempat ibadah.
Pada puncak acara para nelayan mengarak sesaji dari rumah tokoh masyarakat menuju Pelabuhan Ikan Muncar.
“Sebelumnya masyarakat berdoa bersama dengan bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, sebelum acara inti dimulai,” ujarnya.
Kemudian Sesaji yang sudah tersedia diletakkan di getek (perahu kecil) untuk di arak keliling kampung sebelum dilarung ke tengah laut.
“Untuk kali ini, getek dibuat lebih kecil karena menyesuaikan keadaan masih pandemi, jadi hanya sederhana saja. Jika petik laut digelar secara besar-besaran ukuran getek bisa mencapai lima mater, akan tetapi hal tersebut akan mengundang orang luar Muncar berdatangan,” katanya.
Setelah diarak keliling kampung, lanjut Sihat Aftarjo, getek dipindahkan ke perahu jenis selerek (orang Muncar menyebutnya) yang biasa untuk memburu ikan. Getek itu dibawa ke tengah lautan lepas diiringi dengan puluhan perahu pengiring yang dihiasi dengan pernak pernik pesta.
“Dalam acara petik laut itu, panitia juga membawa serta dua penari gandrung, sebagai ikon Banyuwangi,” terangnya.
Artikel menarik lainnya:
• Makna Tradisi Endhog-ndhogan, Peringatan Maulid Nabi di Banyuwangi
• Di Banyuwangi, Santet Tidak Dimaknai Negatif
Setelah sampai di selatan Tanjung Sembulungan, sekitar 15 kilometer dari Pelabuhan Ikan Muncar, getek berisi sesaji yang telah diberi pemberat diceburkan dan dibiarkan tenggelam ke dasar laut.
Setelah getek benar-benar telah tenggelam, puluhan nelayan pun ikut terjun ke laut untuk berebut mengambil makanan yang terapung.
“Hanya makanan dan buah saja yang boleh diambil. Selebihnya wajib dilarung,” tambahnya.
Selanjutnya, para nelayan pun mengambil air laut di sekitar tempat pelarungan dengan menggunakan ember. Air laut itu kemudian disiramkan secara mereta di seluruh bagian kapal. Hal itu dipercaya sebagai penangkal perahu dari mara bahaya.
Setelah dinilai cukup, para nelayan memanjatkan doa untuk diberi kelimpahan tangkapan ikan dan keselamatan saat melaut.
“Kami juga berharap agar Covid-19 bisa segera berakhir dan tahun mendatang acara petik laut dapat digelar secara besar-besaran Sebagai ungkapan rasa syukur,” pungkasnya.