PROBOLINGGO, FaktualNews.co – Pihak Pasar Gotong Royong Kota Probolinggo memiliki utang sekitar Rp3,8 miliar ke Pemkot Probolinggo. Utang sebanyak itu merupakan uang retribusi yang tidak tertagih, mulai 2013 hingga sekarang (2021).
Karenanya, pemkot diminta menagih atau menyelesaikan utang tersebut, mengingat setiap tahun menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Permintaan itu disampaikan komisi III DPRD setempat, saat Rapat Dengar Pendapat (RDP), Selasa (23/11/21) siang. RDP dihadiri Bagian Perekonomian, Dinas Pendapatan Pengelola Keuangan dan Aset (DPPKA) dan Dinas Koperasi Usaha Mikro Perdagangan dan Perindustrian (DKUPP) serta Dinas Perhubungan (Dishub).
Tak hanya ditagih, komisi yang diketuai Sibro Malisi berharap, DKUPP memberi surat peringatan ke pedagang yang menempati kios atau bedak yang dimaksud. Jika tetap tidak membayar utangnya, komisi merekomendasi kiosnya dikosongkan.
“Kasih surat peringatan dulu. Kalau tetap enggak bayar, ya dikosongkan saja kiosnya. Sewakan ke pedagang lain,” pinta Sibro.
Langkah tegas harus diambil ekskutif, karena lanjut Sibro setiap tahun menjadi temuan BPK atau BPKP. Dan lagi, persoalan tersebut sudah berlangsung 8 tahun, mulai 2013 sampai sekarang belum tuntas.
“Kan utangnya bisa diangsur, sesuai kesepakatan. Jangan ditagih sekaligus. Pasti mereka keberatan. Tanya berapa kesanggupan membayar utangnya,” ujarnya.
Kepala DKUPP Fitriawati mengatakan, saat ini pihaknya tengah melakukan kajian dan apraisal (menentukan besaran taksiran). Sebagai pelaksananya, DKUPP menggandeng pihak ketiga, yakni Universitas Brawijaya (UB) Malang.
“Kajiannya masih berlangsung. Makanya belum diketahui hasilnya,” tandasnya.
Begitu juga sistemnya, apakah tetap retribusi atau sewa belum dibicarakan. Soal kesulitan menagih, Fitri menyebut, salah satu penyebabnya karena kios sudah beralih tangan. Penyewa kios pertama telah menjual atau menyewakan ke orang lain.
“Karena merasa sudah menyewa atau membeli, penghuni kios tidak mau bayar. Sedang yang lain menganggap restribusinya terlalu mahal,” ujarnya.
Dijelaskan, restribusi sesuai perda hanya Rp400 per meter persegi setiap hari. Jika dikalkulasi atau dihitung, restribusinya sekitar Rp1,2 juta setiap bulan.
“Sebgian besar tidak bayar utang dan restribusinya. Kalau Indo Maret, membayar,” katanya.
Terpisah Rano Cahyono salah seorang pedagang yang menempati kios, mengiyakan tudingan tersebut. Tak hanya pedagang lain, dirinya juga memiliki utang restribusi yang belum dibayar.
“Kalau tidak salah kami punya 4 kios. Kami juga punya tanggungan restribusi yang belum dibayar,” terang Rano.
Ditanya mengapa tidak membayar, apakah terlalu mahal, mantan anggota DPRD dari Fraksi Golkar ini menyebut, eksekutif dan legislatif seenaknya menentukan restribusi.
Mereka tidak kroscek lapangan kondisi dan situasi pasar. “Menentukan besaran restribusi, jangan hanya hasil kunjungan kerja (Kunker) harus kroscek lapangan,” tandasnya.
Rano bersama pedagang lainnya bersedia dan sanggup membayar kewajiban utang restribusinya. Namun, ia berharap pemkot mempertimbangkan kondisi saat ini. Dikatakan, dimasa pandemi, pembeli sepi.
“Kami bersedia membayar, tapi sesuaikan dengan kondisi kami saat ini,” harapnya.
Dalam kesempatan itu Rano menambahkan, 4 kios yang ditempati berjualan, statusnya bukan sewa, tetapi membeli. Ditanya harga belinya, ia lupa namun kemudian menjawab kisaran Rp100 juta per kios.
“Saya bukan sewa, tapi membeli. Ya, suratnya Hak Guna Bangunan,” pungkasnya.