Sosial Budaya

Mengenal dari Dekat Keberadaan Pengamen Angklung di Kota Probolinggo

PROBOLINGGO, FaktualNews.co – Melintas di Jalan Abdurrahman Wachid atau Gus Dur, Kota Probolinggo, sedikit bernuansa Malioboro, nama sebuah jalan di Yogyakarta. Kok Bisa ?

Karena di jalur yang menghubungkan jalan Brantas dengan Jalan Bromo tersebut ada sekelompok pemuda memainkan alat musik angklung, Senin (20/09/21).

Grup musik tersebut ngamen di perempatan lampu merah (Traffic Light) Kelurahan Pilang, Kecamatan Kademangan, kota setempat.

Mereka menghibur para pengendara, terutama pengendara dari arah barat, yang berhenti saat lampu merah menyala.

Lokasi ngamennya sisi barat lampu merah, tepatnya trotoar di atas jembatan menghadap ke utara. Mereka terdiri dari 6 personel, 2 diantaranya sebagai pemain musik terdiri dari pemukul angklung dan drum atau kendang.

Dua remaja bertugas menerima pemberian pengendara, sedang 2 pemuda lainnya, beristirahat sambil menunggu barang bawaannya.

Dalam atraksinya, grup angklung asal Jember ini membawakan lagu-lagu dangdut hits yang disukai kebanyakan orang.

Rendi koordinator pengamen menyebut, personel angklung yang diberi nama Angklung Hunter Jember (AHJ) berasal dari Jember dan Kabupaten Lumajang.

“Dari Lumajang dan Jember. Kalau saya kelahiran Jember,” katanya.

Dikatakan, Hunter atau pemburu bermakna, memburu para pengamen jalanan. Bukan untuk tawuran atau ditangkap, tetapi akan diajari bermain angklung. Nanti setelah pintar, mengkuti jejaknya, ngamen dengan alat musik angklung.

“Daripada ngamen dengan alat lain di tengah jalan dan mengganggu arus lalu lintas, mending seperti kami. Ngamen di pinggir jalan dan tak mengganggu pengendara. Teman-teman kami semuanya pengamen jalanan,” jelasnya.

Rendi mengaku, mulai ngamen angklung di kotanya satu setengah tahun lalu. Pria yang masih lajang tersebut berterus terang, mahir memainkan angklung belajar di Yogya.

Tahun 2014 meninggalkan Jember mencari peruntungan di Yogyakarta, ikut ngamen angklung di Malioboro. “Kami belajar otodidak di Yogyakarta. Tahun 2017 saya balik ke Jember,” ungkapnya.

Setelah memiliki dana, Rendi kemudian membeli satu unit peralatan angklung, berikut kendang dan drum. Ia mengajak rekan-rekannya pengamen jalanan asal Jember dan Lumajang.

Setelah seluruh personelnya mahir dan hapal beberapa lagu, ia kemudian memberanikan diri keluar dari kampung halamannya.

Kota yang akan disasar untuk ngamen, selain Lumajang, Kota Probolinggo dan Pasuruan serta Bangil, juga berencana ngamen di Bondowosa dan sekitarnya.

Selama ngamen di luar daerahnya, Rendi dan rekannya tidak ngekos. Tetapi bermalam dan tidur di trotoar, depan toko atau tempat lain yang aman.

“Karena kami tidak menetap. Jadi belum perlu ngontrak. Kami di Kota Probolinggo hanya 4 hari. Lalu ke Pasuruan, Bangil dan Bondowoso,” jelasnya.

Tentang penghasilan dari mengamen, Rendi berterus terang, sebagian untuk membeli minum. Tetapi tidak sampai berlebihan sehingga mabuk atau tenggeng.

Dan lagi, mereka tidak minum di jalanan, tetapi di satu tempat yang sekiranya aman dan tidak mengganggu orang lain. “Kami yang
jaga. Habis minum langsung tidur. Enggak boleh kemana-mana,” tandasnya.

Selain membeli minuman dan biaya makan delama mengamen, kelebihannya ditabung. Hasilnya akan dibelikan alat musik angklung dan alat musik lainnya yang dirasa masih kurang.

Rendi berharap, kegiatannya tidak dilarang oleh pemerintah setempat. “Kami hanya cari makan. Dan lagi, saya tidak mengganggu arus lalu lintas dan orang lain. Masa dilarang. Kalau bisa janganlah,” pintanya.