SIDOARJO, FaktualNews.co – Ada fakta menarik dalam sidang perkara pidana dugaan pengemplang pajak sebesar Rp 1,925 miliar, di Pengadilan Negeri (PN) Sidoarjo, Senin (21/2/2022).
Fakta mengungkap, pihak terduga makelar dan pembuat faktur pajak hingga hari ini tak tersentuh hukum.
Fakta itu muncul ketika Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Sidoarjo menghadirkan sejumlah saksi untuk dua terdakwa pidana pajak, yaitu Aria Trisna Sutmanta (ATS) dan Binti Rofi’ah (BR), Dirut dan Dirkeu PT Java Tekhnik Indonesia (JTI), perusahaan alat berat berkantor di wilayah Sidoarjo itu.
Saiful, salah satu saksi yang dihadirkan mengaku perusahaannya yang membuat faktur yang tidak sesuai peruntukannya itu untuk PT Java Tekhnik Indonesia (JTI). Faktur itu, menurut dia atas pesanan bernama Feri Salim.
“Saya tidak kenal kedua terdakwa (Aria dan Binti) karena dokumen-dokumen untuk faktur itu dari Feri. Saya buatkan faktur itu dan dapat fee setengah persen dari setiap faktur yang kami buat,” kata owner PT Syifa itu. Namun dia mengaku lupa berapa faktur yang dibuat tersebut.
Saiful menyatakan jika faktur yang dibuat itu faktur asli dan sudah dibayarkan. Namun ia baru sadar jika faktur pajak yang diterbitkan itu menjadi persoalan hukum. Ia mengaku baru tahu dan menyesal jika perbuatan yang dilakukan selama ini salah.
Selain itu, Viktor, salah satu karyawan freelance PT Java Tekhnik Indonesia itu mengaku tidak tahu-menahu adanya faktur tersebut.
Sebab, saat itu dirinya yang menawarkan unit mesin terdakwa Aria dan disetujui. Rencananya saksi menggunakan bendera perusahaan milik dari rekannya.
Namun, pinjam bendera itu dibatalkan karena Aria (terdakwa) menyatakan tidak usah faktur pajak karena semua itu sudah diurus dia. “Itu yang dibilang Pak Aria. Lalu saya dibayar,” katanya.
Meski begitu, ia baru mengetahui ketika diperiksa penyidik pajak terkait faktur yang keluar atas nama perusahaan lain atas objek yang dikirimnya itu.
“Saya tidak kenal dengan perusahaan itu (penerbit faktur). Waktu itu Pak Aria bilangnya gak kena pajak, saya tidak tahu,” katanya.
Di sisi lain, fakta hukum dari saksi yang telah dihadirkan mengungkap, faktur itu dipesan Aria kepada Santos ke PT Federal melalui PT Puma dan terdapat fee Rp 150 juta.
Bukan hanya itu, Fahmi, Komisaris PT Java Tekhnik Indonesia (JTI) menyatakan jika yang pesan faktur-faktur adalah terdakwa Aria. “Semua terdakwa Aria yang pesan,” jelasnya. Memang, sambung dia, pembayaran perusahaan itu dilakukan terdakwa Binti karena sebagai tenaga keuangan di perusahaan itu.
“Semua itu yang ngurus faktur adalah Aria,” jelasnya. Bahkan, ia sempat menegur Aria untuk membayarkan kekurangan pajak itu ketika membeli semua saham milik Aria di perusahaan itu. “Itu sudah kami ingatkan,” akunya.
Meski demikian, Andry Ermawan, kuasa hukum terdakwa Binti menyebut jika dari fakta persidangan tak ada satu pun saksi yang menyebut kliennya terlibat dalam kasus faktur itu.
“Dia sebagai keuangan saja karena saat itu diminta Aria (Dirut) membayar, ya dibayar. Dia gak tahu kalau ternyata yang dibayarkan itu untuk faktur yang tidak sesuai peruntukan. Masak dia tidak tahu, tidak menikmati dan bahkan membayar uang Rp 1 Miliar atas itikad baiknya karena kesalahan atasannya harus menerima akibatnya,” jelasnya.
Justru menurut Andry, pelaku yang dijerat itu yang membuat faktur itu dan sejumlah makelar-makelarnya yang telah menerima dan menikmati uang tersebut. “Kenapa mereka sampai saat ini tidak diproses. Itu jelas semua fakta persidangannya,” pintanya.
Aria Trisna Sutmanta merupakan Direktur Utama (Dirut) PT Java Tekhnik Indonesia (JTI) diduga kuat bersama-sama dengan Binti Rofi’ah yang notabenya Direktur PT JTI menggunakan faktur pajak tidak berdasarkan transaksi sebenarnya PT JTI, perusahaan bergerak di bidang jual beli alat berat di wilayah Kecamatan Sedati, Sidoarjo.
Selain itu, keduanya juga diduga kuat menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap.
Perbuatan keduannya itu diduga dilakukan lima tahun lalu, tepatnya pada tahun 2016 silam selama kurun waktu Bulan Januari hingga Desember.
Atas perbuatan tersebut, kini negara diduga mengalami kerugian sekitar Rp1,925 miliar. Keduanya kini dijerat melpanggar pasal 39A huruf a atau Pasal 39 ayat 1 huruf d. Juncto Pasal 43 ayat 1 Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Hal itu sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Junctis Pasal 64 ayat 1 KUHP.